Abawiyah

Suami Pengajar Kebaikan

Beberapa waktu berselang, saya bertemu dengan seseorang suami yang merujuk kembali si istri yang pernah diceraikannya. Bukan kisah yang istimewa jika dilihat dari kisah rujuknya itu, secara banyak sekali mereka yang bercerai kemudian memutuskan untuk rujuk kembali dengan alasannya masing-masing.Namun pria yang satu ini istimewa karena alasan rujuknya sangat mengejutkan saya, ingin mendidik kembali istrinya agar menjadi jauh lebih baik.

“Saya seperti pria egois Ustadz, jika menceraikan istri karena dia belum bisa mengikuti keislaman saya. Karena kami dahulu menikah saat sama-sama masih jahiliyah, atas dasar suka sama suka. Kemudian saya mengikuti sejumlah kajian keislaman yang membuat wawasan saya berkembang jauh. Saya mulai uring-uringan ketika menemukan suasana rumah yang tidak islami dan puncaknya saya menceraikan istri, “ begitu beliau memberi penjelasan.
“Padahal seingat saya, belum pernah saya mendidik istri secara baik. Tranfer ilmu secara memadai dan bertahap kepadanya belum juga saya tempuh. Saya hanya bisa marah-marah ketika ide-ide keislaman saya dibantahnya. Dan hal itu membuat suasana rumah menjadi tidak kondusif. Hingga akhirnya terjadilah apa yang terjadi,“ tambah beliau.
Saya tidak tahu, apakah ini berarti memberi kesempatan kedua, atau menyadari kesalahan yang pernah ada, atau malah kedua-duanya. Tapi yang jelas saya salut kepada beliau atas pilihan sikap seperti itu. Dan berandai-andai jika semua suami bersikap bijaksana dan arif seperti itu. Melihat sesuatu secara adil dan seimbang, bahwa kita tidak bisa menyalahkan orang lain sebelum kita menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita atas orang itu.
Selain berarti adil dan seimbang, qawwamnya seorang suami juga berarti pendidik istrinya jika dia menyimpang. Suami juga adalah pemimpin yang bertanggung jawab membawa keluarganya ke jannah, atau surga, dan bukan malah menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at-Tahrim: 6).
Dalam hal ini, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan, “Lakukanlah ketaatan kepada Allah dan hati-hatilah dengan maksiat. Perintahkanlah keluarga kalian untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka.” Sedang Mujahid berkata, “Bertakwalah kepada Allah dan nasehatilah keluarga kalian untuk bertakwa kepada-Nya.”
Adh Dhahak dan Muqatil menambahkan, “Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya, termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 59).
Dari sini, mengajarkan diin al-Islam kepada anggota keluarga adalah kewajiban para suami. Meski tidak mudah, karena sudah menjadi kewajiban tetap harus ditunaikan dengan baik. Karena pemahaman agama yang baik dari anggota sebuah keluarga akan memudahkan para suami menjalankan tugas-tugas kepemimpinan mereka. Juga menjadi sebab ketentraman batin anggota keluarga, sebagaimana Hasan al-Bashri berkata, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketaatan pada Allah yang dia lihat pada anak, orangtua, pasangan, dan saudaranya.”
Namun sangat disayangkan, banyak sekali suami yang tidak atau kurang memedulikan hal ini. Mereka hanya tahu bahwa kewajiban mereka hanyalah memberi nafkah: sejumlah uang, pakaian, tempat tinggal atau kesenangan dunia. Hingga banyak kasus penempatan dalil yang kurang tepat karena istri atau anggota keluarga yang lain belum disiapkan, atau malah cenderung melakukan eksploitasi atas nama dalil.
Coba bayangkan jika suami melihat istrinya atau anak perempuannya enggan berjilbab, anggota keluarganya malas shalat fardhu, sering bermaksiat, atau tidak bisa membaca Al-Qur’an, apakah dia rela melihat semua itu? Marah-marah saja tentu bukan pilihan terbaik, sebab hasil akhir yang baik adalah buah proses pendidikan yang baik pula. Tugas kita sebagai suami bukan hanya menerima pelayanan dan ketaatan istri, namun juga memberikan keqawwaman kita kepada mereka. Sehingga terjadi simbiosis mutualisme, saling memberi manfaat. Istri bisa membahagiakan suami, begitu pula sebaliknya.
Di sisi lain, keluarga adalah tempat kita tumbuh bersama menjadi pribadi yang lebih baik, hari demi hari, tahun demi tahun. Sehingga kita bisa menjalani usia kita dalam landasan ilmu yang kuat dan benar, juga bisa menyelesaikan berbagai masalah yang datang di kemudian hari, insyaallah.
Maka kita membutuhkan para suami yang sadar akan besarnya tanggung jawab yang mereka pikul, alih-alih para suami yang hanya memikirkan hak mereka. Kita mengharapkan agar para suami itu bertumbuh menjadi lebih baik agar mereka bisa membawa keluarga ke arah yang lebih baik juga.
Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan; mengajarkan ilmu agama kepada keluarga kita, baik kita sendiri sebagai pelakunya atau mengundang Ustadz lain, membawa anggota keluarga kita keluar rumah guna menghadiri kajian ilmiah diniah, atau menyediakan berbagai sarana ilmiah yang menunjang seperti buku-buku agama, berbagai kaset dan vcd, radio dakwah, atau, dalam pengawasan yang ketat, internet.
Secara kontinyu hal ini harus kita lakukan untuk menjaga kesinambungannya, bahkan meski istri dan anak-anak sudah paham agama atau lulusan pesantren. Kita mulai dari ilmu dasar; akidah, tauhid, perbaikan amalan ibadah wajib serta ilmu penting lainnya. Dengan demikian, rumah akan terhiasi dengan cahaya ilmu dan menjadi ladang persemaian kebaikan, insyaallah.
Untuk para bujang, bukankah lebih baik jika kalian memilih pasangan hidup yang sudah memiliki pamahaman agama yag baik? Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *