Abu Umar Abdillah

‘Mengetuk’ Pintu ar-Rayyan

“Innaha shawwaamah qawwaamah, dia (Hafshah binti Umar bin Khathab) adalah wanita yang banyak shaum dan banyak mendirikan shalat, dan dia adalah isterimu di jannah.” (HR al-Hakim)

Itulah pesan Jibril alaihissalam kepada nabi shallallahu alaihi wasallam perihal Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha.

Gelar shawwamah qawwamah (banyak shaum dan banyak shalat) tersebut disematkan beliau bukan oleh orang-orang belakangan yang mungkin melebih-lebihkan dari kenyataan. Akan tetapi gelar itu dikabarkan oleh Jibril alaihis salam, malaikat penyampai wahyu. Sehingga jauh dari ungkapan basa-basi atau manipulasi.

Ini menunjukkan sisi keutamaan dari Ibunda Hafshah radhiyallahu ‘anha, sekaligus bahwa banyak shaum dan banyak shalat merupakan pilihan unggulan amal.

Keistimewaan Pintu ar-Rayyan

Bukti bahwa memperbanyak shaum termasuk dari amal ketaatan yang bisa diunggulkan adalah, bahwa di jannah ada pintu yang dikhususkan bagi orang yang unggul dalam hal shaum, yang diberi nama ar-Rayyan. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Dan barangsiapa termasuk ahli shiyam, maka akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” (HR Bukhari)

Diriwayatkan pula dari Sahl radhiyallahu ‘anhu dari nabi shallallahu alaihi wasallam,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di jannah ada satu pintu yang disebut ar-rayan, dari pintu inilah masuknya orang-orang yang shaum pada hari Kiamat. Tidak akan memasukinya kecuali orang-orang yang shaum, akan dikatakan, “Manakah orang-orang yang shaum?” Merekapun berdiri dan ketika mereka semua sudah masuk, maka pintu ditutup dan tak ada lagi seorangpun yang masuk melalui pintu itu.” (HR Bukhari)

Ar-Rayan dari kata ‘ar-ray’ yang merupakan kebalikan dari haus. Tapi masuk juga dalam pengertian di sini sebagai kebalikan dari lapar. Karena bisa jadi penyebutannya hanya satu (haus), sekedar mewakaili. Atau seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Likaunihi asyaqqu ‘alash sha’imi minal juu’, yakni karena umumnya rasa haus lebih berat bagi orang yang shaum daripada rasa lapar.”

Ini merupakan nama yang pas secara lafazh maupun makna, juga sesuai dengan kaidah ‘al-jaza’ min jinsil ‘amal’, bahwa imbalan sepadan dengan amal perbuatan. Ketika orang yang menjalankan shaum merasakan haus dan lapar di dunia, maka di akhirat akan dihilangkanlah rasa haus dan lapar tersebut untuk selamanya. Karenanya, di dalam riwayat an-Nasa’i dan Tirmidzi ada tambahan kalimat,

مَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا

“Barangsiapa yang memasukinya (ar-Rayyan) maka tidak akan pernah merasakan haus selamanya.” (HR Tirmidzi dan Abu Dawud)

Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah posisi pintu tersebut sebelum memasuki jannah atau berada di dalam jannah, mengingat kalimat dalam hadits tersebut menggunakan kata “fii”, yang bermakna di dalam. Ibnu Hajar al-Asqalani menukil dari az-Zain bin al-munir rahimahumallah, “Disebutkan dalam hadits ini fil jannah (pintu di jannah), bukan lil jannah (jannah memiliki pintu) untuk menghadirkan rasa bahwa di dalam pintu tersebut terdapat kenikmatan dan kenyamanan di jannah, sehingga penggunaan kalimat ini lebih menimbulkan kerinduan untuk mendatangi pintu ini.

Adapun keadaan mereka setelah masuk jannah, maka mereka akan makan dan minum dengan bebasnya, tak ada penghalang dan sempurnalah kelezatan yang dirasakannya. Allah Ta’ala berfirman,

“(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. (QS al-Haqqah 24)

Imam ath-Thabari rahimahullah menafsirkan, “Makanlah dan minumlah dengan nikmat sebagai balasan dari Allah untuk kalian dan sebagai imbalan atas apa yang kamu lakukan di masa lalu, yakni apa yang telah kamu lakukan di dunia untuk akhirat kalian beruapa amal ketaatan kepada Allah.”Adapun Mujahid bin Jabr rahimahullah memaknai lebih khusus “ayyamul khaaliyah” (hari-hari yang telah lalu) yakni ayyamush shiyaam, hari-hari saat menjalani shaum, seperti yang disebutkan oleh asy-Syaukani dalam Fathul Qadiir.

Mereka merasakan kelezatan makanan dan kesegaran minuman tanpa disertai kesusahan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada kesulitan atau larangan untuk mendapatkannya, tidak pula direpotkan dengan kekenyangan ataupun buang air besar dan kecil. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَأْكُلُونَ فِيهَا وَيَشْرَبُونَ وَلاَ يَتْفُلُونَ وَلاَ يَبُولُونَ وَلاَ يَتَغَوَّطُونَ وَلاَ يَمْتَخِطُونَ ». قَالُوا فَمَا بَالُ الطَّعَامِ قَالَ « جُشَاءٌ وَرَشْحٌ كَرَشْحِ الْمِسْكِ

“Sesungguhnya penduduk surga, mereka makan dan minum di dalam surga, namun mereka tidak meludah, tidak kencing, tidak buang air besar, dan tidak mengeluarkan dahak.” Para sahabat bertanya: ‘Lalau bagaimana nasib makanan di perut mereka?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menjadi sendawa, dan keringat yang berbau misk.” (HR. Muslim).

 

‘Mengetuk’ Pintu ar-Rayyan

Menahan lapar dan haus dalam rangka taat kepada Allah adalah cara ‘mengetuk’ pintu ar-rayyan agar bisa memasukinya. Dan lebih luas lagi yakni menjaga diri dari syahwat perut. Bukan hal mudah untuk menahan syahwat perut. Bukankah terusirnya Adam alaihissalam dan Hawa dari jannah lantaran syahwat perut? Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Adalah bapak kita Adam diuji dengan makan, dan terus kalian akan diuji pula dengan makan, sampai hari Kiamat.” Beliau juga berkata, “Barangsiapa mampu menguasai perutnya maka dia akan mampu menguasai amal shalihnya.”

Menjaga syahwat perut, setidaknya dalam tiga hal. Pertama, menahan diri dari berlebihan makan dan minum meskipun dari yang halal. Kita memang diijinkan untuk makan dan minum yang halal, akan tetapi terikat dengan kaedah “wa laa tusrifuu”, tapi jangan berlebih-lebihan, baik dalam pengertian melampaui batas dari yang dihalalkan maupun berlebihan dengan pengertian melampaui batas dari kadar yang wajar. Tatkala menahan syahwat perut itu mermbutuhkan kesabaran tinggi, maka buah yang akan dihasilkan pun sangat fantastis, baik di dunia maupun di akhirat.

Imam ash-Shan’ani menyimpulkan sisi fadhilah shaum dan menahan lapar, “Sesungguhnya lapar itu adalah satu penjaga dari penjagaan Allah. Dan hal utama yang terhindar karena rasa lapar adalah dorongan syahwat dan nafsu bicara. Karena orang yang menahan lapar tidak berhasrat untuk berbicara kecuali sangat penting, sehingga dia terhindar dari berbagai penyakit lisan. Dan orang yang lapar juga tidak bangkit padanya syahwatnya sehingga terhindar dari penyaluran syahwat yang diharamkan.”

Menjaga syahwat perut yang lebih dituntut lagi adalah menjaga dari barang yang diharamkan agar jangan masuk ke dalam perut. Karena makanan maupun minuman yang haram memiliki dampak yang sangat buruk bagi kehidupan seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat.

Di antara dampak yang sangat menakutkan adalah terancam oleh jilatan api neraka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Sesungguhnya tidaklah daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” (HR Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan Gharib”, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi

Dampak yang mengerikan pula, bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram menyebabkan doa tidak terkabul. Andai tidak ada dampak lain selain ini, sungguh meruapakan kerugian yang sangat besar. Karena bagi seorang mukmin doa adalah senjata paling ampuh untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan menghindarkan diri dari apa yang ditakutkan. Dan masih banyak lagi dampak buruk makanan dan minuman yang haram.

Adapun cara ketiga dalam menjaga syahwat perut adalah dengan menjalankan shaum, baik yang fardhu maupun yang sunnah. Ketika seseorang rela menahan rasa lapar dan haus karena mentaati Allah, maka akan terhindarlah ia dari sesuatu yang ditakutkan. Shaum menjadi perisai antara dirinya dari neraka, sekaligus menjadi syafaat bagi orang yang menjalankannya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam, “Rabbi, sungguh aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata, “Rabbi aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Maka keduanya memberikan syafa’at.” (HR Ahmad dan Thabarani)

Maka hadirnya Ramadhan dari tahun ke tahun mestinya membuat semangat ketaatan menjadi subur dan ambisi kemaksiatan semakin terkubur. Dan dengan shaum yang kita jalankan mestinya juga membawa dampak sifat wara’ (menjaga) dari segala jenis makanan dan minuman yang haram, juga menjauhkan diri dari sifat berlebihan. Dan pada gilirannya, semoga kita termasuk kaum yang diijinkan masuk jannah melalui pintu ar-Rayyan, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *