Kajian

Menjauh dari Allah, Mendekat kepada Iblis

Setan memang senantiasa menggoda manusia. Selalu berusaha mencari celah dan kesempatan untuk menyeretnya menuju kedurhakaan. Godaan yang intens membuat banyak manusia yang akhirnya terjerembab ke dalam dosa. Dalam hal ini setan memang salah. Tapi terjadinya dosa, manusialah yang paling layak disalahkan karena dialah yang menentukan pilihan. Dosa terjadi karena pilihan yang diambilnya adalah pilihan yang disarankan setan.  Setan hanya memberi saran dengan sedikit ajakan. Manusia benar-benar diberi keleluasaan untuk mengikuti atau berdiam diri. Jika pada akhirnya dia ikut dan akhirnya dihukum karenanya, jangan heran jika sang pemberi saran mengelak dan mengatakan, “Fala talumuni, walumuu anfusakum” janganlah kalian mencaciku, tapi cercalah diri kalian sendiri.

Yang dilakukan setan adalah memberi sugesti dan arahan yang menjauhkan manusia dari Allah. Karena jika manusia jauh dari Rabbnya, maka akan mudah bagi setan untuk membantunya menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Memudahkannya untuk mendikte langkah manusia agar seirama dengan langkahnya. Semakin jauh dari-Nya, hidupnya akan semakin terisi dengan keputusan-keputusan yang salah dan langkah-langkah sesat. Pada akhirnya, ketika posisinya benar-benar jauh dari koordinat iman, berangsur-angsur dirinya akan berubah menyerupai makhluk yang menyesatkannya. Na’udzubillah min dzalik.

Ibnul Qayim dalam bukunya ad Daa’ wad Dawa’ menjelaskan, al bu’du minallah atau jauh dari Allah Allah terbagi menjadi empat level. Yang pertama adalah al ghaflah. Selanjutnya adalah level maksiat, ketiga level bid’ah dan terakhir adalah nifak dan syirik.(hlm. 90)

Ibnul Qayim memang tidak menjelaskan lebih lanjut keempat level ini. Tapi dengan merujuk ke beberapa pembahasan mengenai kempat hal ini, kita dapat memahami lebih dalam makna dari penjelasan beliau.

Level pertama adalah ghaflah atau lalai. Imam al Munawi mengatakan, ghaflah adalah kondisi di saat mana seseorang kehilangan kesadaran terhadap segala hal yang semestinya dia sadari. (at Tauqif ‘ala Muhimmatit Ta’arif; 540). Dan di dunia ini tidak ada yang lebih layak untuk disadari oleh manusia melebihi kesadaran terhadap tujuan mereka diciptakan, yaitu beribadah kepada Allah.

Lalai dari tujuan ini akan menjauhkan manusia dari Rabbnya. Dalam stadium ini, barangkali dia tidak melakukan kemaksiatan tapi juga tidak melakukan ibadah yang mendekatkannya kepada Allah. Dia sibuk melakukan hal-hal mubah yang hanya bernilai di dunia tapi tak berharga di akhirat. Lama terkungkung dalam kelalaian akan membuat manusia tak lagi menggubris perintah-Nya dan mulai acuh terhadap larangannya. Pada akhirnya dia akan terseret menuju stadium berikutnya, maksiat. Sampan ghaflah akan menjauhkannya dari daratan ridha Allah menuju singgasana Iblis.

Yang kedua adalah maksiat. Tak perlu dibahas lagi bagaimana jauhnya manusia dari Allah saat berada dalam kemaksiatan. Larangan Allah ibarat batas wilayah. Melanggarnya berarti keluar dari wilayah-Nya dan berpindah menuju wilayah setan.

Tahapan selanjutnya adalah bid’ah. Perlu dipahami, level ini bukanlah level yang secara berturut digunakan untuk menyesatkan manusia. Level ini adalah tingkatan jauhnya jarak manusia kepada Allah. Artinya, bisa saja seseorang langsung terperangkap dalam tingkat bid’ah tanpa harus dibuat lalai dan melakukan maksiat terlebih dulu.

Bid’ah adalah membuat ritual ibadah baru yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW. Bidah menduduki level tertinggi ketiga dalam menjauhkan manusia dari Allah karena sifatnya yang ‘unik’. Bidah sangat korosif terhadap iman dan pahala tapi menipu karena pelakunya justru merasa yang sebaliknya; merasa banyak ibadah dan pahala selalu bertambah. Merasa mendekat kepada Allah padahal Allah menjauh darinya.  Mengapa Allah menjauh? Bukan lain karena membuat atau menambah-nambah ibadah tanpa ada tuntunan syariat adalah sikap sok pintar. Merasa lebih tahu cara beribadah yang lebih baik dari yang sudah dituntunkan Rasul-Nya. Tak pelak, pelaku bidah akan terdepak jauh dari rahmat-Nya dan justru dekat dengan Iblis.

Ibnul Qayim berkata dalam Kitab Madarijus Salikin, “ Sebagian salaf berkata, ‘Bidah lebih disukai Iblis daripada maksiat, karena maksiat masih diharapkan bisa bertaubat sedang bidah tidak.” (I/322) pelaku maksiat kadang-kadang masih sadar bahwa yang dilakukannya salah. Tapi pelaku bidah justru merasa benar, mendapat pahala dan mengajak orang untuk melakukan hal serupa, padahal yang dilakukannya lebih pantas mendapat murka.

Yang terakhir dan yang terjauh adalah level syirik dan nifak. Ini adalah akhir dari semuanya. Lembah terdalam di daratan kesesatan, atau palung tergelap dari samudera kebinasaan. Benar-benar jauh dari cahaya-Nya. Di sini segala kebaikan menjadi tidak berarti. Di lembah ini, kebaikan itu ibarat percikan cahaya yang hanya sekejap dan hilang ditelan pekatnya kegelapan. Semua amal kebaikan dalam kemunafikan dan kesyirikan akan menjadi habaa’an manstura, terbang berhamburan tak dapat digenggam untuk diambil manfaatnya.

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan .”(QS. Al Furqan;23)

Inilah maratib atau tingkatan jarak antara hamba dan Rabb-nya. Dimanakah koordinat kita? Semoga tidak termasuk dalam keempat level ini. Dan bagaimana caranya menjaga agar tidak terseret kesana? Jawabannya simpel tapi pelaksanaannya tidak sesimpel jawabannya; banyak berdzikir kepada Allah. Bukan hanya dzikir lisan dan anggota badan, tapi lebih penting adalah dzikir hati. Yakni kondisi hati yang selalu sadar terhadap keberadaan-Nya, pengawasannya dan kedudukan dirinya dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat kita senantiasa terjaga dan dengan iringan dzikir lisan dan anggota badan, kita akan berusaha untuk selalu mendekat kepada-Nya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita agar selalu dekat dengan-Nya. Amin, ya rabbal a’alamin. Wallahul musta’an. (Abu Rozin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *