Abu Umar AbdillahMuthalaah

Kawan tapi Lawan

Banyak orang bilang, persahabatan itu butuh pembuktian, pengorbanan untuk sang kawan. Yang karenanya, kita rela mengorbankan sesuatu untuk sang kawan. Tapi apakah setiap orang yang mengharap pengorbanan kita itu benar-benar kawan? Jika sang kawan itu menuntut pengorbanan iman dan menanggalkan keyakinan, sesungguhnya dia bukanlah kawan, tetapi lawan. Karena yang dianggap kawan itu justru menjerumuskan kita kepada kesengsaraan dan penyesalan. Seperti apa yang Allah kisahkan dalam firman-Nya,

“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an, ketika al-Qur’an telah datang kepadaku. Dan syaitan itu tidak akan menolong manusia”. (QS. Al-Furqan: 28-29)

Imam Ath Thabary rahimahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat ini Allah menyebutkan tentang kondisi orang yang menzalimi diri sendiri dan menyekutukan Rabbnya, kelak di hadapan-Nya dia sangat menyesal atas apa yang ia lakukan semasa di dunia. Dan ia juga mencela dirinya, menyalahkan dirinya karena telah mematuhi teman-teman akrabnya yang telah menyesatkannya dari jalan Allah. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith yang telah murtad setelah ia masuk Islam karena mengharapkan keridhoan teman akrabnya Ubay bin Khalaf. Yakni ketika Uqbah duduk di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan mendengarkan ucapan beliau, lalu Ubay bin Khalaf memakinya dan dia terus memaki Uqbah, hingga akhirnya dia pun murtad dari Islam untuk menghindar dari cacian Ubay bin Khalaf, ia lebih condong kepada apa yang diinginkan kawannya daripada apa yang dikehendaki oleh Allah.

Disangka Kawan

Ayat ini tak hanya berlaku khusus bagi Uqbah dan Ubay, namun bagi siapapun yang menjalin persahabatan dengan temannya, hingga ke tingkat akrab yang dapat memberikan pengaruh dalam sikap dan perilakunya, bahkan mengorbankan keimanannya demi keinginan kawannya. Maka hakikatnya yang dianggap kawan itu adalah lawan. Karena pengorbanan terhadapnya demi mendapatkan ridhanya tak berbuah selain sengsara. Pun kawan yang menjerumuskan itu tak mampu menolongnya dari siksa. Seperti setan yang membujuk manusia untuk kufur lalu tidak mau bertanggung jawab terhadap akibatnya.

Baca Juga: Teman Beda Agama 

“Seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kair, maka ia berkata, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.” (QS. al-Hasyr: 16).

Ada lagi yang mengatakan, bahwa kawan adalah yang membersamaimu dalam suka dan duka; senang ketika kamu senang, menghiburmu di saat susah. Namun apakah setiap orang yang berperilaku kepada kita sedemikian rupa benar-benar menjadi kawan sejati? Tidak, bahkan sebagiannya adalah musuh. Jika ia senang melihatmu terjerumus dalam kesenangan yang mengandung dosa, maka sejatinya dia adalah musuh dan bukan kawan. Rasa senang yang ditampakkannya akan semakin membuatmu semakin semangat dalam bermaksiat. Makin percaya bahwa apa yang andai peroleh itu sah-sah saja, bahkan utama. Padahal itu adalah perkara yang mengandung dosa. Seperti ucapan selamat kepada teman yang memiliki pacar baru, atau kepada rekan yang ‘sukses’ dengan bisnis riba atau pendapatan haram yang lain. Atau seperti turut kegirangan saat kawannya memenangkan suatu perjudian. Termasuk juga ketika kawannya berhasil menyakiti orang lain secara zhalim.

Terlebih jika ia turut mendukung dan membantu mewujudkan suatu keinginan yang bertentangan dengan syariat, maka ini termasuk praktik ta’aawun ‘alal itsmi wal ‘udwan, bersekongkol dalam dosa dan permusuhan yang jelas dilarang oleh Allah.

Ternyata adalah Lawan

Tidak setiap orang yang mendukungmu untuk meraih keinginanmu itu layak dijadikan kawan. Sebagian bahkan layak untuk disebut sebagai musuh atau lawan. Pada saat terlintas keinginan pada kesenangan nisbi yang mematikan hati, yang diperlukan saat itu adalah teman yang bias ‘ngerem’ dan menyadarkan kekhilaanmu. Tapi jika yang hadir itu justru mendorongmu untuk terus maju, maka sebenarnya dia adalah musuhmu. Seperti Haman di sisi Fir’aun, seorang teknolog yang mewujudkan keinginan-keinginan Fir’aun untuk berlaku sewenang-wenang dan ingkar kepada Allah, maka hakikatnya Haman itu adalah musuh bagi Fir’aun, karena menjadi sebab Fir’aun terus dengan tindakannya yang melampaui batas.

Sama saja dengan para penguasa dari zaman ke zaman, ketika kesewenangan dan kekafirannya disahkan dan didukung oleh para tokoh dan bawahannya, maka sebenarnya mereka itu menjadi musuh satu sama lain yang saling menjerumuskan kepada kebinasaan dan kesengsaraan.

Baca Juga: Berteman Dengan Orang-Orang Shalih

Maka tidak setiap orang yang mendukungmu itu bisa dianggap sebagai kawan. Bahkan Iblis pun berlagak empati lalu memberi ‘nasihat’ dan dukungan kepada Adam alaihissalam. Iblis tahu, betapa Adam ingin terus hidup di surga sebagaimana Iblis juga tahu betapa penasarannya Adam terhadap pohon yang dilarang oleh Allah meski sekedar didekati, apalagi untuk dinikmati. Melihat celah itu, mulailah Iblis beraksi. Ia melakukan ‘cuci otak’ terhadap Adam dengan hembusan yang memperdayakan, yang seakan dia berada di pihak Adam. Iblis sebut pohon larangan itu sebagai syajaratul khuldi, pohon kekekalan. Ini seperti yang Allah kisahkan,

“Kemudian setan membisikan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata, “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa” (QS. Thaha: 120)

Iblis juga meyakinkan bahwa ia berada di pihak Adam dan bahwa dirinya sebagai kawan hanya bisa menasihati,

“Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.” (QS al-A’raf: 21)
Lalu merasuklah racun pemikiran itu di benak Adam, ia pun tersihir oleh kata-kata Iblis dan menganggap Iblis berada di pihaknya, ingin dirinya tetap berada di dalam surga, hingga kemudian Adam melakukan usulan Iblis yang berbuah penyesalan tiada tara. Maka jelaslah akhirnya, bahwa Iblis adalah musuh yang nyata bagi Adam dan keturunannya.

Sekarang Kawan Nanti Menjadi Lawan

Tanpa kita harus berlaku su’uzhan kepada orang di sekitar kita, tapi hendaknya kita tetap waspada siapa orang-orang yang berada dekat dengan kita. Jangan sampai kecolongan menjadikan orang yang menjerumuskan kita kepada dosa sebagai kawan. Apalah artinya keakraban di dunia jika nantinya menjadi musuh yang akan saling mencela dan menyakiti di akhirat. Apalah artinya senang bersama di dunia jika berakhir dengan penderitaan neraka selamanya.  

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(QS. az-Zukhruf: 67)

Syeikh as-Sa’di dalam tafsirnya Taisir al-Kariimir Rahman menjelaskan bahwa jika kasih sayang dalam persahabatan yang kita jalin dengan teman kita bukan didasari karena Allah, maka kelak hal itu akan berbalik menjadi permusuhan di hari kiamat. Apalagi jika teman kita itu mengajak dan menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang dimurkai oleh Allah seperti kesyirikan dan kemaksiatan, maka bisa dipastikan dia akan menjadi musuh yang nyata bagi kita di hari kiamat.

Adapun Imam al-Baghawi dalam Tasir al-Baghawi menyebutkan bahwa kelak orang-orang yang berteman di atas kemaksiatan dan kesesatan akan berkata, “Wahai Rabb-ku, sesungguhnya si fulan dahulu mencegahku untuk berbuat taat kepada-Mu dan kepada Rasul-Mu, dan ia (justru) menyuruhku untuk berbuat dosa dan melarangku dari berbuat kebaikan. Dia juga mengabarkan kepadaku bahwa kelak aku tidak akan pernah bertemu dengan-Mu. Lalu ia berkata, “Alangkah ia seburuk-buruk saudara, sejahat-jahat sahabat dan sejelek-jelek teman.”

Maka jangan salah memilih kawan jika tak ingin berbuah penyesalan (Abu Umar Abdillah/Pertemanan/Muthalaah

 

Tema Terkait: Pertemanan, Keimanan, Muthalaah

One thought on “Kawan tapi Lawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *