Abawiyah

Bukan Tanda Kehebatan Lelaki

Allah telah mengharamkan kezhaliman atas diriNya, dan mengharamkannya pula di antara manusia. Kemudian Dia memerintahkan kepada mereka untuk tidak saling menzhalimi. Dan kita tahu, doa orang-orang yang terzhalimi mustajabah adanya.

Ini termasuk panduan utama kita dalam bersikap di kehidupan ini. Sebisa mungkin jangan sampai kita menzhalimi orang lain sedang kita mengetahuinya. Jangan sampai kita merugikan orang lain dengan keberadaan kita. Jangan sampai kita mengambil hak orang lain yang bukan milik kita. Dan karena hidup adalah pilihan, saat kezhaliman datang, kita bisa memilih pilihan lain yang lebih membebaskan dan melegakan.

Dalam konteks pernikahan, kekecewaan kepada pasangan sangat sering terjadi. Meski bisa jadi kita pun sering mengecewakan mereka. Sehingga alangkah adilnya jika saat kecewa itu datang, kita lebih banyak melakukan instropeksi diri, alih-alih meluapkannya dengan amarah hingga melakukan tindakan tidak terpuji; melakukan kezhaliman. Bahkan meski kita merasa sebagai pihak yang dizhalimi sekalipun.

Maka, tidak melakukan pukulan kepada istri, kecuali dalam kasus nusyuz, adalah sebuah kewajiban kita sebagai suami. Dimana tiadanya pukulan, terutama di wajah, merupakan hak para istri. Hal ini sebagai dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saat menjawab pertanyaan Mu’awiyah Al Qusyairi mengenai kewajiban suami pada istri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak mendiamkannya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” HR. Abu Daud

Pukulan akan menimbulkan dampak yang serius, fisik maupun psikis, apalagi jika dilakukan di wajah. Karena wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Sehingga bekas-bekas pukulan yang ada padanya sangat sulit untuk disembunyikan. Membuat penderitanya merasa malu dan rendah diri saat bertemu dengan orang lain.

Secara umum pukulan berpotensi menimbulkan sakit fisik, bahkan cacat permanen, namun luka batin yang muncul juga tidak bisa diremehkan, karena korban merasa terhina dan tercampakkan. Dan jika ia dilakukan di depan anak-anak, bukan tidak mungkin hal itu menimbulkan akibat serius dalam proses tumbuh kembang mereka dalam artian negatif. Mereka bisa menjadi sangat benci kepada si ibu karena dianggap melakukan kesalahan yang pantas menerima pukulan sebagai hukuman. Atau menjadi penuh dendam kepada si ayah karena dianggap melakukan kezhaliman kepada si ibu.

Melakukan pukulan fisik kepada istri bukanlah tanda kehebatan. Ia justru menjadi penanda kelemahan menahan emosi, kebingungan memilih metode pendidikan yang tepat, kepicikan berfikir tentang sejumlah akibat yang ditimbulkan, hingga egoisme dan kesombongan yang salah memilih penyalurannya. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang kuat bukanlah yang memenangkan gulat, namun yang mampu menhan diri saat marah?

Bayangkan jika suami yang melakukan pukulan tanpa alasan yang dibenarkan itu, kemudian meminta si istri melayaninya di atas tempat tidur. Bagaimana si istri tejebak dalam kebingungan antara rasa sakit hati dan terhina di satu sisi, dengan ketakutan dan ingin melakukan ketaatan di sisi lain. Dalam kasus ini, sangat sulit membayangkan jika si istri akan memenuhi ajakan suaminya dengan keikhlasan dan dada yang lapang. Rasulullah bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti cambukan pada seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” HR. Bukhari.

Adapun Rasulullah, beliau tidak pernah melakukan pukulan dalam mendidik keluarga beliau. Sebagaimana ibunda ‘Aisyah menceritakan, “Aku sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah memukul pembantu, begitu pula memukul istri. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangan kecuali dalam jihad di jalan Allah”. HR. Ahmad. Sehingga berjuang sekuat tenaga agar tidak melakukan pukulan fisik kepada anggota keluarga sangat penting untuk diupayakan. Insyaallah pahalanya akan sebanding. Karena menahan diri dan bersabar atas kejelekan mereka serta tidak memukul mereka adalah lebih utama dan lebih terpuji.

Adapun jika sangat terpaksa harus melakukan pukulan, maka hal itu dengan syarat yang sangat ketat. Yaitu ketika nasihat kita tidak lagi diperhatikan dan tidak ada perubahan kebaikan setelah berpisah dengan istri dari ranjang. Dengan pukulan dalam konteks mendidik dan bukan dalam rangka melampiaskan kemarahan, dan jangan sampai di wajah. Juga harus menghentikannya ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.

Rasulullah juga pernah merekomendasikan Usamah bin Zaid kepada Fathimah bintu Qais yang seorang janda begitu selesai menjalani iddah. Atas lamaran Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm yang sampai kepadanya, Rasulullah menjelaskan, “Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah seorang yang fakir tidak berharta.” HR. Muslim.
Lelaki yang suka memukul tanpa alasan syar’i, memang tidak pantas dipilih menjadi suami. Nah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *