Fikih Nazilah

Hukum Wanita Haidh dan Nifas Membaca Al-Qur’an

Banyak wanita yang sedang haidh dan nifas menanyakan hukum membaca al-Qur’an untuk mereka. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

 Pendapat Pertama : Tidak boleh wanita haidh menyentuh dan membaca al-Qur’an, kecuali membaca dengan niat berdzikir, seperti membaca basmalah, alhamdulillah, doa naik kendaraan. Ini pendapat mayoritas ulama.

Mereka beralasan dengan dengan dalil-dalil sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah,

        لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Qs. al-Waqi’ah: 79)

Kedua : Hadist Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu bahwa  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

       لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

Jangan engka menyentuh al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Daruqutni, Thabrani dan Hakim, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Jawaban : Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata di dalam at-Talkhis al-Habir (1/361) : Di dalam sanadnya terdapat Suwaid Abu Hatim, dia adalah perawi yang lemah.

Ketiga : Hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

Wanita haidh dan orang junub tidak boleh membaca sesuatu dari al Qur’an.” ( HR. Abu Daud )

Jawaban, hadist di atas di dalamnya terdapat perawi yang bernama Ismail bin Ayyas dari penduduk Hijaz, hal ini dinilai oleh ahli hadist lemah. berbeda dengan riwayat-riwayat yang ia ambil dari penduduk Syam. ( lihat Ibnu al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, tahqiq : Abdul Qadir al-Arnauth, 7/358,  Berkata al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra (1/309) : hadist ini tidak kuat )

Keempat : Hadits al-Muhajir bin Qunfudz radhiyallahu ‘anhu bahwasanya  ia mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang berwudhu, maka beliau tidak menjawabnya. Ketika selesai dari wudhunya, barulah dia menjawab salam tersebut.  Kemudian beliau bersabda :

إنه لم يمنعني أن أرد عليك إلا  إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ

“Tidaklah menghalangiku untuk menjawab salam, kecuali aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Hibban, dan Hakim, hadist shahih sebagaimana di dalam Shahih Al-Jami, 2472 )

Jawaban : Ketidaksukaan beliau tidak berarti hukumnya haram, tetapi lebih dekat dengan hukum makruh. Oleh karenanya, asy-Syaukani di dalam Nailu al-Authar (1/266 ) memberikan judul bab dari hadits di atas : “ Anjuran Untuk Berwudhu untuk Berdzikir dan Terdapat Keringanan Untuk Meninggalkannya.”

Kelima : Hadits Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya dia berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْضِي حَاجَتَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلاَ يَحْجُبُهُ إِلاَّ الْجَنَابَةُ

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan hajat beliau, kemudian keluar, lalu beliaupun membaca al-Qur’an, serta makan daging bersama kami, dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi beliau selain janabat.” (HR. Ahmad, Nasai, dan Abu Daud)

Jawaban : Hadist di atas dhaif, karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abdullah bin Salamah, yang hafalannya sudah berubah. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hadits tersebut mauquf sampai Ali binThalib radhiyallahu ‘anhu saja.

Kelima : Mengqiyaskan wanita haidh dan nifas dengan orang yang sedang junub, bahwa kedua-duanya sedang berhadats besar sehingga dilarang untuk membaca al-Qur’an.

Jawaban : Bahwa wanita haidh dan nifas berbeda dengan orang yang sedang junub, karena haidh dan nifas berlangsung lama, sedangkan orang junub waktunya hanya sebentar, karena dia bisa menghilangkannya dengan mandi junub.

 

Pendapat Kedua : Boleh bagi wanita haidh dan nifas untuk membaca al-Qur’an dengan hafalan, tanpa menyentuh. Ini pendapat mazhab Malik, salah satu pendapat asy-Syafi’I, dan salah satu riwayat dari Ahmad.

Diantara dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata:

وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat” ( HR. Bukhari dan Muslim )

Berkata asy-Syaukani di dalam Nailu al-Authar (1/266) : “ Hadist di atas menunjukkan bahwa beliau tetap berdzikir walaupun dalam keadaan hadats kecil, karena itu masuk dalam katagori “ setiap saat” .

Kedua : Hadits Ummi Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata :

كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

“Dahulu kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied, sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya, sampai kami mengeluarkan wanita-wanita haidh, mereka berada di belakang laki-laki, dan bertakbir dengan takbir mereka dan juga berdo’a dengan do’a mereka, mengharap keberkahan dan kesucian hari itu” ( HR. Bukhari dan Muslim )

Hadist di atas menunjukkan bahwa wanita haidh juga diperintahkan untuk berdzikir dan bertakbir pada hari ‘ied. Membaca al-Qur’an dengan tidak menyentuh mushaf termasuk dalam katagori berdzikir.

        Ketiga : Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata

قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

         “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haidh dan aku belum thawaf di Ka’bah dan juga belum sa’i antara Shafa dan Marwa.” Beliau berkata: “Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu beliau bersabda: “Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji selain thawaf di Ka’bah, sampai anda bersih.” ( HR. Bukhari,1650)

Berkata al-Albani dalam Hajjatu an-Nabi (hal. 69 ) :

“Hadist di atas menunjukkan bolehnya wanita yang haidh membaca al-Quran, karena , tidak diragukan lagi, bahwa membaca al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, sedangkan beliau telah membolehkan bagi Aisyah (yang sedang haidh ) untuk melakukan semua amalan ibadah haji, kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca al-Quran, tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat. Bahkan membaca al-Quran lebih berhak untuk diterangkan (hukumnya) karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan bagi wanita haidh, berbeda dengan hukum shalat. Maka jika beliau melarang Aisyah untuk shalat dan tidak menjelaskan hukum membaca al-Quran, maka  ini menunjukkan bahwa membaca al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan umat, tidaklah diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh. Dan dengan ini masalahnya menjadi jelas tidak samar lagi, dan segala puji bagi Allah. “

Keempat : Hadist Ibnu Abbas ketika beliau bermalam di rumah bibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ اللَّيْلُ أَوْ قَبْلَهُ بِقَلِيلٍ أَوْ بَعْدَهُ بِقَلِيلٍ ، ثُمَّ اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ ، ثُمَّ قَرَأَ الْعَشْرَ الآيَاتِ الْخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ

“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur, sampai ketika tiba tengah malam, atau sedikit sebelumnya atau sesudahnya, kemudian beliau bangun, maka beliau duduk sambil menghilangkan ngantuk dengan mengusap muka dengan tangannya, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran.” (HR.Bukhari, 183)

Hadist di atas menunjukkan kebolehan membaca al-Qur’an dalam keadaan tidak bersuci, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al-Quran setelah bangun tidur, sebelum beliau berwudhu. Bahkan Imam Bukhari di dalam Shahihnya (1/47)  meletakkan hadist di atas dalam bab : “ Membaca Al-Qur’an setelah Hadats atau Selainnya .“

Kelima : Berkata Imam An-Nawawi di dalam al-Majmu’ ( 2/163) :

أجمع المسلمون على جواز قراءة القرآن للمحدث الحدث الاصغر والأفضل أن يتوضأ لها

“Kaum muslimin telah bersepakat atas bolehnya membaca al-Quran bagi  orang yang berhadats kecil, dan yang lebih utama hendaknya dia berwudhu.”

Kesimpulan.

Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya wanita haidh dan nifas membaca al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, karena termasuk di dalam katagori berdzikir kepada Allah. Serta tidak adanya dalil yang shahih yang melarangnya.

Adapun jika mereka ingin membaca al-Quran dengan menyentuh mushaf, hendaknya menggunakan sarung tangan, atau membaca buku tafsir yang ada tulisan al-Qur’annya, atau menggunakan hp, netbook, laptop dan lain-lainnya yang terdapat di dalamnya aplikasi al-Qur’an. Wallahu A’lam

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *