Abu Umar AbdillahKolom

Syariat Dibuang, Nestapa Menghadang

Hari-hari yang kita lalui di zaman ini, betapa sering kita mendengar kasus pencurian, perjudian, mabuk-mabukan, suap menyuap, korupsi, perzinaan, pembunuhan, penipuan, pengkhianatan, aborsi dan bunuh diri.

Jika masing-masing pelaku ditanya tentang alasan yang mereka perbuat, hampir tak ada perbedaan secara substansial dari setiap jawaban mereka. Yang satu ingin mereguk kesenangan, yang lain ingin menyudahi penderitaan, dan yang lain lagi tak ingin hidup menderita di masa depan.

Ditambah lagi, situasi yang tak menentu dan problem multi dimensi yang dihadapi masyarakat, membuat mereka gagap mencari solusi. Di lain isi, banyak pilihan cara yang dipublikasikan, berbagai metode ditawarkan, bermacam program dijajakan, yang kesemuanya menarik untuk dijajal. Maksud hati ingin memperoleh kehidupan yang lapang, namun ujung-ujungnya justru kembali pada kesesatan, keruwetan, kebingungan dan problem yang tak berkesudahan.

Semestinya, di momen Ramadhan yang merupakan syahrul Qur’an, menyadarkan kita, bahwa kembali kepada syariat adalah solusi yang pasti, sebagaimana akar dari seluruh nestapa dan derita adalah berpalingnya manusia dari syariat.

Telah ada jaminan pasti, bahwa siapapun yang berpaling dari peringatan Allah, membuang aturan dan syariat-Nya, niscaya akan berbuah nestapa yang tak ada kesudahannya. Firman Allah,

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia:”Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat” Allah berfirman:”Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu(pula) pada hari inipun kamu dilupakan”. (QS. Thaha: 124-126)

Dosis peringatan dalam ayat ini benar-benar tinggi. Langsung mengena pada akar segala penyakit ruhani berupa kufur, nifak, maksiat dan lainnya dengan ancaman hukuman maksimal mencakup hukuman dunia, alam barzakh dan akhirat.

 

Nestapa di Dunia

Hukuman bagi siapapun yang berpaling dari syariat, telah dirasakan saat ia masih hidup di dunia. Sempitnya penghidupan di dunia akan disandang oleh orang yang berpaling dari ketaatan, lalu cenderung pada hawa nafsu dan bujuk rayu setan. Makna penghidupan yang sempit (ma‘isyatan dhanka). Dan secara bahasa, makna dhankan adalah dhayyiqah syadiidah (kesempitan yang luar biasa).

Kalangan mufassirin seperti al-Qasimi, Ibnu Katsir, asy-Syaukani, dan yang lain berpendapat bahwa kesempitan hidup itu terjadi dunia, karena ancaman itu diikuti dengan ancaman ukhrawi pada ayat berikutnya. Namun ada pula yang menafsirkan, bahwa maksud penghidupan yang sempit adalah disempitkan kuburnya. Dan tidak ada pertentangan di antara dua penafsiran tersebut.

Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin berkata, ”Pendapat yang benar, penghidupan yang sempit itu berlaku baik di dunia maupun di alam barzakh bagi siapapun yang berpaling dari peringatan Allah berupa syariat yang Dia turunkan, maka ia akan merasakan sempitnya hati, suramnya kehidupan, banyaknya ketakutan, kandasnya angan-angan, kelelahan dalam mengejar dunia, bersedih sebelum mendapatkannya, menyesal setelah hilang darinya dan aneka penderitaan yang selalu menyertainya..”

Beliau juga berkata, ”Jikalau sebagian tidak merasakan penderitaan itu, semata-mata karena mereka tengah tenggelam dalam mabuk syahwat, segala rasa itu dienyahkan dari hati dan ia tidak mau berfikir tentangnya.”

Keadaannya seperti orang yang mabuk khamr, hingga lupa akan masalah yang dihadapi, juga terhadap penyakit yang diderita. Bukan karena masalah itu selesai dengan mabuk, atu penyakit sembuh karenanya. Begitulah keadaan orang yang sedang mabuk syahwat.

Tak ada yang janggal dalam hal ini. Semua ini sebagai balasan yang setimpal di dunia. Karena nasib manusia di dunia ini sebagaimana keadaan mereka di akhirat; amat ditentukan oleh penyikapannya terhadap syariat. Siapapun yang berpaling dari syariat, niscaya akan sesat dan akan mengenyam penderitaan yang dahsyat. Begitupun sebaliknya, siapa pun yang taat terhadap syariat dalam bentuk iman dan amal shalih, niscaya akan nikmat dan selamat. Sebagaimana Allah janjikan,

”Siapa saja yang mengerjakan amal salih -baik laki-laki maupun perempuan- dalam keadaan beriman sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik.” (Qs. an-Nahl 97).

 

Terhimpit Di Alam Kubur

Banyak salaful-ummah yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan sempit dalam firman Allah, “Maka, sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” (QS. Thaahaa: 124)

Adalah azab kubur. Dan mereka menjadikan ayat ini sebagai salah satu dalil tentang adanya siksa kubur.

Abu Sa’id al-Khudri menafsirkan ayat tersebut, ”Yakni kubur akan menghimpitnya hingga berantakan tulang rusuknya.”

Mayorits ulama menafsirkan ma’isyatan dhonka dalam ayat ini adalah kehidupan sempit yang akan dirasakan di alam kubur. Tafsir ini didukung dengan sebuah riwayat yang oleh Imam al Albani dinilai hasan. Penggalan riwayat yang cukup panjang tersebut adalah:

Rasulullah SAW bertanya, “ Tahukah kalian apa arti ma’isyah dhanka (kehidupan yang sempit) itu? Shahabat menjawab, “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah SAW bersabda, “ Itu siksaan bagi orang kafir di kuburnya. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, dia akan diumpankan kepada 99 at tinin. Dan tahukah kalian apa itu at tinin? At Tinin adalah tujuh puluh ular yang masing-masing memiliki tujuh kepala, ular itu akan mematuk dan mencabiknya hingga hari Kiamat.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Hibban).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, ad Daruquthni dan lainnya yang dinilai shahih oleh Imam al Albani disebutkan,

وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُ، فَيُقَالُ لَهُ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ لاَ أَدْرِي. كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ لَهُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَاقٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ، فَيَصِيحُ صَيْحَةً فَيَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرُ الثَّقَلَيْنِ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: يَضِيقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ، حَتَّى تَخْتَلِفَ أَضْلاَعُهُ.

“Adapun orang kafir dan munafik, akan dikatakan padanya, “Apa yang kau ketahui tentang orang ini -Nabi Muhammad-?” Dia menjawab, “Aku tidak tahu. Aku hanya mengatakan seperti apa yang dikatakan manusia.” Lalu dikatakan, “Kau tidak tahu dan tidak membaca.” Lalu dia dipukul dengan palu besi sekali di antara dua telinganya. Diapun berteriak keras hingga terdengar oleh yang ada didekatnya kecuali jin dan manusia. Sebagian mereka berkata, “Lalu kuburnya menyempit hingga hancur tulang rusuknya.”

 

Siksa terakhir yang tak berakhir

Kemudian kalimat wa nahsyuruhum yawm al-qiyâmati a‘mâ (dan Kami akan menghimpunkan mereka pada Hari Kiamat dalam keadaan buta). Secara lahiriah, yang dimaksud dengan a‘ma (buta) di sini adalah hilang atau tidak berfungsinya penglihatan mereka, padahal semasa di dunia mereka adalah orang-orang yang dapat melihat.

Cukuplah ini menjadi gambaran yang mengerikan. Di tempat yang sangat asing dan penuh bahaya, ia dikumpulkan dalam keadaan buta dan terlantar. Sebagai balasan yang sepadan, karena mereka telah membutakan diri dari petunjuk Allah di dunia, maka Allah pun membutakan mata mereka di dunia.

Belum lagi siksa neraka yang menanti. Imam ath-Thabari dalam tafsirnya menyebutkan di antara makna penghidupan yang sempit adalah siksa neraka. Salah satu riwayat dari Ibnu Zaid menyebutkan, “ Kehidupan yang sempit itu ada di neraka, di dalamnya ada duri dari api, buah zaqum dan campuran darah dan nanah. Sebenarnya di alam kubur dan juga di dunia hakikatnya tidak ada kahidupan. Kehidupan itu hanya ada di dunia.” (Tafsir ath Thabari XVIII/391).

Itulah balasan bagi yang berpaling dari al Quran. Semakin total manusia berpaling, semakin utuhlah balasan buruk yang bakal diterima. Begitupun sebaliknya, semakin total personal maupun komunal dalam berpegang kepada syariat, maka semakin sempurna pula perolehan kebahagiaan yang didapat. Karena tak ada yang lebih valid kebenarannya daripada aturan Allah. Sistem kehidupan dari Rabb al-‘alamiin ini juga tidak akan pernah kehilangan relevansinya dengan pergantian zaman. Sebab, tidak ada satu pun perkara yang luput dari pengetahuan-Nya, yang tampak maupun yang gaib; dulu, kini, maupun yang akan datang. Karena sifat-Nya Yang Mahabijaksana, maka semua hukum-hukum Allah pastilah adil, dan mustahil zalim, meski terhadap satu orangpun. Semua hukum-Nya sempurna dan tanpa cacat, karena datang dari Dzat Yang Mahasempurna tanpa cacat. Wallahu a’lam. (Abu Umar/Anwar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *