Dr. Ahmad Zain

Hukum Mentalqin Mayit Setelah Dikubur

Para ulama sepakat bahwa mentalqin orang yang mau meninggal dunia hukumnya sunnah, berdasarkan hadist  Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ

“ Talqinkan orang yang mau mati dengan La Ilaha illa Allah “ ( HR. Muslim, 916 )

 

Tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum mentalqin mayit setelah dikubur :

Pendapat Pertama : Mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya dianjurkan. Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah dan Malik,  dan pendapat Ibnu al-Arabi dan al-Qurthubi dari madzhab Maliki, sebagian dari asy-Syafi’iyah, dan sebagian besar dari al-Hanabilah. Adapun dalil-dalil mereka adalah :

Pertama : Atsar dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu bahwa dia pernah berkata :

إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:”إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا”، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:”فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ”

“Apabila saya meninggal dunia maka lakukanlah bagiku sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kami lakukan pada orang yang meninggal dunia. Beliau bersabda : “Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia lalu sudah kalian ratakan kuburannya, maka hendaklah salah seorang dari kalian berdiri pada sisi kepala kubur, lalu hendaklah dia berkata : Wahai Fulan anaknya Fulanah, karena dia akan mendengarnya meskipun tidak bisa menjawab. Kemudian katakan : Wahai Fulan bin Fulanah, maka dia akan duduk sempurna. Kemudian katakan Wahai Fulan anaknya Fulanah, maka dia akan berkata : “Berilah aku petunjuk, semoga Allah merohmati kalian.” Lalu hendaklah dia katakan : “Ingatlah apa yang engkau bawa keluar dari dunia ini yaitu syahadat bahwa tiada Ilah yang berhak di sembah melainkan Allah dan Muhammad adalah seorang hamba dan utusan Nya, dan engkau ridla Allah sebagai Rabbmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu, al-Qur’an sebagai imammu. Karena salah seorang dari malaikat Munkar dan Nakir akan mengambil tangan yang lainnya seraya berkata : Pergilah, tidak usah duduk pada orang yang sudah di talqinkan hujjahnya.” Dengan ini semua maka Allah akan menjadi hujjahnya dalam menghadapi keduanya.” Lalu ada salah seorang yang bertanya : “Wahai Rasulullah, Bagaimana kalau tidak diketahui nama ibunya ? maka Rasulullah bersabda : “Nasabkanlah kepada Hawa’ , katakan Fulan bin Hawa.” ( HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 7995 )

          Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani ( W.852 H)  di dalam at-Talkhis al-Habir ( 2/311) : “ Isnadnya bagus dan dikuatkan oleh adh-Dhiya’ di dalam al-Ahkam “ Berkata Ibnu al-Mulqin (W.804 H) di dalam al-Badru al-Munir (5/334) : “ Isnadnya saya tidak tahu cacatnya.”

          Kedua : Hadist Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :

أنَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ: “اِسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ, فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ”

 “ Bahwasanya Rasulullah jika telah selesai menguburkan mayit, maka beliau berdiri padanya dan bersabda : “ Mohonlah ampun untuk saudara kalian, dan mohonlah kemantapan baginya, karena dia sekarang ditanya.” (HR. Abu Daud, 3221 dan al-Baihaqi.  Berkata Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/370) : Sanadnya shahih, dan disepakatai oleh adz-Dzahabi)

Ketiga : Atsar Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata :

إذَا دَفَنْتُمُونِي أَقِيمُوا حَوْلَ قَبْرِي قَدْرَ مَا يُنْحَرُ جَزُورٍ وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا حَتَّى أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ، وَأَعْلَمَ مَاذَا أُرَاجِعُ رُسُلَ رَبِّي .

“ Jika kalian sudah menguburkanku dan kalian telah menutupku dengan tanah, maka berdirilah kalian di sekitar kuburku selama waktu menyembelih kambing dan membagi-bagikan dagingnya, hingga aku merasa tenang dengan keberadaan kalian, dan aku mengetahui, apa yang harus aku jawab di hadapan uusan Allah (Para Malaikat-Nya ). ( AR. Muslim )

 

Keempat : Apa yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari Rasyid bin Sa’ad dan Dhamrah bin Habib dan selain keduanya, bahwa mereka berkata :

 إذَا سُوِّيَ عَلَى الْمَيِّتِ قَبْرُهُ وَانْصَرَفَ النَّاسُ عَنْهُ  كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُقَالَ لِلْمَيِّتِ عِنْدَ قَبْرِهِ: يَا فُلَانُ قُلْ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ قُلْ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ  ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قُلْ: رَبِّي اللَّهُ، وَدِينِي الْإِسْلَامُ، وَنَبِيِّ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ،

          “ Jika kuburan seorang mayit sudah ditutup dengan tanah, dan manusia sudah meninggalkannya, mereka menganjurkan agar dikatakan kepada si mayit : “ wahai fulan katakanlah (saya bersaksi tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah) 3 x, dan katakanlah (Rabbku adalah Allah, agamaku adalah Islam, nabiku adalah Muhammad) kemudian barulah dia pergi. “

Kelima : Berkata Syekh al-Abdari al-Maliki ( W. 897 H) di dalam at-Taj wa al-Iklil (2/238)  : Berkata Ibnu al-Arabi di dalam al-Masalik : “ Jika seorang mayit dimasukkan ke dalam kuburan, maka dianjurkan untuk ditalqinkan waktu itu. Ini adalah perbuatan para sholihin yang terpilih dari penduduk Madinah, karena hal itu sesuai dengan firman Allah (“Dan berilah peringatan, karena  sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.”) Dan seorang hamba sangatlah membutuhkan untuk diingatkan tentang Allah ketika ditanya oleh Para Malaikat. “

          Keenam : Berkata Imam al-Qurthubi di dalam at-Tadzkiratu bi Ahwali al-Mauta wa Umuri al-Akhirati (1/110): (Bab Tentang Manusia Setelah Kematiannya ) beliau menyebutkan bahwa hal ini sudah diamalkan di Qordova, yaitu mentalqin mayit. Dan beliau menukil pendapat gurunya Abu al-Abbas al-Quthubi tentang kebolehan mentalqin mayit, yaitu perkataannya : “ Seyogyanya seorang mayit dibimbing ketika sudah dimasukan dalam kuburannya dan diingatkan : Katakanlah bahwa Allah adalah Rabb-ku )

          Ketujuh : Berkata Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ ( 5/267) :

فَهَذَا الْحَدِيثُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيفًا فَيُسْتَأْنَسُ بِهِ وَقَدْ اتَّفَقَ عُلَمَاءُ الْمُحَدِّثِينَ وَغَيْرُهُمْ عَلَى الْمُسَامَحَةِ فِي أَحَادِيثِ الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ وَقَدْ اُعْتُضِدَ بِشَوَاهِدَ مِنْ الْأَحَادِيثِ كَحَدِيثِ ” وَاسْأَلُوا لَهُ الثبيت ” وَوَصِيَّةِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَهُمَا صَحِيحَانِ سَبَقَ بَيَانُهُمَا قَرِيبًا وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الشَّامِ عَلَى الْعَمَلِ بِهَذَا فِي زَمَنِ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ وَإِلَى الآن

“ Hadist ini ( Abu Umamah ) walaupun dhaif, tetapi bisa dijadikan dalil permulaan. Dan para ulama hadits dan yang lainnya telah sepakat bahwa boleh toleran ( di dalam penggunaan hadist dhaif) dalam masalah keutamaan, motivasi dan peringatan. Apalagi dikuatkan dengan hadist-hadits lain seperti hadist memohon untuknya  keteguhan, begitu juga wasiat Amru bin Ash, keduanya adalah hadits shahih, yang sudah diterangkan sebelumnya. Begitu juga penduduk Syam telah mengamalkan ( talqin) ini pada zaman di mana orang-orangnya bisa dijadikan teladan dan itu sampai sekarang. “

 

Pendapat Kedua : Mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya boleh.  Ini riwayat dari Abu Hanifah dan sebagian dari Hanabilah. Berkata Ibnu Taimiyah  dalam Majmu’al-Fatawa ( 24/296) dan al-Fatawa al-Kubra (3/25) :

 

 

هذا التلقين المذكور قد نقل عن طائفة من الصحابة: أنهم أمروا به, كأبي أمامة الباهلي وغيره, وروي فيه حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم لكنه مما لا يحكم بصحته; ولم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك, فلهذا قال الإمام أحمد وغيره من العلماء: إن هذا التلقين لا بأس به، فرخصوا فيه ولم يأمروا به.

“ Talqin yang disebut di atas telah dinukil dari sebagian sahabat dan mereka menyuruhnya, seperti Abu Umamah al-Bahili dan yang lainnya, dalam masalah ini terdapat riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi tidak shahih, begitu juga sebagian besar sahabat tidak melakukannya. Makanya Imam Ahmad dan ulama lainnya menyatakan bahwa talqin semacam ini tidak apa-apa. Mereka membolehkannya tetapi tidak memerintahkannya. “

 

Pendapat Ketiga : Mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya Bid’ah. Berkata al-Izz Ibnu Abdussalam di dalam al-Fatawa (hlm. 71) : “ Tidak ada hadits shahih dalam masalah talqin, maka hukumnya bid’ah.” Berkata ash-Shon’ani di dalam Subulus Salam (2/113-114 ) :“ Kesimpulan dari perkataan para imam yang mentahqiq ( masalah ini ) bahwa hadist tentang talqin adalah dhaif, dan mengamalkannya adalah bid’ah,  dan jangan terpengaruh dengan banyaknya orang yang mengamalkannya. “

 

Mereka beralasan bahwa hadist Abu Umamah di atas adalah hadist dhaif, sebagaimana yang disebutkan oleh ulama hadits, diantaranya adalah Ibnu Qayyim di dalam Tahdzib Sunan Abu Daud ( 2/454) dan Zadu al-Ma’ad (1/523), al-Haitsami di dalam Majma’ az-Zawaid (3/ 45) ,  Ibnu Sholah di dalam al-Adzkar( h.174), al-Iraqi di dalam Takhrij Ahadits al-Ihya’ ( 4/420) dan yang lainnya.

Kesimpulan :

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa bahwa perbedaan ulama dalam masalah talqin mayit sesudah dikuburkan disebabkan beberapa hal :

Pertama : Perbedaaan di dalam menghukumi hadist Abu Umamah di atas, sebagian menshahihkannya, seperti Ibnu Hajar, Ibnu Mulqin  dan adh-Dhiya’. Sebagian lain mendhaifkannya, seperti al-Haitsami, Ibnu Qayim, dan Ibnu Sholah.

Kedua : Perbedaan apakah hadits dhaif boleh diamalkan dalam keutamaan amal dan motivasi atau tidak . Sebagaimana Imam an-Nawawi yang mendhaifkan hadits tetapi membolehkan untuk dipakai dalam masalah talqin. Sedangkan ulama lain tidak membolehkannya.

Ketiga : Perbedaan di dalam menyikapi kebiasaan masyarakat dahulu yang tidak diingkari oleh para ulama, seperti kebiasaan penduduk Madinah, Syam dan Qordava, dan apakah bisa dijadikan dalil untuk mengamalkannya sekarang, walaupun kebiasaan tersebut berdasarkan hadits dhaif.

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa mentalqin mayit setelah dikubur sebaiknya kita tinggalkan, karena banyak ulama hadits yang mendhaifkan hadits tersebut dan agar kita berada pada posisi yang aman. Walaupun begitu, kita tetap menghormati pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa talqin mayit setelah dikubur hukumnya mustahab (dianjurkan). Wallahu A’lam.