Asilah

Perempuan Haid Mengajar al-Qur`an di Masjid

Ustadz, saya seorang guru TPA. Bolehkah saat sedang haid saya masuk dan berada di masjid dalam rangka mengajar anak-anak? Bolehkah pula saya memegang dan membaca mushhaf al-Qur`an dalam rangka mengajarkannya kepada mereka? (Lina—085642572xxx)

اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَالصَّلاةُ وَالسَّلامُ عَلَى أشْرَفِ المُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجْمَعِيْنَ

Secara umum, hadats haid sama dengan hadats janabat. Perempuan yang haid dan orang yang junub sama-sama tidak sah mengerjakan shalat selama belum selesai haidnya dan bersuci.
Adapun perbedaan antara keduanya adalah; orang yang junub puasanya sah, sedangkan perempuan yang haid tidak sah puasanya. Juga, saat mandi orang yang junub tidak perlu melepas sanggul atau ikatan rambutnya, cukup dengan menyela-nyela Rambut kepala dengan air tiga kali, kemudian diguyur, sedangkan perempuan haid melepas sanggul atau ikatan rambutnya.. Selain itu, orang yang junub dapat menghilangkan hadatsnya kapan saja ia mau. Ini berbeda dengan perempuan yang haid yang harus menunggu sampai haidnya selesai, barulah ia dapat bersuci.
Karena beberapa perbedaan inilah para ulama berbeda pendapat mengenai beberapa masalah terkait dengan perempuan yang haid dan orang yang junub.

Para ulama yang menyamakan keduanya berpendapat, perempuan haid tidak boleh masuk dan berada di masjid serta tidak boleh pula membaca dan menyentuh mushhaf al-Qur`an. Dasar yang mereka pakai adalah firman Allah,
“Dan tidak pula orang yang junub, kecuali sekedar lewat, sampai kalian mandi.” (an-Nisa`: 43)
Juga karena Nabi saw bersabda, “Aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan yang haid dan siapa saja yang junub.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Bayhaqiy, dan Ibnu Khuzaymah)

Para ulama yang membedakan antara keduanya berpendapat, perempuan yang sedang haid boleh masuk masjid dan berada di dalamnya untuk suatu kebutuhan yang mendesak dan boleh membaca al-Qur`an dari hapalannya. (Hampir semua sependapat mengenai tidak bolehnya perempuan haid menyentuh mushhaf al-Qur`an. Yang membolehkan hanya al-Muzanni—dari kalangan madzhab Syafi’i, dan para ulama madzhab Zhahiri).
Dasar yang mereka pijak adalah tidak adanya dalil shahih yang secara tegas menyamakan keduanya atau melarang perempuan haid masuk dan berada di masjid serta membaca al-Qur`an. Hadits Nabi saw tentang larangan perempuan haid masuk masjid yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Bayhaqiy, dan Ibnu Khuzaymah, seluruh sanadnya dinilai dhaif oleh para ahli hadits. Oleh karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Mereka yang menyatakan kedha’ifannya adalah al-Khaththabiy dalam Ma’alimus Sunan, Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan, Imam an-Nawawiy dalam al-Majmu’, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, dan juga al-Albaniy dalam Irwa`ul Ghalil.

Lebih lanjut mereka yang menyatakan bolehnya perempuan haid masuk dan berada di masjid untuk suatu kebutuhan mendesak menyatakan, orang yang junub—yang larangannya disepakati oleh para ulama—saja diperbolehkan masuk masjid untuk suatu kebutuhan; maka mestinya perempuan yang haid lebih dibolehkan, jika kebutuhannya sama atau lebih mendesak. Tentu saja dengan catatan, dia tidak mengotori masjid dengan darahnya. Dan hari ini sarana untuk mencegah terkotorinya masjid oleh darah haid sudah mudah didapat.
Al-Bukhariy meriwayatkan dari ‘Aisyah, katanya, “Rasulullah saw beri’tikaf dan sebagian istri beliau yang sedang istihadhah dan darahnya mengalir ikut bersama beliau. Ada istri Nabi yang meletakkan wadah darah di bawahnya.” Jika alasan tidak bolehnya perempuan yang haid masuk masjid adalah karena khawatir mengotori masjid, maka sekarang hal itu dapat dicegah. Pun masjid kita hari ini tidak lebih mulia daripada masjid Rasulullah saw!

Mengenai membaca al-Qur`an, mereka yang membedakan hadats haid dan junub juga menyatakan, jika perempuan yang haid tidak dibolehkan mengulang hapalannya, hapalannya akan hilang. Sekedar catatan, mereka yang membolehkan perempuan haid membaca al-Qur`an dari hapalannya (tidak melihat mushhaf al-Qur`an) adalah Imam Ahmad, Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam asy-Syawkani, dan Syekh al-Albaniy.

Menyitir pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menulis, “Tidak ada nash sharih dan shahih yang melarang perempuan haid membaca al-Qur`an. Oleh karena itu, perempuan yang haid boleh membaca al-Qur`an dengan beberapa alasan sebagai berikut: pertama, pada asalnya membaca al-Qur`an bagi siapa saja dalam keadaan apa saja adalah boleh, kecuali ada dalil shahih yang melarangnya. Kedua, Allah memerintahkan untuk membaca al-Qur`an secara mutlak dan memuji orang-orang yang membaca kitab-Nya. Barangsiapa yang mengkhususkan orang-orang tertentu dari perintah ini haruslah mendatangkan dalil. Dan lantaran tidak ada dalil shahih dan sharih yang melarangnya, maka perempuan yang haid tetap boleh membaca al-Qur`an.”

Dari paparan di atas kita dapat memahami bahwa ini adalah masalah ijtihadi. Memilih pendapat yang lebih hati-hati dan mendatangkan maslahat dalam hal ini adalah sikap yang terpuji. Dan pendapat yang hati-hati serta mendatangkan maslahat adalah dibolehkannya seorang perempuan yang haid masuk dan berada di masjid dengan catatan ia menjaga dan memastikan darahnya tidak mengotori masjid untuk suatu kebutuhan. Mengajarkan Islam dan al-Qur`an kepada generasi muda Islam termasuk kebutuhan yang mendesak. Untuk menyentuh mushhaf, hendaklah dihindari. Insya Allah mengajarkan Islam dan al-Qur`an tanpa menyentuh mushhaf masih dapat dilakukan. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *