Kekhilafahan dan Keutamaan Ash-Shiddiq

وَنُثْبِتُ الْخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ

(102) Kita menetapkan kekhalifahan sepeninggal Rasulullah saw; yang pertama kepada Abu Bakar ash-Shiddiq—semoga Allah meridhainya—sebagai bentuk pemuliaan terhadap beliau dan pengutamaan atas seluruh umat manusia.

Matan ke-102 ini menerangkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah tentang para sahabat Nabi yang sangat berseberangan dengan akidah Syi’ah. Syi’ah mengklaim, sepeninggal Rasulullah saw hampir semua sahabat murtad kembali kecuali beberapa gelintir saja. Dan terkhusus tentang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah saw, yakni Abu Bakar ash-Shiddiq, Syi’ah tidak hanya menolak kekhalifahan beliau, tetapi mereka meyakini kefasiqan, kemunafikan, dan bahkan kekafiran sahabat Nabi yang paling mulia dan paling utama ini. Mereka menyebut beliau sebagai salah satu berhala Quraisy—dan menjadikan laknat terhadap beliau sebagai suatu bentuk ibadah yang utama, menyebut beliau sebagai orang yang tidak mengetahui hukum Allah, dan mereka meyakini bahwa beliau akan menemani Namrud, Qabil, dan Fir’aun di neraka.

Memilih Namun Terpilih
Wafatnya Rasulullah saw adalah musibah besar yang menimpa kaum muslimin dan amat mengguncang perasaan mereka. Bahkan rasa berat itu dirasakan oleh Umar bin Khathab, al-Faruq. Sebegitu terguncangnya, ampai-sampai Umar berkata, “Demi Allah! Yang ada dalam hatiku hanya perasaan bahwa beliau belum mati. Allah pasti akan membangkitkannya! Siapa saja yang berkata bahwa beliau sudah mati, akan kupotong kaki dan tangannya!”.
Semua sahabat diam membisu sehingga majulah Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau menyingkap kain yang menutup wajah Rasulullah saw serta menciumnya sambil berkata, “Duhai! Alangkah harum dan eloknya dirimu saat hidup dan sesudah mati. Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya! Tak bakalan Allah akan menimpakan padamu dua kali kematian selama-lamanya.”
“Barang siapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Sedangkan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak mati,” lanjut ash-Shiddiq.
Ahlussunnah mencatat ucapan Abu Bakar ini dengan tinta emas lantaran dengan pernyataan inilah kaum muslimin mendapatkan ketenteraman hati lagi. Banyak sahabat mengulang-ulang ayat yang dibacakan oleh Abu Bakar pada waktu itu untuk lebih menenangkan jiwa mereka. Ayat itu adalah, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh, telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali ‘Imran: 144)
Segera jenazah Rasulullah saw diurus oleh Ahlulbait dan Ali bin Abu Thalib, sahabat dan sekaligus menantu Rasulullah saw yang amat beliau cintai.
Sementara itu, di Saqifah Bani Sa’idah, para sahabat Anshar telah berkumpul terlebih. Mereka merasa berhak untuk menggantikan posisi Rasulullah saw dalam memimpin umat Islam. Sa’ad bin ‘Ubadah, salah seorang tokoh sahabat Anshar nyaris disepakati sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah saw untuk memimpin para sahabat.
Berkumpulnya para sahabat Anshar di Saqifah Bani Sa’idah terdengar oleh para sahabat Muhajirin. Lantaran telah memastikan jenazah Rasulullah saw sudah diurus Ahlulbait, sementara mereka melihat ada perkara kedua yang juga amat mendesak: siapa yang memimpin mereka sepeninggal Rasulullah saw, maka Umar bin Khaththab dan Abu ‘Ubaydah bin al-Jarrah mengajak Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menemui para sahabat Anshar di Saqifah. Mereka bertiga menuju Saqifah.
Para sahabat Muhajirin datang dan terjadilah perselisihan di antara dua kelompok besar ini. Dalam pandangan sahabat Anshar, mereka lebih kuat dalam membela Rasulullah saw dan berjihad; sementara para sahabat Muhajirin merasa lebih dahulu dalam menyambut seruan Rasulullah saw dan telah teruji kesabarannya dalam menghadapi berbagai kesulitan.
Saat suasana semakin memanas Abu Bakar angkat bicara. Setelah mendahului ucapannya dengan pengakuannya tentang keutamaan sahabat Anshar dalam memperjuangkan dakwah Islam dan menjaga Rasulullah saw. Abu Bakar berkata, “Kami menjadi amir dan kalian menjadi menteri-menterinya. Janganlah kalian memfatwakan sesuatu tanpa bermusyawarah, dan kami pun tidak akan memutuskan suatu perkara dengan meninggalkan kalian.”
Namun hal itu tidak meredam suasana. Sampai ketika perselisihan semakin meruncing, Abu Bakar kembali berseru dengan suara keras membacakan hadits kepemimpinan di tangan orang-orang Quraisy. Abu Bakar segera menyusuli pernyataannya dengan permintaan kepada mereka untuk memilih Umar bin Khathab atau Abu Ubaydah bin al-Jarrah. Abu Bakar al-Baqillani menyebut tampilnya Abu Bakar lagi ini sebagai kali kedua Abu Bakar berhasil mencegah kekisruhan yang nyaris melanda kaum muslimin.
Namun yang terjadi—wallahu a’lam—lantaran keduanya menyaksikan telah dua kali Abu Bakar berhasil menenteramkan kaum muslimin yang bersitegang: Anshar dan Muhajirin, Umar bin Khathab dan Abu Ubaydah meminta Abu Bakar menjabat tangannya untuk dibaiat sebagian pemimpin kaum muslimin. Sebab Abu Bakar adalah sahabat Muhajirin yang paling mulia dan sahabat yang menyertai hijrah Rasulullah saw dan hanya beliau berdua saat tinggal di gua bersembunyi dari kejaran orang-orang Quraisy. Abu Bakar pula yang diminta oleh Rasulullah saw untuk menggantikan beliau untuk menjadi imam shalat menggantikan beliau saat beliau berudzur. Qais bin Sa’ad—salah seorang sahabat Anshar—menjadi orang pertama yang menerima saran keduanya dan diikuti oleh seluruh sahabat Anshar selain Sa’ad bin Ubadah.
Tidak berbaiatnya sahabat Sa’ad bin ‘Ubadah dan belum berbaiatnya beberapa orang sahabat lain tidak mengurangi nilai kesepakatan para sahabat Muhajirin dan Anshar. Bahkan belakangan para ulama sepakat, barangsiapa yang tidak meyakini keabsahan kekhalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ia telah menyelisihi ijmak dan akidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Keutamaan Abu Bakar
Mengakui keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan bagian dari keimanan kepada Allah, al-Qur`an dan kepada Rasulullah saw. Sebab, di dalam al-Qur`an Allah menjelaskan keutamaan para sahabat Muhajirin hal mana Rasulullah saw menyatakan bahwa dibandingkan seluruh sahabat Muhajirin—bahkan seluruh sahabat—iman Abu Bakar lebih tebal.
Beliau juga pernah bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berjasa kepadaku dengan ikatan persahabatan dan dukungan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh mengangkat seorang khalil -kekasih terdekat- selain Rabb-ku niscaya akan aku jadikan Abu Bakar sebagai khalil-ku. Namun, cukuplah antara aku dengan Abu Bakar ikatan persaudaraan dan saling mencintai karena Islam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Keutamaan Abu Bakar diakui oleh seluruh sahabat. Tidak sedikit di antara mereka yang ingin menandingi beliau dalam hal kebaikan. Hanya saja, tak seorang pun dapat mengalahkannya, termasuk Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib.
Umat bertutur, “Pada suatu hari (menjelang perang Tabuk) Rasululllah saw memerintahkan kami untuk berinfaq, dan waktu itu aku telah memiliki sejumlah harta. Maka aku bergumam, ‘Kalau ada satu hari dimana aku bisa mengalahkan Abu Bakar, inilah harinya.’ Maka aku datang dengan membawa separuh dari hartaku. Rasulullah saw bertanya, ‘Apa yang engkau nafkahkan kepada keluargamu?’ Kujawab, ‘Sejumlah itu.’ Kemudian datang Abu Bakar ra membawa semua yang ia miliki, dan Rasulullah saw bertanya, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.’ Maka kukatakan pada diriku sendiri, ‘Aku memang tak pernah bisa mengalahkan Abu Bakar selama-lamanya.’.”

Mengenal ash-Shiddiq Lebih Dekat
Abu Bakar adalah seorang yang bertubuh kurus, berkulit putih, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggangnya (sehingga kainnya selalu melorot), wajahnya selalu berkeringat, matanya hitam, berkening lebar, tidak bisa bersajak dan selalu mewarnai jenggotnya dengan memakai inai maupun katam. Inilah penggambaran ‘Aisyah tentang beliau.
Adapun akhlaknya, beliau terkenal dengan kebaikan, keberanian, kokoh pendirian, selalu memiliki ide-ide yang cemerlang dalam keadaan genting, toleran, penyabar, memiliki keinginan yang kuat, faqih, sangat bertawakkal kepada Allah dan yakin dengan segala janji-Nya, bersifat wara’ dan jauh dari segala syubhat, zuhud terhadap dunia, selalu mengharapkan apa-apa yang lebih baik di sisi Allah, serta lembut dan ramah.
Ash-Shhiddiq yang dua tahun lebih muda dari Rasulullah saw meninggalkan alam fana untuk selama-lamanya pada bulan Jumadal Akhirah tahun 13 H.
Semoga Allah meridhai ash-Shiddiq dan semua sahabat Rasulullah saw.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *