Kajian

Kewajiban yang Sebanding

Menjadi pemimpin, dengan ketaatan penuh para anggotanya, seringkali menjebak kita pada kesalahan penggunaannya. Terlalu asyik dengan perasaan ‘berkuasa’ yang nikmat, atau sejumlah keuntungan yang jelas-jelas terhidang di hadapan, pada banyak kasus, melenakan dan bahkan menjerumuskan. Kita lebih sibuk mengambil nikmat daripada memberi manfaat, atau mementingkan diri sendiri daripada kepentingan bersama.

Padahal, ketaatan dan pelayanan itu tidak ada yang gratis. Selalu ada sejumlah syarat yang mengiringi perolehannya. Bahkan, juga tanggung jawab yang tidak ringan dan sangat merepotkan jika si pemimpin abai akan kewajiban, namun selalu menuntut haknya. Dalam konteks keluarga islami, ketaatan anggotanya kepada suami atau ayah, adalah ketaatan yang berbingkai syariat. Bukan ketaatan buta yang rawan eksploitasi dan tindak lalim yang merugikan, bahkan menyengsarakan.

Sehingga, organisasi bernama keluarga, yang mestinya teratur jalannya, tergali potensinya, menyamankan anggotanya, juga barakah keberadaannya karena ia adalah jannah di dunia, berubah menjadi neraka yang menyajikan penderitaan tak terperi. Memenjarakan para anggotanya ke dalam ketaatan yang menyiksa. Sangat tidak nyaman dirasakan dan jauh dari keikhlasan. Iklim yang tidak kondusif bagi jiwa pendamba ketentraman dan hubungan yang sulit dinikmati.

Semula bermula dari para pemimpin yang tidak memedulikan sejumlah kewajiban yang, kini, bertengger di pundak mereka, menuntut pelaksanaannya, jauh sebelum permintaan akan hak kepemimpinan itu. Para pemimpin yang tidak sadar memilih peran dan bersiap dengan tanggung jawab atas semua risiko yang mengiringi. Terjebak dalam kebingungan karena ketidakfahaman, atau terlena nafsu yang memberati langkah-langkah kaki untuk menjalani peran secara bersungguh-sungguh. Tapi bersikap oportunis dalam memanfaatkan semua kemungkinan yang menguntungkan.

Lalu, apa saja kewajiban para suami, ayah atau pemimpin keluarga, yang menjadi syarat untuk mendapatkan ketaatan dan pelayanan dari anggotanya?

Salah satunya adalah pemberian nafkah. Yaitu makanan, pakaian, tempat tinggal, obat-obatan serta berbagai keperluan keluarga secara makruf. Hal ini merujuk kepada adanya sejumlah kebutuhan badani yang memang harus tersedia agar kehidupan berjalan dengan nyaman. Hakim bin Muawiyah meriwayatkan dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu yang berkata: “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya?’ Beliau Shalallahu’alaihi wa salam bersabda, ‘Engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajahnya, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan meninggalkannya kecuali di dalam rumah.”

Yang kedua adalah mempergauli anggota keluarga secara makruf. Yaitu pergaulan yang menentramkan hati karena menempatkan semuanya dalam posisi mereka sebagai manusia, yang membutuhkan penerimaan, kasih sayang dan peneguhan. Hal ini merujuk kepada fakta adanya sejumlah agenda penting dalam hidup yang melibatkan seluruh anggota keluarga di dalam pencapaiannya. Mereka adalah orang-orang terdekat yang, seharusnya saling bekerjasama mewujudkan sakinah, mawaddah wa rahmah di dalam keluarga.

 

Di sini, dibutuhkan kedewasaan sikap dan kesabaran yang penuh. Bukan saja karena sebagai manusia yang tidak sempurna, selalu saja masing-masing kita memiliki kekurangan yang berpotensi mengecewakan pihak lain, namun juga wilayah sebaran mu’asyarah bil ma’ruf yang sangat luas dan berlangsung lama, nyaris sepanjang usia pernikahan itu sendiri.

Allah berfirman, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Yaitu membaguskan ucapan, tindakan dan penampilan kepada anggota keluarga. Sebab sebagaimana kita menyukai jika mereka melakukannya untuk kita, mereka pun menyukai jika kita melakukannya untuk mereka. Bukankah keseimbangan akan membuat semuanya menjadi terasa indah?

Yang ketiga adalah kepemimpinan dan pengarahan. Hal ini karena para suami adalah pembimbing keluarga yang mengayomi mereka agar berjalan di atas ketaatan kepada Allah. Sehingga wajib bagi para suami untuk memerintahkan mereka kepada kebaikan sekaligus melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan Allah.

Kepemimpinan yang disertai keteladanan jelas sangat manjur untuk mengarahkan anggota keluarga ke arah kebaikan, sekaligus membuahkan ketentraman batin karena pada dasarnya, mereka membutuhkan jaminan keselamatan, sebagai ganti atas ketaatan dan pelayanan yang mereka berikan.

Sedang yang keempat adalah keadilan. Baik di antara anak, istri, maupun di antara istri bagi pelaku poligami. Yaitu memberikan sebagian waktu untuk bercengkerama bersama keluarga, menunaikan hak-hak mereka, hingga pemberian material yang pantas dan sesuai dengan kemampuan.

Inilah hal-hal yang menjadi wasilah akan hak para suami yang begitu besar. Sebuah kepantasan yang layak sebab para wanita pun mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Sehingga Rasulullah Shalallahu’alaihi wa salam bersabda, “Sebaik-baik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” Nah!

 

 

 

 

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *