Abawiyah

Hati Seluas Samudera

Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk siapa yang kini menjadi pasangan kita, itu kita fahami. Dari sana, sudah pasti, ada hal-hal yang berpotensi menimbulkan kekecewaan, apalagi jika kita bertemu dengan orang-orang perfeksionis yang cenderung tidak mentolerir adanya kekurangan. Kita membutuhkan kedewasaan sikap dan toleransi yang cukup agar merasa nyaman saat menjalin hubungan, sehingga kita bisa percaya diri di satu sisi dengan sisi lain menyadari kekurangan yang ada. Tapi bagaimana jika yang kita temui adalah sikap selalu menyudutkan kita karena berbagai kekurangan yang kita miliki tanpa melihat kelebihan yang kita punya, dan sedihnya, dia adalah pasangan kita sendiri? Sakit rasanya!

Salah satu pondasi utama pernikahan bahagia adalah penerimaan yang utuh akan pasangan kita. Sebab dengan semua kelebihan dan kekurangan yang ada, kita tetaplah manusia biasa yang bisa menjalin hubungan saling menguntungkan asalkan merasa nyaman dan percaya diri. Menemukan pasangan yang tepat dimana kita bisa berkonsentrasi atas kelebihan yang kita miliki tanpa rasa terintimidasi sebab kekurangan kita selalu ditunjuk-tunjukkan tanpa kesempatan mengembangkan diri.
Pun demikian seharusnya sikap kita kepada pasangan. Jangan sampai sikap kitalah yang menyebabkan rasa nyaman itu pergi karena pasangan merasa minder. Kita menuntut kesempurnaan darinya, kita sebutkan berbagai kekurangannya dengan cara yang keras dan kasar, tanpa melihat banyaknya kelebihan yang dia miliki. Tanpa juga melihat bahwa pada diri kita terdapat banyak kekurangan yang sebenarnya juga berpeluang mengecewakan pasangan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika dia tidak menyukai satu akhlak pada dirinya, insyaallah ada sisi lain yang dia ridhai.” HR. Muslim.
Hadits syarif ini mengajarkan kepada kita tentang kedewasaan sikap untuk mencari sisi positif dari pasangan. Jangan sampai satu akhlak yang menjadi kekurangannya menyiksa batin kita, sedang dia memiliki banyak akhlak lain yang positif dan bisa menumbuhkan sikap ridha. Ia meminta kita untuk bersikap adil dalam menilai kelebihan dan kekurangan seseorang agar membuahkan kebaikan. Karena istri dalam bersikap dan kelakuan, tentu saja tidak bisa sempurna seratus persen sebagaimana keinginan suami. Meski jujur, kita sebagai suami pun juga tidak bisa seratus persen sempurna seperti keinginan istri kita.

Maka sebagai suami kita harus bisa bermu’asyarah secara ma’ruf kepada para istri kita, sebagaimana Allah perintahkan hal itu dalam surat an Nisaa’ ayat 19. Menurut Ibnu Katsir, hal ini bermakna perintah kepada para suami untuk membaiki ucapan, tindakan dan penampilan sesuai kemampuan yang ada. Karena sebagaimana para suami menyukai hal itu dari istri-istri mereka, maka hendaklah mereka melakukan hal serupa. Eloknya, perintah untuk bermu’asyarah secara ma’ruf ini wajib meski para suami (sedang) tidak menyukai istri-istri mereka.
Rahasia besarnya adalah pada keterbatasan kita sebagai manusia. Bahwa keputusan dan penilaian kita seringkali ditumpangi kecenderungan hawa nafsu. Hal yang membuat kita salah menilai. Mengatakan yang baik sebagai buruk, atau buruk sebagai baik, juga membenci yang seharusnya kita cintai, atau sebaliknya. Dengan demikian, memercayakan seluruh masalah, sepenuhnya kepada Allah adalah jalan terbaik. Termasuk dalam takdir tentang pendamping hidup yang seringkali tidak sesuai dengan bayangan ideal kita. Agar kita tidak tergesa-gesa mengambil tindakan dan keputusan karena hawa nafsu, untuk kemudian kita sesali di kemudian hari.

Di sisi lain, Rasulullah mengabarkan kepada kita bahwa istri-istri kita diciptakan Allah dari tulang rusuk yang bengkok, emosional dan mudah mengeluh. Yang untuk menikmati hubungan dengan mereka sangatlah memungkinkan asalkan kita bisa memilih sikap yang tepat. Sedang upaya pelurusannya hanya akan membuat kita kecewa karena hal itu mustahil terjadi, sebab meluruskannya berarti memecahkannya.

Maka wajib bagi para suami untuk bersikap lunak dalam mempergauli istri-istri mereka, penuh kasih sayang dalam upaya perbaikan dan pelurusan mereka, dan jangan bersikap kasar dalam ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk perceraian. Sedang Ibnu Hajar mengatakan bahwa strategi menghadapi wanita adalah bersikap sabar dan berani meminta maaf jika kita bersalah. Intinya, dalam kebengkokan wanita, kita tetap bisa bersenang-senang tanpa merubah tabiatnya.
Di sinilah kedewasaan sikap dan kesabaran kita sebagai suami benar-benar diuji. Berlapang dada dan berpandangan jauh ke depan harus kita lakukan agar kesalahan yang manusiawi tidak kita besar-besarkan. Agar juga kita tidak merasa sangat menderita hanya karena kecewa dengan mereka, para istri, sedang kebaikan ygg telah mereka berikan untuk keluarga sedemikian banyak.
Untuk itu, kita senantiasa menambah ilmu syar’i dan menajamkan tauhid agar bisa berhusnuzhan kepada Allah dalam keadaan paling sulit sekalipun. Agar kita bisa berlapang dada seluas samudera karena ia paralel dengan kualitas iman, sedang ia sangat diperlukan dalam proses ‘mendidik istri’ di sepanjang kepemimpinan kita sebagai suami mereka. Agar kita tidak picik dan bisa melihat prioritas hidup dengan lebih jernih. Insyaallah.

Yang terakhir, kita harus memahami konsep keseimbangan hak dan kewajiban secara baik. Jangan berlaku curang karena hanya menuntut hak dengan mengabaikan kewajiban. Selain sebuah bentuk kezhaliman, hal inilah yang sebenarnya menjadi akar persoalan ketidaknyamanan dalam kehidupan berkeluarga. Sedang keadilan hak dan kewajiban ini, bisa menjadi cermin bagi kita untuk menilai secara terbalik. Kalau kita kecewa dengan para istri itu, bukankah mereka juga bisa kecewa dengan kita sebagai suami mereka?
Kalau kita mengabaikan fakta ini, bukankah kita sebenarnya hanyalah laki-laki yang egois? Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *