Dr. Ahmad ZainFikih Nazilah

Hukum Wanita Karir

Pendahaluan.

Perkembangan teknologi dan perubahan sosial dunia modern telah mempengaruhi gaya hidup manusia, tidak terkecuali wanita. Hidup sukses dengan harta yang melimpah, hidup mandiri dan dihormati masyarakat merupakan impian wanita masa kini. Mereka mengejar impian itu melalui jalur pendidikan tinggi, agar setelahnya bisa mendapatkan pekerjaan yang prestise dengan gaji yang melimpah. Selain itu, wanita yang bekerja kadang didorong kebutuhan yang mendesak, karena penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Padahal wanita tidak bisa lepas dari predikat Ibu Rumah Tangga (IRT), yang mengharuskannya menyisihkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melayanai keperluan suami dan pendidikan anak-anaknya. Tidak sedikit dari wanita karir yang belum bisa membagi waktunya untuk dua kewajiban tersebut, sehingga menyisakan banyak problematika keluarga, dan berdampak kepada perselisihan suami istri, dan tidak sedikit yang berakhir pada perceraian. 

Oleh karenanya, perlu penjelasan yang utuh tentang hukum wanita yang bekerja di luar rumah, atau yang lebih dikenal dengan wanita karir.

Pengertian Wanita Karir

Wanita Karir sebagaimana di dalam translate.com dan dictionary.cambridge adalah seseorang wanita yang menjadikan pekerjaan atau karirnya sebagai prioritas utama dibandingkan hal-hal lainnya. Sebagian wanita karir menghabiskan waktu dan kegiatannya dengan pekerjaannya, Penampilan dan fashion merupakan salah satu hal yang penting oleh seorang wanita, selain memberikan sebuah identitas, fashion juga menunjang untuk memikat daya tarik lawan jenis.

Hukum Wanita Karir

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berprofesi menjadi  wanita  karir :

Pendapat Pertama,

Seorang wanita tidak boleh berprofesi menjadi wanita karir. Ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :

  • Pertama : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (Qs. al-Baqarah: 233)

Ayat diatas menunjukkan bahwa suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak. Maka, istri tidak perlu bahkan tidak boleh keluar rumah untuk mencari nafkah karena segala kebutuhan sudah dipenuhi oleh suami.

  • Kedua : Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.“ (Qs. al-Ahzab: 33)

Ayat di atas menunjukkan bahwa wanita seharusnya di rumah mengurusi keperluan suami dan mendidik anak-anak, dan tidak  boleh keluar rumah untuk bekerja. Tabbaruj Jahiliyah menurut Mujahid dan Qatadah adalah seorang wanita dengan perhiasan dan dandanannya berjalan lenggak-lenggok di depan para laki-laki. ( Tafsir Ibnu Katsir: 6/410)   

  • Ketiga : Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتهِ : الإمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، والرَّجُلُ رَاعٍ في أهْلِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالمَرْأةُ رَاعِيَةٌ في بيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالخَادِمُ رَاعٍ في مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

 “Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya tentang keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa istri bertanggung jawab untuk mengurusi kebutuhan suami dan keluarga, serta mendidik anak-anak di rumah. Jika dia keluar setiap hari untuk mencari nafkah, maka keperluan suami dan pendidikan anak akan terbengkalai. Maka tidak boleh menjadikan pekerjaan di luar rumah sebagai perhatian utamanya.

  • Keempat : Hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المرأةُ عورة ، فَإِذا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشيطانُ    

“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa mengintainya.” (HR. Tirmidzi. Berkata Syuaib al-Arnauth dalam Tahqiq Ibnu Hibban (12/ 413): Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Imam Muslim) .

Hadits di atas menunjukkan bahwa wanita adalah aurat, sehingga tidak boleh keluar rumah, kecuali dalam keadaan darurat.

Pendapat Kedua :

Wanita boleh bekerja di luar rumah jika hal itu diperlukan dan masih dalam koridor syariah.

Diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

  • Pertama, Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23)

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. al-Qashash: 23)

Ayat di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita bekerja di luar rumah, jika hal itu diperlukan, seperti jika orangtuanya sudah udzur atau sakit, sebagaimana dalam kisah dua wanita anak nabi Syu’aib di atas.

  • Kedua, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

   كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَغْزُو بِأُمِّ سُلَيْمٍ ، وَنِسْوَةٍ مِنَ الأَنْصَارِ مَعَهُ ، إِذَا غَزَا ، فَيَسْقِينَ الْمَاءَ ، وَيُدَاوِينَ الْجَرْحَى

“Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita Anshar, maka mereka memberi minum dan mengobati orang yang terluka. (HR. Muslim)

Hadits diatas menunjukkan wanita pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut juga berperang dengan tugas mengobati orang-orang yang sakit dan memberi minum yang haus.

  • Ketiga, hadits  Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘laihi wa sallam bersabda:

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

 “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka”.(HR. Abu Daud. Berkata Hakim: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim.”)

Hadits diatas menunjukkan bahwa wanita diperbolehkan keluar rumah untuk pergi ke masjid, demikian juga untuk pergi ke tempat kerja jika memang diperlukan.

  • Keempat, hadist Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kepada Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,

إذا خفضت فأشمي ولَا تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ

”Apabila engkau mengkhitan wanita potonglah sedikit, dan janganlah berlebihan, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Abu Daud dan Baihaqi.Berkata Abu Daud: “Hadits ini dhoif.”)

Hadits diatas menunjukkan bahwa sebagian wanita pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berprofesi sebagai dokter khitan wanita. Ini berarti mereka juga bekerja di luar rumah

  • Kelima, sejarah menjelaskan bahwa Khadijah radhiyallahu ‘anha, juga bekerja sebagai saudagar. Ini menunjukkan kebolehan wanita bekerja selama dalam koridor syariah.   

 

Kesimpulan :

 Dari dua pendapat ulama di atas, bisa disimpulkan bahwa pendapat yang  lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan wanita boleh bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah :

Pertama: Ada izin dari orang tua jika masih belum menikah, atau dari suami jika sudah menikah.

Kedua: Tidak ikhthilat (bercampur baur) dengan laki-laki yang bukan mahramnya.

Ketiga: Tidak berkhalwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لايخلون بامرأة رجل فإن ثالثهما الشيطان

“ Janganlah sekali kali seorang laki – laki berkhalwat (berduan) dengan wanita, karena yang ketiganya adalah syaithan”. (HR. Tirmidzi)

Keempat: Tidak menampakkan auratnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya.

Kelima: Tidak menggunakan parfum yang bisa menggoda laki-laki lain. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كل عين زانية والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهى زانية

“Setiap mata adalah penzina dan bahwa wanita apabila mengenakan wewangian kemudian dia berlalu melewati majlis, maka dia adalah penzina”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Keenam: Pekerjaan tersebut sangat dibutuhkan.

Ketujuh: Pekerjaan tersebut sesuai dengan kodrat wanita.

Kedelapan: Pekerjaan tersebut tidak menyebabkan terbengkalainya kewajibannya sebagai istri dalam melayani kebutuhan suami dan mendidik anak-anak.  Wallahu A’lam

 

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pondok Melati,  4 Jumadal Ula 1438/1 Februari 2017

2 thoughts on “Hukum Wanita Karir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *