Baru

Sisi-sisi Lain di Balik Skandal Bank Century

Skandal Bank Century benar-benar menyedot perhatian publik. Bailuot bank bermasalah tersebut, mengulang kisah penyelamatan bank-bank yang bangkrut dalam mega skandal BLBI pada krisis ekonomi akhir dekade 90-an. Kedua-duanya berakhir tragis, jika pada kasus BLBI para bankir tersebut ngemplang hutang, dalam kasus Bank Century talangan tersebut dirampok sendiri oleh pemiliknya (pinjam bahasa Pak Yusuf Kalla). Jumlah uang yang dikemplang, bukan main-main, dalam kasus BLBI mencapai 700 trilyun rupiah, sedang dalam kasus bank Century ini 6,7 trilyun rupiah.

Semua dilakukan, menurut duet ekonom Sri Mulyani Indrawati dan Budiono, demi mencegah dampak sistemik yang secara psikhologis dapat menimpa sistem perbankan nasional. Sesuatu yang dibantah oleh Yusuf Kalla dengan alasan-alasan rasionil dan berbasis pengalamannya sebagai pengusaha. Mengenai hal ini biarlah menjadi kajian para pakar ekonomi yang lebih memiliki kompetensi, kita akan membahas sisi yang lain.

Terlalu rumit bagi awam untuk menarik benang penghubung antara perampokan harta nasabah bank bermasalah tersebut, kekayaan negara, dan kesengsaraan rakyat akibat perampokan itu. Apalagi menghubungkan dengan statement bahwa pemerintah dengan penyelamatan itu telah menolong segelintir orang berduit dengan mengorbankan rakyat banyak, lebih ruwet lagi. Belum lagi ketika dikatakan bahwa skandal tersebut sejatinya merupakan indikator kegagalan sistem liberal di dalam melindungi dan mensejahterakan rakyatnya.

Sejarahnya memang panjang, sistemnya rumit, sedang yang dirasakan awam hanya hasil akhirnya, kesulitan ekonomi, harga kebutuhan pokok yang mencekik, lapangan pekerjaan sulit, kalau ada hasilnya mepet, sementara pemenuhan kebutuhan pokok makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan tak terjangkau. Bak tabrakan beruntun, yang dirasakan awam hanya hempasan terakhirnya, tanpa mengetahui masalah hulunya.

Sejak semula Bank Century ditengarai management-nya buruk. Untuk menarik nasabah, management bank menawarkan suku bunga tinggi. Ada pengusaha pemilik modal kakap menanamkan uangnya di bank itu, ada pula nasabah kelas teri yang tertarik bunga tinggi tersebut. Padahal penawaran suku bunga tinggi yang tidak rasional, bagi yang paham justru merupakan indikasi spekulasi tinggi pemilik bank dan upaya menutupi managementnya yang tidak sehat. Tapi masyarakat (dalam hal ini nasabah) yang juga tidak berpikir rasional karena ingin mendapatkan keuntungan besar dalam waktu cepat tanpa kerja keras, selalu potensial untuk menjadi korban kejahatan perbankan.

Ketika ketidak-sehatan tersebut meningkat stadium-nya menjadi bank gagal, pemerintah menyelamatkannya dengan dana talangan yang terus membengkak dari semula 632 milyar hingga mencapai 6,7 trilyun. Pemerintah khawatir jika bank Century tidak diselamatkan, masyarakat akan kehilangan trust (kepercayaan) kepada perbankan dan terjadi rush (penarikan uang secara besar-besaran dalam waktu bersamaan) sehingga mengakibatkan gempa sistem perbankan seperti pada krisis jilid I. Dana talangan yang kemudian justru dicuri oleh pemilik bank sendiri.

Kegagalan Kapitalisme Liberal

Pemerintah, (sekalipun tidak mengakui bahwa mereka berpaham dan menerapkan sistem liberal dalam mengelola perekonomian negara) telah lebih mengedepankan penyelamatan beberapa gelintir pemilik modal besar yang menyimpan uangnya di bank Century dengan menggunakan uang negara. Padahal ketika mereka menanamkan uangnya di bank yang management-nya buruk tersebut berangkat dari keinginan untuk menangguk untung besar demi kepentinganya sendiri, yaitu tergiur iming-iming suku bunga tinggi. Ketika mereka terjerembab ke jurang akibat pilihannya, tiba-tiba pihak lain yang harus menanggungnya. Sementara, pemerintah yang dalam hal ini diwakili BI, sangat lemah di dalam mengawasi kecenderungan para pengusaha yang menggunakan bank sebagai modus operandi penipuan dengan memanfaatkan celah-celah kelemahan pengawasan tersebut. Karena kelemahannya, tidak akuratnya data yang dimiliki, harus menyalurkan uang negara trilyunan untuk menolong kenakalan dan kejahatan para bankir tersebut. Sementara rakyat mayoritas, pembayar pajak yang taat hanya gigit jari menyaksikan uang negara dalam jumlah besar disalurkan untuk membantu mereka. Ini pengulangan kisah rakyat miskin mensubsidi para konglomerat.

Di titik ini, pemerintah telah menggunakan uang negara yang sangat besar hanya untuk kesejahteraan beberapa gelintir orang kaya yang jahat, sedang rakyat yang sejatinya ikut memiliki uang yang disalahsalurkan tersebut hanya menerima akibat buruknya secara tidak langsung berupa kesulitan ekonomi yang tidak mereka ketahui dari mana hulunya. Dalam keadaan seperti itu para pejabat tadi masih juga berkelit mengatakan bahwa negara tidak dirugikan karena total aset yang dimiliki bank Century melebihi bailout yang disalurkan. Tatkala di titik ini terdesak pula, masih juga bersilat bahwa uang yang digunakan sebagai talangan tersebut adalah milik lembaga penjamin dan bukan uang negara. Padahal modal awal lembaga penjamin tersebut sebesar 4 (empat) trilyun juga berasal dari negara, hanya bukan dari APBN.

Sejarah Singkat Kemunculan Liberalisme

Inilah buah jadam sekularisme. Pemisahan kehidupan dari campur tangan agama yang menjadi pilihan barat, pemberontakan mereka terhadap para pemimpin agama Nashrani yang korup dan menindas di abad pertengahan mengantarkan barat kepada pilihan itu. Tuhan di dalam persepsi barat hanya mencipta, setelah itu istirahat, urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk mengaturnya. Begitulah konsep dasar paham Deisme yang menjadi tempat berpijak sekularisme. Tempat tuhan hanya di ruang privasi hubungan antara individu manusia dengan tuhannya, ruang publik adalah ruang pengaturan manusia, harus bersih dari pengaruh agama.

Selanjutnya, dinamika masyarakat Eropa setelah penemuan teknologi modern meninggalkan abad agraris memasuki era industri telah melahirkan para pemilik modal besar yang dengan uangnya mulai memainkan peran politik. Sekularisasi kehidupan telah memperanakkan paham baru yakni liberalisme, al-hurriyah bilaa haddin (paham kebebasan tanpa batas) merambah segala bidang. Maklum, spirit yang mendasari pemberontakan kepada tirani gereja dan absolutisme sistem monarchi memang berasal dari semangat Yunani-Romawi kuno yang paganis, tak mengenal tuhan.

Di bidang politik liberalisme mendobrak tatanan sistem monarchi dan menghabisinya hingga tidak tersisa kecuali simbol saja. Sebelumnya, teocracy (kerajaan tuhan) yang dipersonifikasikan pada para tokoh gereja telah mereka tumbangkan. Sampai dalam eksperimen-nya barat menemukan sistem demokrasi yang kini mereka terapkan dan mereka eksport dengan dukungan kekuatan militer.

Di bidang seni mereka gusur seni untuk tujuan penghambaan yang sebelumnya ditampilkan oleh agama Nashrani, menjadi seni kebebasan. Atas nama kebebasan tersebut muncul jargon ‘seni untuk seni’ yang tak hanya mengabaikan etika moral, bahkan meninggalkannya sama sekali. Di tubir jurang dekadensi moral pelacuran merupakan salah satu sektor industri yang paling menjanjikan.

Di bidang ekonomi, liberalisme menganakkan sistem kapitalisme yang menganut persaingan bebas. Sehingga masyarakat terbagi ke dalam dua kelas ekonomi yakni kelas pemilik modal dan kelas buruh. Para pemilik modal bersaing ketat dan siapa yang menjadi pemenangnya dialah yang berkuasa. Jurang antara kaya dan miskin terus melebar jaraknya.

Eksperiment Penerapan Liberalisme di Negara Berkembang

Ada perbedaan mencolok antara penerapan kapitalisme liberal di negara barat dan upaya mengadopsi sistem tersebut di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di barat, kapitalisme ekonomi adalah produk seimbang dengan keseluruhan sistem yang sudah matang dan dewasa (dalam kekafirannya), sedang di negara-negara berkembang yang berusaha mengadopsi sistem tersebut, belum dilengkapi dengan infrastruktur sebagaimana sistem tersebut dijalankan di negara asalnya. Sebagai contoh, para pengusaha pemilik modal besar di barat, sekalipun mereka bebas melaksanakan usaha produksi pada sektor apa saja tanpa batas seluas-luasnya dan sebesar-besarnya, tetapi pajak besar tetap harus mereka bayarkan kepada negara. Pemilik modal dalam mengembangkan usaha terikat tatanan undang-undang perburuhan yang ketat dan upah buruh yang standart. Masih dilengkapi dengan good goverment dan good governan yang menjamin pembuat peraturan dan pengambil kebijakan (yakni pemerintah) tidak mudah dibeli dengan sogok dan suap. Sehingga pajak yang besar tersebut dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk jaminan sosial yang memungkinkan rakyat sejahtera dan tercukupi kebutuhan dasarnya. Bahkan kelompok masyarakat yang menganggur sekalipun mendapatkan santunan sosial sampai mereka mendapatkan pekerjaan. Uniknya, mereka yang mendapat jaminan sosial seperti itu tidak menikmatinya dan merasa malu.

Ini yang sering orang mengatakan, “kami melihat praktik penerapan Islam di barat”. Pernyataan yang tidak sama sekali salah, tetapi tentu juga tidak sepenuhnya benar. Dari sebagian sisi, seperti ketertiban, kebersihan pemerintahan dan penjaminan sosial mungkin benar, tetapi dari sisi tidak adanya batas bidang apa yang halal dan bidang apa yang haram diusahakan, jelas perbedaannya seperti langit dan bumi. Terlebih jika dilihat dari system credo (bangunan keyakinan, aqidah) yang mereka yakini, seperti barat dengan timur.

Nah, dalam kasus bank Century, tampak sekali upaya copy-paste kapitalisme barat di Indonesia tanpa memperhatikan infrastruktur sistem yang belum seimbang itu. Baik regulasi peraturan yang lemah, kedisiplinan penyelenggara pemerintahan yang mudah disuap oleh pengusaha nakal (untuk meluluskan proyek, memenangkan tender, atau ngemplang pajak), lembaga pengawas perbankan yang mudah ditipu, dan ketiadaan penjaminan sosial yang memadai dan permanen.

Sementara mereka yang ketika ditalangi saja ngemplang, pemerintah menggelontorkan sampai 6,7 trilyun, sedangkan rakyat kecil hanya disantuni ketika dibeli suaranya pada event menjelang pemilu (dengan BLT, pembagian kompor dan tabung gas, uang bensin untuk kampanye,…dan janji-janji). Wah,… ya jauh sekali!!! Kapitalisme di barat, sekalipun credo yang mendasarinya kufur tetapi sudah mencapai maturity (kedewasaan), sedang di Indonesia kapitalisme masih childist (kanak-kanak),…maaf.

Ini sisi lain yang pertama.

Pansus Bank Century DPR

Mari kita masuk ke ruang sidang Pansus DPR yang menangani kasus bailuot bank Century. Beragam suasana dijumpai di ruang ‘terhormat’ tersebut, mulai dari tampilan elegant berwibawa yang menjaga martabat sampai sumpah serapah yang kekanak-kanakan. Dari pertanyaan yang benar-benar menguasai masalah hingga para senator yang tidak punya bekal selain popularitas.

Rakyat disuguhi tontonan yang mereka tidak tahu apa hubungannya dengan nasib yang diterimanya. Hanya secuil yang mereka mengerti, bahwa anggota Pansus adalah ‘manusia pilihan’ diantara para wakil rakyat terpilih yang mendapat tugas mulia, membongkar skandal perbankan yang apabila berhasil akan menyelamatkan uang negara luar biasa besar. Rakyat tidak tahu, apakah ada hubungan antara kesulitan memenuhi kebutuhan pokok dengan keberhasilan Pansus mengungkap mega skandal itu. Pikiran rakyat awam tidak menjangkau bahwa seandainya Pansus berhasil mengungkap skandal, tidak secara otomatis uang yang raib tersebut bisa kembali ke kas negara. Dan bahwa Pansus hanya ‘berkuasa’ untuk melahirkan kesimpulan dan rekomendasi, tidak dapat menentukan pihak yang benar dan pihak yang bersalah. Rakyat bahkan juga tidak mengerti bahwa jika temuan, kesimpulan atau rekomendasi Pansus sampai mengantarkan kepada proses impeachment (pemakzulan) presiden, mereka pula yang harus berdarah-darah membayar ongkos politiknya (yakni chaos massa) maupun beban ekonomi untuk penyelenggaraan ulang pemilu sebelum masanya. Semua itu lingkaran setan yang tak dimengerti rakyat.

Sementara, para anggota dewan di sidang Pansus tampil all out menampilkan seluruh kemampuan intelektual, kelihaian bersilat lidah, kemampuan menjebak dalam mengungkap fakta-fakta yang samar. Namun, dalam bingkai politik, semua aktivitas yang ditampilkan secara live oleh beberapa stasiun TV dan radio tersebut merupakan investasi untuk mendulang dukungan demi menangguk suara dimasa yang akan datang. Jadi, tampilan beragam dari yang biasa mengungkap kata-kata kasar bak preman pasar seperti Ruhut Sitompul, atau Anas Urbaningrum yang kalem, hingga yang berusaha menampilkan ‘islamisasi’ dengan mengucapkan salam sebelum mulai menanyai saksi seperti anggota Pansus dari PKS, sejatinya semua sedang melakoni peran dalam sebuah drama politik. Bambang Susatyo anggota Pansus dari partai Golkar secara gamblang mengatakan, jika Golkar ingin mendapat dukungan pada pemilu 2014, maka Pansus ini merupakan moment yang tepat untuk meraih dukungan. Jika tidak, maka partai Golkar akan menjadi partai gurem di masa depan.

Sementara partai-partai yang menjadi bagian dari koalisi kabinet berada pada posisi faith accompli, mau mendukung penuh Pansus membongkar skandal bisa berujung pada pemakzulan presiden, kalau tidak mereka khawatir tidak mendapat simpati rakyat. Alhasil, banyak partai yang bermain opera sabun, nampak bersungguh-sungguh dalam memeriksa saksi, tetapi sebentar kemudian orang-orang vokal tersebut diganti di tengah jalan. Sementara presiden yang biasanya menebar pesona, kali ini mulai menabur psywar halus dengan melakukan evaluasi komitment partai peserta koalisi.

Tak Tulus,…Ternyata Semua Hanya Motivasi Politik

Adapun ‘the other side’ yang kedua, ternyata sangat sulit menemukan jejak ketulusan di panggung politik nasional hari ini. Semua gagasan, keputusan dan langkah politik ternyata selalu dengan kalkulasi untung-rugi politik. Tak ada tampilan luar kesungguhan dan ketulusan yang benar-benar murni bebas dari hitungan politik. Apa yang nampak dalam tampilan membela kepentingan rakyat, memperjuangkan hak rakyat, sejatinya adalah bagian dari transaksi dan investasi politik. Pemenuhan janji para wakil rakyat dahulu pada saat kampanye dan tabungan dukungan untuk pemilu yang akan datang.

Partai-partai dan para wakil rakyat melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu bukanlah karena panggilan tulus nurani yang berangkat dari bisikan iman. Sebab arena politik adalah medan yang telah ter-sekuler-kan dari peran moralitas agama. Ruang publik dalam persepsi barat tempat sistem politik demokrasi lahir dan tumbuh berkembang adalah ruang bebas agama. Nuansa substansial ini ternyata tidak dapat dipengaruhi oleh tampilan periferal keagamaan seperti ucapan salam dan busana modis menutup aurat para wakil rakyat. Tak hanya karena di ruang yang sama ucapan bangsat bergaung, tetapi karena aura aqidah laa diniyah yang menjadi jiwa sekularisme tetap menjiwai sistem cangkokan tersebut.

Dalam bahasa aqidah, semua aktivitas ‘amal yang dikerjakan oleh para anggota dewan, terkhusus para anggota Pansus lis-siyaasah (untuk tujuan politik) dan itu berarti li ajlid-dunya (demi tujuan dunia) bukan lilLaah (untuk tujuan ‘ibadah mencari ridlo Allah) dan bukan lil-akhirah (untuk kebahagiaan di akherat), meski berusaha menampilkan dan membuat suasana se-Islami mungkin.

Andai, ketidak-ikhlasan itu menimbulkan bau busuk, barangkali ruang sidang ber-AC dengan pewangi ruangan itu tak ada yang sanggup berada di dalamnya. Ya,…hal itu tidak akan terjadi, sebab jika terjadi tak ada lagi hikmah ilahiyah diperintahkannya iman kepada perkara yang ghaib, sebab semua orang akan beriman karenanya. Tetapi barangkali justru harapan ini yang salah tempat, sebab sistem demokrasi yang dianut bangsa ini dan hari ini masih dalam situasi mabuk-euforia, memang berhulu dari paham sekularisme yang bebas agama.

Jika kita meneropong dengan cara pandang Islam, hasilnya tentu lebih mengkhawatirkan. Sebab Islam memandang ruang publik yang berisi pergaulan dan pertemuan kepentingan antar manusia, bahkan antar manusia dengan makhluk yang lain, justru menempati sejumlah besar aturan dalam syari’at Islam. Di situlah syari’at Islam berperan. Justru dengan hubungan di ruang publik itulah nampak sungguh-sungguh tidaknya komitment seorang muslim terhadap syari’at dan akhlaq agamanya. Tatkala di ruang tersebut komitment direnggut dan diganti dengan kepada aturan lain yang tidak bersumber dari syari’at agamanya maka hilanglah kharakteristik dan jati dirinya. Al-Qur-aan menyebutkan, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara kaaffah (totalitas seluruh aspek kehidupan), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan, karena sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqoroh 208). Di ruang publik ini, Islam tidak hanya datang dengan nilai moral yang bersifat global, tetapi hadir dalam bentuk aturan-aturan yang selain global juga spesifik sesuai pakem syari’at yakni Al-Qur-aan dan sunnah. Kalau agama lain cukup hadir dengan nilai moral global, silahkan saja, tapi Islam tidak. Dengan kata lain, kalau agama lain wellcome terhadap sekularisasi silahkan, tapi tidak dengan Islam.

Sungguh, betapa langka ‘alim robbaniy yang serius dan konsisten membongkar masalah ini dengan sungguh-sungguh mau menguasai persoalannya, kemudian menjelaskannya kepada ummat dengan bahasa yang dimengerti. Arus besar sekularisasi segala bidang yang tengah membanjiri dunia Islam dikawal oleh para intelektual yang dididik di negara asal tempat paham sekular tumbuh dan beranak-pinak, didukung dengan gelontoran dana tak terbatas, di-blow up dengan media massa maupun media elektronik yang dikuasai dan disetir oleh para shohibul-hajah dan untuk kawasan regional tertentu dipaksakan dengan koalisi kekuatan militer.

Syub-hat dalam Pandangan Muslim Awam

Sisi lain yang ketiga,…tokoh-tokoh politik dengan basis kesalehan pribadi, setidaknya tampilan kesalehan pribadi, tanpa sengaja menjadikan kerancuan pemahaman rakyat awam yang mayoritas muslim, lantaran tampilan kesalehan pribadi tersebut secara tak sadar memberi justifikasi bahwa sistem yang sedang berjalan ini bukan sistem kufur. Sekurang-kurangnya menciptakan kesamaran bahwa pemerintahan sekuler bukanlah pemerintahan yang kufur, atau setidaknya pemerintahan sekuler masih bisa ditolerir oleh Islam.

Pasalnya, kemungkinan besar banyak tokoh politik muslim yang tidak sadar bahwa pemerintahan sekuler dengan sistem perundangan positif tinggalan kolonial Belanda, atau Inggris, atau Perancis yang mencampakkan syariat Islam adalah sistem kufur. Kerancuan ini tampak jelas ketika seorang hakim tatkala mengetokkan palu memutuskan perkara di pengadilan diawali dengan mengucapkan kalimat ‘atas nama Tuhan’. Tuhan yang mana yang dimaksudkan? Jika yang dimaksud adalah Allah, maka Allah memerintahkan untuk memutuskan perkara dengan hukum syariat. Terlebih, dalam prinsip dasar paham sekularisme, urusan hukum diantara manusia adalah ruang publik dimana munculnya paham ini justru dengan misi menyingkirkan peran agama (Tuhan) dari ruang publik dan menempatkannya hanya pada batas-batas ruang privasi. Jadi, kalau Pak Budiono mantan gubernur BI yang kini menjabat Wapres mengatakan dengan sangat tenang bahwa kebijakan bailout bank Century dilakukan secara sadar dan beliau siap mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan, ini mendemonstrasikan kerancuan pengertian, mengingat beliau seorang muslim. Sebab jika implikasinya tertuju kepada paham sekuler yang mendasari sistem pemerintahan yang berlaku maka ruang publik adalah ruang bebas campur tangan Tuhan, tak perlu ada kalimat itu. Tetapi jika implikasinya pertanggungjawaban kepada Allah sesuai agamanya, maka Allah menuntutnya sebagai penguasa untuk menerapkan syari’at-Nya, betapa berat implikasi kalimat itu seandainya beliau tahu.

Penutup

Kami yakin masih banyak sisi lain yang perlu digali, dianalisa dan diungkap untuk mendidik ummat ini mengenali jati diri, prinsip hidup dan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Tentu saja keluasan ilmu dan kekayaan endapan pengalaman akan sangat membantu dalam melakukan pembacaan dan pembahasaan kembali. Mari terus melangkah memanggul risalah.