Imtihan Syafi'iKolom

Tahu Diri Tidak Tahu

وَنَقُوْلُ اللهُ أَعْلَمُ فِيْمَا اشْتَبَهَ عَلَيْـنَا عِلْمُهُ

 (82) Kami katakan, “Allah lebih tahu,” untuk berbagai hal yang kami tidak benar-benar mengetahuinya.

Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, seorang mukmin tak boleh mengatakan apa yang tidak diketahuinya. Jika ia mengetahui sesuatu, ia boleh mengatakannya. Jika tidak, ia harus diam dan menjaga lisannya. Seorang mukmin tidak boleh berkata-kata dalam urusan agama dan ibadah tanpa ilmu. Dia harus berhenti dan berkata, “Allahu A’lam, Allah lebih tahu.”

Imam Malik bin Anas, imam Darul Hijrah, suatu hari didatangi oleh seseorang yang mengajukan 40 pertanyaan. Hanya empat pertanyaan beliau jawab, sedangkan sisanya beliau katakan, “Saya tidak tahu.” Orang itu pun berkata, “Aku datang dari tempat yang jauh dengan mengendarai onta, namun Anda hanya memberikan jawaban, ‘Saya tidak tahu?!’.” Imam Malik pun berkata, “Kendarailah ontamu dan pulanglah ke negerimu, lalu katakan kepada orang, ‘Aku telah bertanya kepada Malik, namun dia menjawab, ‘Aku tak tahu.’!”

Apabila Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang sesuatu yang wahyu belum turun berkenaan dengannya, beliau menunggu sampai turunnya wahyu. Begitu pun para sahabat, saat mereka ditanya oleh Rasulullah saw tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Pada beberapa edisi yang lalu telah dijelaskan bahwa agama seseorang hanya tegak di atas pondasi kepasrahan kepada Allah dan Rasulullah saw serta mengembalikan ilmu berbagai hal kepada yang berhak.

Bahkan Allah telah memerintahkan Nabinya untuk mengembalikan apa yang tidak diketahuinya kepada Yang Mahatahu (Allah).

Katakanlah, ‘Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua).’!” (QS. Al-Kahf: 26)

Katakanlah, ‘Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.’!” (QS. Al-Kahf: 22)

Dan ketika Rasulullah saw ditanya tentang nasib anak-anak orang-orang musyrik di akhirat kelak, beliau menjawab, “Allah Mahatahu apa yang mereka kerjakan (sekiranya mereka diberi umur sampai dewasa).”

 

Jawaban Haram

Ketika seseorang ditanya tentang suatu urusan agama, lalu ia menjawabnya, maka sesungguhnya ia sedang menyandarkan ucapannya kepada Allah. Islam ini agama Allah. Dan Allah mengharamkan mengatakan sesuatu lalu menyandarkannya kepada-Nya. Allah berfirman,

Katakanlah, “Rabb-ku hanya meng-haramkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak orang lain tanpa alasan yang benar, menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan menyandarkan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya!” (QS. Al-Isra`: 36)

Barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu, sesungguhnya ia sedang dan telah mengikuti hawa nafsunya dan setan.  Allah berfirman,

Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.” (QS. Al-Qashash: 50)

Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang jahat,” (QS. Al-Hajj: 3)

Termasuk bab berkata tanpa ilmu adalah menafsirkan al-Qur`an dengan pendapat pribadi. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur`an dengan pendapatnya, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka.”

(HR. Muslim)

 

Bukan Aib atau Cela

Mengatakan “saya tidak tahu” atau “Allah lebih tahu” bukanlah aib, cacat, atau cela bagi para ulama. Apalagi bagi para pencari ilmu. Sebaliknya, ia adalah kesempurnaan, bukti wara’ dan cerminan takwa. Orang-orang justru akan merasa tenang dan aman karena mereka yakin bahwa orang yang mereka tanya adalah orang yang jujur dan tidak akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan. Mereka pasti mengatakan tidak tahu saat mereka tidak tahu.

Seseorang tidak perlu malu untuk mengatakan “Saya tidak tahu, Allah lebih tahu.” Mengapa mesti malu, sedangkan para malaikat pun tidak malu untuk mengatakan “Kami tidak tahu” saat mereka tidak tahu. Allah berfirman,

Dan (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!’ Mereka (para malaikat) menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Baqarah 2:32)

Nabi juga memberi teladan dalam menjawab pertanyaan dengan jawaban tidak tahu. Ibnu Umar menyatakan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam, “Tempat apakah yang paling buruk?” Beliau menjawab, “Aku tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Jibril.” Setelah ditanyakan kepada Jibril,  Jibril menjawab,  “Aku juga tidak tahu. Kutanyakan dulu kepada Mikail.” Akhirnya (setelah mendapatkan jawaban), Jibril datang dan berkata, “Tempat yang paling baik adalah masjid. Sedangkan tempat yang paling buruk adalah pasar.”  (HR Ibnu Hibban dinyatakan hasan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth)

 

Jejak Salaf

Menahan lisan tidak berucap untuk sesuatu yang tidak diketahui serta secara tegas mengatakan ‘Saya tidak tahu’ dan ‘Allah lebih tahu’ sudah menjadi kebiasaan  para Salaf. Inilah sebagian dari atsar mereka.

Abu Bakar ash-Shiddiq ra berkata, “Bumi mana yang akan kupijak, langit mana yang akan kujadikan naungan, jika aku mengatakan sesuatu tentang ayat dalam Kitabullah dengan pendapatku sendiri atau dengan sesuatu yang tidak aku ketahui?”

Umar bin Khattab berkata, “Berprasangka buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama. Jika kalian menyaksikanku pada hari Abu Jandal (perjanjian Hudaybiyah), sungguh pada saat itu aku telah menolak perintah Rasulullah saw dengan pendapatku. Aku memang  berijtihad, tetapi aku tidak berpaling. Hari itu adalah hari Abu Jandal, saat perjanjian itu hendak ditulis, beliau bersabda, ‘Tulislah: Bismillahirrahmanirrahim!’ Orang Quraisy berkata, ‘Tulis saja: Dengan nama-Mu, ya Allah!’ Rasulullah saw setuju dengan permintaannya. Orang itu menulis, namun aku enggan menulisnya. Rasulullah saw bersabda,’“Wahai Umar, kau telah menyaksikan aku rela, tetapi kenapa kamu enggan?’

Ibnu Sirin bertutur, “Tidak ada yang lebih khawatir berkata tentang yang tidak diketahuinya seperti Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, yang paling khawatir adalah ‘Umar. Sungguh, saat dihadapkan pada suatu masalah, sedangkan tidak didapati pokoknya dalam al-Qur`an atau as-Sunnah, lalu ia berijtihad, ia berkata, ‘Ini pendapatku. Jika benar, maka ia datang dari Allah, dan jika salah, maka ia datang dari diriku sendiri, dan aku memohon ampunan kepada Allah.”

Ali bin Abi Thalib ra pernah ditanya tentang suatu permasalahan, beliau menjawab “Saya tidak tahu.” Kemudian beliau berkata lagi, “Alangkah sejuknya hati ini,” sebanyak tiga kali. Orang-orang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa maksud perkataanmu itu?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya ia menjawab, “Allah lebih tahu.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Barangsiapa mengetahui sesuatu hendaklah ia berkata dengan pengetahuannya itu, sedangkan yang tidak mengetahui hendaklah ia mengucapkan “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui)”.

Humaid bin ‘Abdirrahmaan berkata, “Menjawab dengan jawaban tidak tahu lebih aku sukai daripada harus memaksakan diri menjawab sesuatu yang tidak aku ketahui”

Qatadah berkata, “Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”

Muhammad bin Sirin berkata, “Bagiku sama saja, ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui. Jika aku ditanya tentang sesuatu yang aku ketahui, maka akan aku katakan apa-apa yang aku ketahui. Namun jika aku ditanya tentang sesuatu yang tidak aku ketahui, maka akan aku katakan, ‘Aku tidak tahu.’.”

Sa’id bin Jubair pernah ditanya tentang satu permasalahan, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian ia melanjutkan, “Sungguh celaka orang yang mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui, ‘Aku mengetahuinya.’.”

Asy-Sya’bi pernah ditanya tentang sesuatu, dan menjawab, “Saya tidak tahu.” Tapi beliau malah ditanya lagi, “Apakah engkau tidak malu mengucapkan tidak tahu, sedangkan engkau seorang ahli fiqih di Iraq?” Asy-Sya’bi menjawab, “(Kenapa mesti malu, sedangkan) Malaikat pun tidak malu untuk berkata ‘Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang engkau ajarkan kepada kami.’.“

Sufyan ats-Tsauriy berkata, “Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, (lalu) mengamalkannya, menghafalnya dan menyampaikannya.”

Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *