Adian Husaini

Hermeneutika dan Cara Berpikir Muslim (2)

Masih membahas tentang sifat al-Quran menurut kaum liberal. Dalam buku terbitan Gramedia tersebut, al-Quran yang suci dan dijaga oleh Allah adalah al-Quran yang di Lauhil Mahfuzh.  Sedangkan al-Quran di dunia ini, yang sekarang dipegang oleh kaum Muslim, sejak awal sudah mengalami kesalahan. Setidaknya, tidak dapat dipastikan seratus persen otentik. Bahkan, Dawam Rahardjo yang memberi kata pengantar buku ini, menulis secara terang-terangan, bahwa al-Quran yang sekarang ini, mungkin saja mengandung kesalahan.

Menurut Dawam Rahardjo, mengutip pendapat pemikir liberal Mohammed Arkoun, Kalam Tuhan yang asli adalah yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh. Berikut ini ungkapan Dawam Rahardjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada tahun 1960-an: ”Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula dalam bentuk transkrip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku. Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun di situ terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistorsi wahyu yang semula tersimpan di Lauh Mahfuzh itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang kontroversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat kontroversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”  (xviii-xix).

Cara pandang seperti itu jelas sangat keliru. Selama lebih dari 1400 tahun, kaum Muslim bersepakat dan tidak ragu sedikit pun, bahwa al-Quran adalah Kalamullah. Bukti-bukti otentisitas al-Quran begitu jelas. Karena itulah, kita selalu mengatakan: ”Allah berfirman dalam al-Quran.”  Jika ditanya, bagaimana kita tahu bahwa al-Quran adalah Kalamullah?

Maka, kita jawab, Rasulullah saw sendiri yang menyatakan, bahwa al-Quran adalah Kalamullah.  Kalau Rasulullah saw tidak menyatakan seperti itu, kita juga tidak tahu dengan pasti. Karena kita muslim, dan kita yakin, bahwa Nabi Muhammad saw pasti jujur dan tidak pernah berbohong, maka kita pasti membenarkan segala ucapan Rasulullah saw, bahwa al-Quran adalah Kalamullah. Sejak awal, Rasulullah saw sudah memisahkan, mana yang ucapannya sendiri dan mana yang Kalam Allah, meskipun kata-kata itu sama-sama keluar dari beliau. Kita, sebagai Muslim (tidak pakai tambahan predikat apa-apa), yakin benar akan kebenaran ucapan Nabi kita, Muhammad saw, bahwa al-Quran memang Kalamullah. Jika ada manusia yang menolak konsep al-Quran adalah Kalamullah, maka manusia itu sejatinya telah menuduh Nabi Muhammad saw adalah seorang pendusta. Itu urusan dan tanggung jawabnya sendiri.

Dalam buku terbitan PT Gramedia ini, kaum liberal memang secara tegas menolak pemahaman dan keyakinan kaum Muslim selama ini  bahwasanya al-Quran adalah Kalamullah. Kaum liberal ini bertahan pada posisinya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad. Ditulis di sini: “Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).” (hal. 143).

Jadi, inilah perbedaan yang sangat mendasar antara orang Muslim dengan orang liberal dalam memandang Kitab Suci al-Quran. Kita percaya berita-berita yang dibawa oleh para sahabat Nabi dan para ulama yang shalih. Sedangkan kaum liberal lebih percaya kepada Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, dan para orientalis yang rata-rata tidak beriman kepada al-Quran. Jika selama ini para ulama Islam meyakinkan umat Islam akan kebenaran dan kesucian al-Quran, maka kaum liberal berusaha membuat orang Muslim ragu-ragu terhadap al-Quran dan bahkan terhadap Islam itu sendiri. Mereka tidak merasa tenang, sebelum umat Islam meninggalkan keyakinan akan kebenaran al-Quran.

Pandangan terhadap konsep al-Quran – apakah Kalamullah atau kata-kata Muhammad – ini menurut Dawam Rahardjo, merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Menurut Dawam Rahardjo: “Metode Hermeneutika ini berbeda dengan pendekatan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang sosial Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.” (hal.xiii).

Jadi, dalam hermeneutika, otentisitas teks menjadi tidak terlalu penting. Yang penting adalah konteksnya. ”Disinilah perlunya metode hermeneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacanakan oleh Mohammad Abduh,.” tulis Dawam Rahardjo. (hal. xix).

Bagi para sarjana al-Quran, terlalu mudah untuk menunjukkan kekeliruan data dan kutipan tulisan-tulisan seperti ini. Para ulama kita tidaklah bodoh dan membabi buta dalam meyakini kebenaran al-Quran. Hanya saja, penjelasan para ulama itu tidak banyak manfaatnya bagi orang-orang yang memang ingin ingkar. Di masa Rasulullah saw, banyak kaum Yahudi dan Nasrani yang sudah melihat dengan jelas bukti-bukti kenabian Muhammad saw, tetapi mereka tetap ingkar. Jika mereka memang mau ingkar, maka Allah menutup hati mereka dari kebenaran. Mata dan telinga mereka juga terhalang untuk menerima kebenaran.

Karena itu, apa yang bisa kita katakan lagi ketika seseorang tidak lagi percaya bahwa al-Quran adalah suci dan otentik?  Kitab mana lagi yang lebih valid dan begitu jelas riwayatnya selain al-Quran? Kitab inilah yang sejak awal dihafal dan ditulis. Ribuan ulama dan ilmuwan sudah membuktikan ketidakmungkinan al-Quran sebagai kitab karya manusia mana pun, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika di siang bolong seperti sekarang, tiba-tiba ada manusia yang mengaku dapat membuktikan bahwa al-Quran mengandung kebohongan, maka manusia itu pastilah amat sangat luar biasa. Dia pasti bukan ”manusia biasa”. (***)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *