Abawiyah

Kuncinya adalah Sakinah

 

Semua yang menikah, normalnya mengharapkan keluarganya menjadi sakinah. Sebuah capaian istimewa yang khas karena kata itu menyiratkan kebahagiaan tingkat tinggi. Kata yang dipilih Allah sebagai tujuan sebuah pernikahan, lengkap dengan mawaddah dan rahmah. Dan seyogyanya, kita semua berjuang sekuat tenaga untuk meraihnya, karena ialah aroma surgawi yang dihadirkan di dunia.

Namun, banyak sekali pernikahan yang menderita. Gagal meraih sakinah, atau malah kandas karena memilih untuk berpisah. Banyaknya energi yang terpakai seolah sia-sia, sedang waktu yang dijalani juga tidak akan kembali lagi. Penyesalan yang datang kemudian, seringkali tidak berarti lagi, kecuali kita bisa mengambil hikmah dari kejadian yang ada, dan berubah menjadi jauh lebih baik. Bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Awalnya adalah pemahaman yang benar bahwa sakinah adalah wilayah hati. Dimana kenyamanan, ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, kepuasan, kesejahteraan, kedamaian atau kepuasan sebagai derivatnya, semua mengacu kepada suasana hati. Khas manusia, karena hal inilah yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain. Juga adil karena ia bisa menjadi milik siapapun yang peduli kepada bahasa dan nutrisi hati.

Sebuah wilayah yang bukan saja khas, namun juga rumit kalau kita tidak memahaminya dengan baik. Pencapaiannya sangat relatif dan personal, dimana masing-masing dari kita memiliki standarnya sendiri-sendiri. Apa yang membuat Anda nyaman, mungkin bukan hal yang sama untuk saya. Pun demikian sebaliknya, apa yang menyedihkan Anda, bisa jadi justru membuat saya bahagia. Tempat dimana kejujuran dan keikhlasan sangat diperlukan. Bukan melimpahnya harta, menjulangnya tahta, termasyurnya nama atau keelokan raga.

Berkomunikasi secara sehat, terutama tentang apa yang disukai dan tidak kepada pasangan menjadi sangat penting untuk dijalani. Selain untuk mengenali standar yang relatif itu, kemudian fokus pada upaya pencapaiannya, juga agar kita tidak membandingkan dengan yang lain. Karena masing-masing keluarga memang berbeda, sehingga perbandingan yang tidak fair seringkali mendatangkan sakit hati, alih-alih memperbaiki situasi. Bukankah rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau?

Namun yang harus kita fahami adalah, meski relatif, sakinah memiliki standar baku, yaitu ketaatan kepada Allah. Karena di dalam ketaatan kita kepada Allah, kedamaian hati serta perasaan nyaman akan tercapai, sementara dalam maksiat kita, gelisah, gundah gulana, galau dan semua kesedihan hati akan menjadi buahnya. Sehingga dalam pernikahan, fokus kita adalah menjadikan anggota keluarga sebagai hamba-hamba yang taat kepada Allah, melebihi berbagai upaya kita untuk mendapatkan beraneka kesenangan duniawi lainnya.

Hal ini sebagaimana pernah dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri, “Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menentramkan hati seorang muslim, melebihi saat dia melihat anak, orangtua, pasangan, atau saudaranya menjadi hamba yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Yang kedua adalah bersikap qanaah. Yaitu menerima dengan lapang dada siapa yang kini menjadi pasangan kita, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, dan seringkali membuat kita kecewa. Selain faktanya tidak ada manusia yang sempurna, sehingga setiap pencarian akan kekurangan seseorang pasti dengan mudah didapatkan, juga karena persoalan pasangan kita adalah takdir Allah yang sempurna ilmu dan keadilanNya.

Karena kita percaya bahwa seekor lalat Allah-lah yang menerbangkan, dan sebutir benih Dia juga yang menumbuhkan, sehingga pasti ada hikmah di balik pertemuan kita dengan siapa yang kini menjadi pasangan. Allah tidak mungkin menzhalimi hambaNya karena hal ini telah Dia haramkan atas diriNya. Untuk itu, lebih baik jika kita melakukan muhasabah kenapa dia yang menjadi pasangan kita karena kepantasan itu merupakan sunatullah. Dan jika kita kecewa kepadanya, bisa jadi dia lebih kecewa lagi kepada kita. Dalam hal ini, sikap qanaah untuk bisa menerima pasangan kita apa adanya merupakan sikap hamba yang beriman, dewasa dan tidak egois.

Setelah menerimanya dengan baik, kita bisa lebih fokus menjalani fase-fase kehidupan ini. Fokus kepada perbaikan di banyak sisi yang masih kurang, kemudian melakukan tugas hidup lain yang sangat banyak jumlahnya. Misalnya pendidikan anak shalih atau perbaikan ekonomi.

Selanjutnya adalah mengasah kepekaan hati. Karena mewujudkan sakinah adalah seni yang membutuhkan kepekaan yang cukup. Menentukan pilihan kata, memilih waktu dan tempat, hingga menetapkan tindakan yang tepat agar hati tetap nyaman adalah sejumlah ketrampilan yang harus terus diasah. Keelokan raga, kecerdasan intelektual, kemapanan ekonomi serta status sosial yang tinggi bisa saja mengecewakan jika tidak disertai kemampuan menjaga perasaan pasangan.

Pernah Rasulullah memutuskan untuk berpuasa sunnah saat tidak menemukan makanan di rumah ibunda ‘Aisyah, namun di hari lain membatalkan puasa beliau karena ibunda ‘Aisyah telah menyimpankan hais, makanan dari kurma, untuk beliau. Makanan kesukaan beliau itu adalah hadiah dari tetangga hari kemarin. Juga kisah tentang beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam yang bisa mengenali kemarahan dan keridhaan ‘Aisyah hanya dari pilihan kata yang diucapkan. Subhanallah, alangkah indahnya!

Atau kisah tentang Ummu Sulaim yang mengatur strategi untuk memberitahukan kematian putranya kepada Abu Thalhah, suaminya, yang baru pulang dari perjalanan jauh. Sehingga kematian si putra tidak mengguncangkan sendi-sendi rumah tangga mereka.

Bukankah kisah-kisah inspiratif ini menjadi sarana pembelajaran yang ampuh bagi kita? Bahwa model keluarga sakinah itu ada dan nyata. Tinggal kejujuran dan tekad kuat kita untuk meneladani mereka. Menjauhi sikap arogan, sok-sokan dan mau menang sendiri, ygg seringkali menjadi batu sandungan gagalnya sakinah diwujudkan di baik pesona fisik, kecerdasan intelektual, status sosial, kemapanan ekonomi, atau masyurnya nama. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *