Abawiyah

Hadiah Terbaik

Ketika ijab dan qabul selesai diucapkan, insyaallah ada perasaan nyaman yang membahagiakan mengaliri relung hati. Bukan hanya karena pengaruh produksi hormon oksitosin yang meningkat pesat, namun juga karena bertemunya dua insan berlainan jenis yang memang didesain Allah sebagai pasangan menjadi alasannya. Dan memang, berpasangan adalah salah satu alasan untuk mendapatkan ketentraman.

Ada banyak harapan dan impian yang kemudian dibangun. Ada keyakinan yang tersemat kuat akan kehidupan  yang ‘lebih baik’. Tentang hidup yang penuh kasih sayang, kerja sama saling menguntungkan, kemapanan materi, hingga suasana rumah tangga yang serasa surga. Semua terasa mudah untuk digapai. Dan senyum pun mengembang ditebarkan kepada seluruh handai taulan dan kenalan.

Masih ingat saat-saat seperti ini? Mungkin beberapa pembaca sedang tersenyum simpul membayangkannya. Berkali-kali mengucap syukur sebab mimpinya menjadi nyata. Pipi merona merah karena bahagia. Namun lebih banyak yang mengernyitkan dahi atau malah tersenyum kecut karena kecewa. Sebab berlalunya waktu menghempaskan semua impian itu. Apa yang didapatkan tidak sama dengan yang dibayangkan.

Terhempasnya impian itu bisa jadi karena terlalu tinggi dan idealnya harapan yang jauh dari kemampuan untuk menjangkaunya, atau ketiadaan komitmen yang kuat untuk merealisasikannya, atau bahkan karena tidak sesuai dengan prinsip dasar sakinahnya sebuah keluarga. Bisa juga karena gagal mengantisipasi berbagai persoalan yang datang menghampiri, karena nihilnya ilmu atau lemahnya kesabaran. Kemudian semuanya terasa mengecewakan.

Maka marilah merenung sebentar! Apakah sebenarnya pengharapan terbesar kita dari sebuah pernikahan? Bukankah tidak mudah menjalani kehidupan berumah tangga yang berjalan bukan di atas prinsip sakinah dan menjauh dari sunatullah berpasangannya dua insan? Padahal begitu banyak yang kita korbankan; harta, tenaga, biaya, waktu, hingga perasaan yang seringkali tercabik-cabik luka? Kita hamba yang beriman, dan tidak sulit menemukan jawabannya jika kita mencarinya di dalam al Qur’an atau hadits Rasulullah.

Di dalam surat at Tahrim ayat 6 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu.” Inilah prinsip dasar pernikahan itu. Sebuah prosesi yang mungkin bisa sangat sederhana dan mudah, namun memiliki konsekuensi berat dan agung. Bersatu untuk bisa saling membahagiakan. Memilih untuk bertanggung jawab. Dan itu puncaknya adalah jannah. Bersatu dan berkumpul dalam kebahagiaan hakiki.

Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang kepemimpinannya, apakah dia menjaga atau mengabaikan. Hingga Allah bertanya kepada seorang laki-laki tentang keluarganya.” HR. Ibnu Hibban.

Artinya, komitmen pernikahan bukan hanya semata tentang kemapanan materi dan kesenangan ragawi. Namun juga kebaikan kemanusiaan secara umum, lahir batin maupun dunia akhirat. Komitmen untuk bahu membahu mengerjakan ketaatan kepada Allah dan menjauh dari maksiat semaksimal mungkin, serta menjaga spirit dzikir agar diselamatkan dari api neraka. Mengajarkan kebaikan yang sebenarnya kepada anggota keluarga, alih-alih hanya menjadi pengejar dan penghamba dunia.

Sedang kerugian terbesar adalah keluarga yang di dunia menderita dan tercerai berai di akhirat karena terlempar ke dalam neraka. Seperti firman Allah di dalam surat Az Zumar ayat 15, “Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah mereka yang merugikan diri sendiri dan keluarga mereka pada hari kiamat”. Ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

Meski tidak mudah, namun inilah hadiah terbesar yang bisa kita terima dari, atau berikan kepada keluarga kita; berkomitmen untuk bersama-sama selamanya, bahkan lebih dari sekedar maut memisahkan. Karena itulah makna ibadah yang sebenarnya dalam berkeluarga, sehingga semua pengorbanan menemukan alasannya, juga mendapatkan balasan yang setimpal.

Sebab pemahaman akan agama adalah salah satu tanda kebaikan seorang hamba, untuk itulah kebutuhan akan pasangan yang mengerti agama mutlak diperlukan. Bukan sekedar penampilan yang menawan atau kemampuan memanjakan diri dengan kenikmatan duniawi, namun tidak peduli tentang nasib di hari akhir nanti. Agar perjalanan berumah tangga memiliki ruh kebaikan dan bukan sekedar konsensus untuk bersenang-senang serupa binatang. Tertawa-tawa di dunia pun ternyata tidak lama, untuk kemudian menderita luar biasa selamanya.

Itu pula yang bisa kita tangkap dari firman Allah  surat al Ahzab ayat 28-29 berikut ini. “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, ‘Jika kalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepada kalian mut´ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.'”

Sungguh, hanyalah hamba-hamba yang mendapatkan petunjuk yang bisa memahami semua ini. Bahwa kepedulian anggota keluarga akan nasib mereka di akhirat adalah hadiah terbaik yang bisa mereka berikan. Dan bukanlah pemanjaan akan harta bernada dan kesenangan hidup lainnya, namun hanya berujung nestapa, di dunia ini dan di akhirat sana. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *