Kajian

Dusta, yang Haram dan yang Mubah

Saking buruknya perbuatan dusta, Rasulullah ﷺ sampai menegaskan bahwa seorang mukmin mustahil melakukannya. Seakan-akan kejujuran adalah syarat untuk menjadi seorang mukmin. Hal ini sangat logis karena dusta berpotensi melahirkan banyak keburukan. Ada ragam jenis dusta, mulai yang berat sampai yang ringan. Namun begitu, masih ada celah dimana dusta dibolehkan oleh syariat.

Dusta menurut Imam al Jahidz adalah memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan. Secara umum semua orang memahami apa yang dimaksud dusta. Selain berupa ungkapan verbal, dusta atau kebohongan juga bisa berwujud gerakan tubuh.

Baca Juga: Ciri Orang yang Berdusta, Mudah Mencari Alasan

 

Syaikh al Maidani berkata, “ Selain berupa ungkapan verbal, jujur dan dusta juga dapat berupa perbuatan. Adakalanya seseorang melakukan sesuatu yang yang seakan-akan menggambarkan adanya suatu kejadian padahal sejatinya tidak ada, atau sebaliknya. Polanya sama dengan dusta secara verbal yaitu dimaksudkan untuk memperdaya. Dan boleh jadi, dusta dengan gerakan tubuh jauh lebih berbahaya dan lebih memberi pengaruh daripada dusta lisan. Dua jenis dusta ini ada dalam kisah saudara Yusuf tatkala memperdaya Ya’qub, ayahnya. Allah berfirman;

Mereka berkata:”Wahai ayah kami,sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami,sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu…”(QS. Yususf; 17).

Mereka menyatukan dua dusta, dusta lisan dan dusta perbuatan.” (al Akhlaq al Islamiyah wa Asasuha I/529)

“Dia dimakan serigala” adalah dusta lisan. Sedangkan memperlihatkan kain berdarah adalah dusta dengan gerakan. Mereka tidak menyatakan itu darah Yusuf, tapi perbuatan itu dilakukan pada momen yang siapapun pasti akan mempersepsikan itu darah Yusuf q.

Tingkatan Dusta

Dusta bertingkat-tingkat.  Mulai dari dusta yang biasa dilakukan hingga dusta besar yang besar pula dosa dan akibatnya. Yang paling buruk adalah dusta atas Nama Nabi Muhammad n dalam hal hadits. Rasulullah n bersabda,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesiapa yang berdusta atas namaku, maka ambilah tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari)

Dusta atas nama Nabi n adalah membuat suatu ucapan lalu mengklaim bahwa ucapan tersebut adalah ucapan Nabi Muhammad n. Dalam disiplin ilmu hadits, tipuan ini disebut dengan “wadh’u” dan haditsnya dijuluki hadits maudhu’.

Ulama ahli hadits telah menerapkan mekanisme detail dan teliti dalam membedakan mana hadits Nabi n dan mana yang dicurigai bukan hadits Nabi n (hadits Dhaif) atau memang benar-benar bukan hadits Nabi n alias maudhu’. Membuat hadits maudhu’ merupakan kedustaan besar karena melecehkan Nabi n, menyatakan diri sebagai pembuat syariat dan menyesatkan umat.

 

Baca Juga: Ketika yang Tabu Dianggap Lucu

 

Dusta besar selanjutnya adalah dusta untuk memfitnah dan menuduh orang, atau memberi kesaksian palsu. Contohnya kasus haditsul ifki. Yaitu fitnah yang menimpa Aisyah berupa tuduhan zina dengan salah seorang shahabat Nabi. Kisah ini dijelaskan dengan gamblang dalam surat an Nur. Hukuman bagi para penyebar fitnah ini sangatlah berat. Dalam kasus Aisyah di atas, para pelakunya diancam dengan ayat;

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An nur; 19)

Adapun tentang kesaksian palsu, Nabi SAW menyebutnya sebagai dosa terbesar.

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ  قَالَ  قَوْلُ الزُّورِ  أَوْ قَالَ شَهَادَةُ الزُّورِ

“Maukah kalian kau beritahu tentang dosa besar yang paling besar? Beliau melanjutkan perkataan dusta atau kesaksian palsu. (HR. Bukhari)

Persaksian palsu menjadi kedustaan yang paling berbahaya karena berpotensi mencelakai seseorang yang tidak bersalah atau menyelamatkan orang yang sebenarnya layak mendapat hukuman. Dustanya sendiri sudah sangat buruk, masih ditambah buruknya dampak yang diakibatkan.

Yang ketiga, berdusta agar ditertawai. Rasulullah ﷺ bersabda;

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang mengatakan hal dusta agar ditertawai orang-orang. Celakalah Dia, Celakalah Dia!” (HR. Abu Daud)

Dalam batas wajar,  melucu itu tidak dilarang. Tapi jika lelucon yang dibuat hanyalah omongan dusta, lelucon ini bisa bikin celaka pengucapnya. Sayangnya, melucu yang ‘jujur’ bukanlah hal mudah. Tidak banyak cerita lucu yang benar-benar terjadi. Dan akhirnya bisa dilihat sendiri, dalam lelucon atau lawak sebagian besarnya hanyalah kebohongan dan sebagian lain menjurus porno atau perendahan martabat.

Keempat, berbohong menyatakan diri mimpi sesuatu padahal tidak memimpikannya. Rasulullah ﷺ bersabda,

  مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلُمٍ لَمْ يَرَهُ ، كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ ، وَلَنْ يَفْعَلَ

“Sesiapa yang mengatakan telah bermimpi sesuatu padahal tidak memimpikannya, dia akan disuruh menyambung dua buah rambut dan dia tidak akan mampu menyambungnya.” (HR.Bukhari)

Dusta yang dibolehkan

Imam an Nawawi berkata, “Perlu diketahui bahwa dusta meskipun sebenarnya dilarang, tetapi masih boleh dilakukan di beberapa kondisi dengan syarat dan ketentuan berlaku. Ringkasnya sebagai berikut; ucapan itu sarana untuk mencapai maksud. Setiap maksud yang bisa diraih tanpa harus berdusta, dusta haram hukumnya. Tapi, jika  maksud tersebut tidak bisa didapat kecuali harus dengan berdusta, jika maksud yang ingin dicapai adalah sesuatu yang mubah, maka berdusta untuk mendapatkannya hukumnya mubah. Tapi jika maksud yang ingin dicapai hukumnya wajib, dusta pun menjadi wajib. Misalnya seseorang diancam bunuh oleh orang zhalim, atau ingin dirampas hartanya lalu dia menyembunyikan hartanya dan berdusta.” Beliau melanjutkan, “Akan tetapi dalam kondisi ini, yang paling baik adalah melakukan tauriyah. Yaitu mengatakan ungkapan yang secara lafadz berdusta dan memperdaya persepsi orang yang diajak bicara, tapi secara maksud ucapan sebenarnya tidak bohong.” (Riyadhus Shalihin; 459)

Contoh tauriyah; ada seorang muslim yang lari dari kejaran orang zhalim masuk rumah anda. Dia bersembunyi di dalam rumah. Lalu si zhalim datang dan anda berdiri di depan rumah. Saat ditanya. Apakah kamu melihat si fulan (muslim tadi)? Anda menjawab, “ Tidak.”

Jawaban “tidak” itu bohong dari arah persepsi orang yang anda ajak bicara, tapi tidak bohong dari maksud anda. Yang anda maksud, saya tidak melihatnya sekarang, soalnya dia ada di dalam rumah.

Imam al Mawardi menjelaskan, “ as sunnah memberi rukhsah (keringanan) untuk berdusta dalam melerai perseteruan dengan cara tauriyah, bukan dusta secara nyata. Karena bagaimanapun as sunah tidak pernah membolehkan dusta karena dusta hanya akan membuat manusia lari menghindar. Yang dibolehkan adalah tauriyah. Seperti ketika Rasulullah n ditanya? Dari  mana anda?  Beliau menjawab, “ Dari air.” Beliau melakukan tauriyah dengan suatu kata yang multi tafsir. Juga seperti jawaban Abu Bakar ketika ditanya siapa dia (Rasulullah)? Beliau menjawab, “Penunjuk jalanku.” (diringkas dari Adabud Dunya wa ad Dien, 257).

Kondisi Rasulullah dan Abu Bakar saat itu sedang riskan. Perjalanan hijrah membutuhkan kerahasiaan tinggi untuk menghindari kejaran musuh dari Makkah dan resiko lain. Karenanya saat ditanya, dari mana, beliau menjawab, dari air dan bukan secara jujur mengakui dari Makkah. Kata “ma’un atau air” dalam konteks saat itu bisa dipahami sebagai nama daerah. Padahal yang dimaksud Rasulullah n adalah air yang merupakan asal penciptaan manusia. Abu Bakar menyebut Rasul sebagai penunjuk jalan. Yang diajak bicara akan diam dan mengerti bahwa maksudnya adalah penunjuk arah. Padahal maksud Abu Bakar adalah penujuk jalan menuju kebenaran.

Rukhsah untuk berdusta juga dibolehkan jika dimaksudkan untuk mendamaikan pihak berseteru atau dusta dalam kondisi perang serta dusta suami dalam bermesraan bersama isteri atau sebaliknya. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُولُ خَيْرًا

“Bukanlah disebut pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia dengan cara dia menyampaikan hal-hal yang baik atau dia berkata hal-hal yang baik”. (HR. Al-Bukhari  dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim ada tambahan:

وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الْحَرْبُ وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا

“Saya tidak pernah mendengar diperbolehkannya dusta yang diucapkan oleh manusia kecuali dalam tiga hal: Dusta dalam peperangan, dusta untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai, dan dusta suami terhadap istri atau istri terhadap suami.”

Semoga Allah melindungi kita dari dusta atau dibohongi orang. Wallahua’lam .( T. Anwar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *