Imtihan Syafi'i

Manusia Paling Utama

وَلاَ نُفَضِّلُ أَحَداً مِنَ اْلأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ، وَنَقُوْلُ‏ نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيْعِ اْلأَوْلِيَاءِ‏

(108) Kami pun tidak menganggap ada wali yang lebih utama daripada nabi—semoga salam senantiasa tercurah kepada para nabi. Sebaliknya kami katakan, “Seorang nabi lebih baik daripada seluruh wali.”

Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat, para nabi adalah manusia yang paling utama. Di antara para nabi, para rasul adalah yang paling utama. Di antara para rasul, ulul azmi yang lima: Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Muhammad, adalah yang paling utama. Di antara lima rasul ulul azmi, Ibrahim dan Muhammad adalah yang paling utama. Di antara mereka berdua, Nabi Muhammad adalah yang paling utama.

Adapun yang meyakini bahwa ada wali yang lebih utama daripada nabi adalah sebagian kaum Sufi dan orang-orang Syi’ah Imamiyah.
Kaum Sufi ini juga mengklaim bahwa dengan olah jiwa dan kesungguhan dalam beribadah kepada Allah, banyak puasa, menyendiri dari masyarakat, menjauhi makanan dan minuman tertentu, jarang tidur dan lain sebagainya, mereka bisa sampai ke derajat para nabi meskipun tidak menapaki jalan para nabi.

Ada pula yang mengklaim, dengan olah jiwa itu mereka bisa menjadi orang yang lebih utama daripada para nabi. Sebab ia telah menjadi wali dan derajat para wali lebih utama daripada derajat para nabi. Di antara yang menyatakan demikian adalah Ibnu ‘Arabiy. Dia berkata, “Para wali lebih utama daripada para nabi.”

Dia juga berkata, “Kenabian ditutup dengan diutusnya Muhammad. Tetapi kewalian belum tertutup dengannya.”
Dia pun mengklaim diri sebagai penutup para wali dan berkata, “Penutup para wali lebih utama daripada penutup para nabi.”
Juga, “Para nabi mengambil ilmu dari penutup para wali—yakni dirinya sendiri—mereka mengambilnya dari lauh mahfuzh sementara para wali mengambilnya langsung dari Allah.”

Ibnu ‘Arabi yang dimaksud di sini adalah Ibnu ‘Arabi penulis buku Fushushul Hikam, al-Futuhat al-Makkiyah, dan Kitab al-Huw al-Huw al-Huw.
Kaum Syi’ah Imamiyah diwakili oleh Khomeini yang menegaskan kalimat kufurnya dalam bukunya: Hukumah Islamiyyah. Khomeini berkata, “Sesungguhnya termasuk ketetapan madzhab kami, bahwasannya imam-imam kami memiliki derajat yang tidak dicapai oleh malaikat dan tidak pula dicapai oleh nabi.”
Maknanya, Syi’ah Imamiyah meyakini bahwa imam-imam mereka lebih mulia daripada para malaikat dan para nabi.

Memutar Balik Syariat
Keyakinan bahwa kewalian lebih mulia daripada kenabian adalah pemutarbalikan syariat. Kewalian telah ditetapkan oleh Allah sebagai sifat umum orang-orang yang beriman dan bertakwa. Allah berfirman,

أَلَا إِن أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa (kepada Allah). Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. (QS. Yunus: 62-63)

Kenabian lebih khusus daripada kewalian. Kerasulan lebih khusus daripada kenabian. Kerasulan adalah derajat yang paling tinggi, kemudian kenabian, dan lalu kewalian.

Pelajaran dari Hadits Wali
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman,

مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مُسَاءَتَهُ

‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya. hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan (sunnah) sehingga Aku-pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintainya, maka ia akan selalu mendengar dengan bimbingan-Ku, melihat dengan bimbingan-Ku, berbuat dengan bimbingan-Ku, dan melangkah dengan bimbingan-Ku. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya.’.”

Hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari sahabat Abu Hurayrah ini memang menunjukkan besarnya keutamaan orang yang menjadi wali Allah. Tetapi ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa para wali Allah lebih mulia daripada para nabi Allah.
Dari hadits qudsi di atas dapat diambil beberapa pelajaran; di antaranya bahwa wali Allah adalah orang yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengamalkan ketaatan, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan memperbanyak amal-amal sunnah.

Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengaku sebagai wali Allah padahal dia tidak memahami dan mengamalkan amal-amal shalih yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah, dapat dipastikan dia bukanlah wali Allah. Dia adalah wali setan.
Hadits di atas juga mengisyaratkan bahwa setiap orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah adalah wali Allah. Hanya saja, derajat atau tingkat kewalian mereka berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.

Salah Paham terhadap Hadits Wajah Cahaya

Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada manusia yang mereka bukan nabi bukan pula syuhada namun para nabi dan syuhada iri—dalam makna yang positif, bermakna pula memuji dan kagum—dengan mereka pada hari kiamat karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah kabarkanlah kepada kami, siapa mereka?” Rasul menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, sementara tidak ada hubungan darah di antara mereka dan itu bukan pula karena harta yang mereka harapkan. Demi Allah! Wajah-wajah mereka adalah cahaya dan mereka di atas cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan tidak bersedih di kala manusia bersedih.” Kemudian Rasulullah membaca firman Allah, “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62).
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurayrah ra dan ‘Umar bin Al-Khaththab ra.

Seakan-akan hadits ini menyiratkan keutamaan para wali Allah daripada para nabi dan para syuhada. Sebab para nabi dan para syuhada iri kepada mereka lantaran keutamaan yang Allah berikan kepada mereka. Ini adalah kesalahpahaman.
Yang benar, derajat wali tidak mungkin diperoleh seseorang kecuali dengan mengikuti jalan nabi. Dan oleh karenanya, semua kebaikan dan keutamaan yang diperoleh oleh seorang wali juga diberikan kepada nabi. Sebab, orang yang menunjukkan kepada jalan kebaikan akan mendapatkan pahala orang-orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka yang mengerjakannya.

Adapun keirian para nabi dan para syuhada adalah seperti irinya seorang alim yang memiliki murid yang sangat pandai. Tidak diragukan bahwa sang alim bertambah mulia dan pahalanya terus bertambah dengan sebab muridnya, namun suatu kewajaran jika ia iri—dalam makna yang positif—kepada muridnya.

Pelajaran dari Hadits Wajah Cahaya
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud di atas menerangkan keutamaan wali-wali Allah yang saling mencintai karena Allah; bukan karena harta, bukan pula karena keluarga. Dalam hadits lain disebutkan bahwa mereka adalah salah satu golongan dari tujuh golongan yang mendapatkan naungan pada hari tiada naungan kecuali naungan Allah. Pada hari Kiamat.
Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *