Dr. Ahmad ZainFikih Nazilah

Hukum Memukul Rebana

          Akhir-akhir ini, banyak jama’ah masjid menanyakan hukum memukul rebana di dalam masjid. Masalah ini menjadi pro dan kontra di masyarakat, sehingga perlu adanya penjelasan tentang status hukum memukul rebana, apakah khusus untuk wanita, atau dibolehkan untuk laki-laki juga. Begitu juga tentang status hukum memukul rebana di masjid.

Pengertian Rebana

Dalam kamus wikipedia disebutkan bahwa Rebana  (dalam bahasa Jawa :Terbang) adalah gendang berbentuk bundar dan pipih yang merupakan khas suku melayu. Bingkai berbentuk lingkaran terbuat dari kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing. Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi berkata (4/178) : “Berkata Ahli Fiqh, yang dimaksud dengan rebana adalah yang tidak ada kerincingnya.“

          Memukul Rebana bagi Laki-laki.

Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini, tetapi yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa dibolehkan memukul rebana khusus bagi wanita saja. 

Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas.  Berkata al-Hafidh Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari (9/226) :

واستدل بقوله (واضربوا) على أن ذلك لا يختص بالنساء، لكنه ضعيف والأحاديث القوية فيها الإذن في ذلك للنساء، فلا يلتحق بهن الرجال لعموم النهي عن التشبه بهن اهـ.

“Perkataan dalam hadits di atas ( واضربوا) “ Pukullah “ menunjukkan bahwa memukul rebana dibolehkan tidak untuk wanita saja ( laki-laki juga dibolehkan), tetapi alasan ini lemah. Karena hadits-hadits yang kuat menjelaskan  bahwa hal tersebut hanya untuk wanita. Maka tidak bisa diterapkan untuk laki-laki, ini berdasarkan keumuman larangan menyerupai wanita.” 

Ini dikuatkan dengan hadist dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya seorang budak wanita hitam yang datang kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika beliau tiba dari peperangan. Budak tersebut berkata kepada beliau: ”Sesungguhnya aku pernah bernadzar untuk memukul rebana di dekatmu, jika Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat”. Kemudian Beliau bersabda:

إن كنت نذرت فافعلي وإلا فلا

“ Jika engkau telah bernadzar, maka lakukanlah, tetapi jika belum, maka jangan engkau lakukan”

Wanita tersebut menjawab: “Saya sudah bernadzar.“ Maka duduklah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka dia pun mulai memukulnya. Lalu Abu Bakr masuk, ia tetap memukulnya. Masuklah shahabat Utsman, ia pun masih memukulnya. Lalu ’Umar masuk, maka ia pun segera menyembunyikan rebananya itu di balik punggungnya sambil menutupi dirinya. Maka Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata: ”Sesungguhnya setan benar-benar takut padamu wahai ’Umar.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Baihaqi)

Hadist di atas menunjukkan bahwa yang memukul rebana adalah wanita bukan laki-laki.

Begitu juga belum didapatkan satu riwayatpun bahwa salah satu sahabat pernah memukul rebana pada zaman Nabi Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam.

Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al-Fatawa (11/565): “Beliau membolehkan wanita untuk memukul rebana pada acara pernikahan dan sejenisnya. Adapun laki-laki pada zaman beliau, tidaklah didapatkan satupun mereka memukul rebana dan tidak pula bertepuk tangan.“

Rebana pada Acara Pernikahan  dan Sejenisnya

          Para ulama membolehkan memukul rebana pada acara pernikahan dan hari raya Idul Fitri dan Adha. Ini berdasarkan hadits Muhammad bin Hathibi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

 “Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah rebana  dan suara dalam (resepsi) pernikahan.” (HR.  Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Hakim dan dihasankan oleh yang lainnya.)

Ini dikuatkan dengan Hadist Buraidah radhiyallahu ‘anhu, di atas yang menceritakan bahwa seorang wanita menabuh rebana di depan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada saat beliau pulang dari perang.

Juga dikuatkan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

 أن أبا بكر رضي الله عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام مِنى تدففان وتضربان ، والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد ، وتلك الأيام أيام منى .

“Bahwa Abu Bakar masuk ke rumahnya Aisyah, pada saat itu ada dua wanita yang lagi memukul rebana pada hari raya Mina (hari Tasyriq), waktu itu terdapat nabi yang sedang menutupi diri dengan  bajunya. Tiba-tiba Abu Bakar membentak dua wanita tersebut, maka Rasulullah membuka mukanya dan bersabda : “Biarkan wahai Abu Bakar, inikan sedang hai raya Idul Adha, dan hari Tasyriq.“ ( HR. Bukhari dan Muslim) 

          Tiga  hadist di atas dan hadits yang lain, menunjukkan kebolehan memukul rebana pada acara pernikahan, dan acara-acara kegembiraan lainnya, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, menyambut kemenangan tentara yang pulang dari perang, acara khitanan dan acara-acara serupa lainnya.

Memukul Rebana dalam Masjid 

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mengharamkan dan sebagian lain membolehkan.

Pendapat pertama menyatakan bahwa memukul rebana di dalam masjid hukumnya boleh. Mereka berdalil sebagai berikut :  

 

Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي المَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkanlah pernikahan, dan lakukanlah di masjid, serta (ramaikan) dengan memukul rebana.” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits ini gharib hasan)

          Kedua, hadits Buraidah di atas yang berisi bahwa wanita hitam bernadzar untuk memukul rebana di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memerintahkan untuk melaksanakan nadzar tersebut, karena merupakan sesuatu yang tidak dilarang. Oleh karenanya, dibolehkan juga memukul rebana di masjid.

          Ketiga, hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ عُمَرُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ

“Aku  melihat Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam menutupi aku dengan (badannya) sedangkan  aku  menyaksikan  budak-budak Habasyah  yang  sedang  bermain  ( latihan perang) di  dalam  masjid. Tiba-tiba  Umar menghentikan mereka, maka Nabi shallallahu  ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Biarkanlah mereka kami telah memberikan keamanan Bani Arfidah.” (HR. Bukhari)

          Hadist di atas menunjukkan kebolehan berlatih perang dengan tombak di dalam masjid. Jika hal tersebut dibolehkan, tentunya memukul rebanapun dibolehkan selama hal itu tidak mengganggu orang yang sedang berdzikir  dan sholat.    

          Berkata Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim (6/184 ) :

فيه جواز اللعب بالسلاح ونحوه من آلات الحرب في المسجد، ويلتحق به ما في معناه من الأسباب المعينة على الجهاد وأنواع البر

“ Hadist di atas menunjukkan kebolehan latihan senjata dan sejenisnya dari alat-alat perang di masjid, begitu juga hal-hal serupa yang menguatkan jihad dan beberapa amal kebaikan.” 
Pendapat kedua menyatakan bahwa memukul rebana di dalam masjid hukumnya haram. Adapun alasannya sebagai berikut,

Pertama, firman Allah,   

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ

Bertasbih kepada Allah di mesjid-mesjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, (Qs. an-Nur: 36)

Ayat di atas menunjukkan bahwa masjid dibangun untuk meninggikan dan memuliakan nama Allah di dalamnya. Memukul rebana di dalam masjid bertentangan dengan ayat di atas.

Kedua, hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas yang berisi tentang bolehnya memukul rebana dalam acara pernikahan. Berkata Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfatu al-Ahwadzi berkata (4/178) : mensyarah hadits di atas: “Pukullah rebana pada acara pernikahan , tetapi letaknya di luar masjid.“

 

Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani di dalam Fathu al-Bari (2/444):

          “ Pada dasarnya masjid itu harus bersih dari permainan, maka kebolehan memukul rebana terbatas pada yang ada dalilnya saja. “

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa para wanita dan anak kecil boleh bergembira dengan memukul rebana pada hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha, pernikahan, merayakan kemenangan para pejuang muslim dan acara-acara sejenis yang menunjukkan kegembiraan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Adapun laki-laki, sebaiknya tidak memukul rebana, karena belum ditemukan riwayat yang menunjukkan para sahabat laki-laki memukul rebana, karena hal itu khusus wanita.

Memukul rebana hendaknya dilakukan di luar masjid, untuk menghindari hal- hal yang bisa mencederai kemulian masjid serta menghindari dari perselisihan ulama dalam hal ini. Kaidah Fiqh menyatakan : ( الخروج من الخلاف مستحب )  “Keluar dari perbedaan pendapat adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan.“ Wallahu A’lam.

Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Pasar Kecapi, 27 Jumadal Ula 1438/ 24 Februari 2017

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *