Abawiyah

Dalam Lelah dan Hampa

Kemunculannya mengejutkan saya. Pada suatu hari, berpakaian trendi tanpa hijab, dia mengambil tempat duduk di samping saya selepas usainya kajian di sebuah instansi. Mau berkonsultasi Ustadz, tadi saya mendengarkan kajian tanpa sengaja dan ada dorongan kuat dalam diri saya untuk mengikutinya hingga selesai, katanya membuka pembicaraan saat menemukan wajah saya yang kebingungan karena tidak mengenalnya. Dan pembicaraan kami satu jam ke depannya semakin membuat saya terkejut-kejut.

Seorang wanita menjelang tigapuluh tahun yang belum juga menyelesaikan kuliahnya. Penampilannya memberi kesan matang, mapan dan modern yang bisa jadi menarik bagi banyak laki-laki pemuja fisik lawan jenis. Bekerja di sebuah lembaga keuangan merangkap guru di sebuah sekolah menengah, juga memiliki bisnis sendiri dalam memberi pinjaman uang kepada sejumlah pedagang di pasar. Apa yang kurang, kecuali penampilannya yang menganggu saya?

Keterkejutan saya pun dimulai saat dia memulai kisah hidupnya. Lulusan sebuah SMU milik organisasi Islam ini ternyata tidak menjalankan sholat. Menjadi simpanan anggota dewan selama beberapa tahun dan sekarang mejalin hubungan dengan seorang polisi. Dia kebingungan di antara keinginan berkata jujur kepada si polisi dengan kekhawatiran ditinggal pergi padahal mereka pernah tidur bersama, atau tidak bercerita tentang masa lalu tapi khawatir suatu saat nanti si polisi malah mengetahuinya dari orang lain, dan kemudian meninggalkannya karena marah besar.

Dia juga bercerita tentang ‘hasil’ kerja kerasnya menjadi simpanan anggota dewan. Sebuah rumah yang layak, mobil Honda jazz, berbagai barang dan perhiasan, serta tercukupinya biaya hidup dengan standar tinggi untuk ukuran sebuah kabupaten kecil yang UMRnya bahkan belum menyentuh satu juta rupiah. Kisah sukses palsu sebab di tengah tatapan kagum beberapa teman dan tetangga, sebenarnya, hatinya menderita karena merasa hina.

Dia bagikan kepada saya kisah tentang ibunya yang sekarang sakit dan adik yang menjadi pecandu, juga gelisahnya batin karena hidup yang hampa dan melelahkan di satu sisi, dengan perasaan dikejar rasa bersalah dan kekhawatiran dicampakkan, suatu saat nanti di sisi yang lain. Hal yang mengantarkannya mengunjungi paranormal untuk meminta bantuan atas masalah yang sedang dihadapinya.

Saya terkejut karena kisah mirip sinetron itu terjadi di sebuah kota kecil dan Jawa. Kisah tentang kegagalan pendidikan dan kekaburan visi kehidupan. Gaya hidup hedonis dan materialis yang menjadi panutan, serta bagaimana identitas religi bernama agama mengalami kemandulan. Kisah yang mungkin klise, namun saat berhadapan langsung dengan pelakunya dan mencoba menyelami apa yang dirasakannya, ada sebongkah kemarahan yang menyesakkan dada.

Marah pada orang tua yang gagal mewujudkan sakinah di dalam keluarga, berbicara dengan bahasa hati dan merasakan kepada anggotanya kenikmatan immateriil yang lebih manusiawi daripada mengejar kelezatan benda. Marah kepada pendidikan yang hanya mencetak lulusan siap kerja, tapi bukan siap menjadi manusia pemberi manfaat bagi sesama. Marah pada diri sendiri yang sulit menemukan senjata untuk menyadarkan orang-orang seperti ini, selain doa dan kata-kata. Pagi itu saya nelangsa. Berkali-kali mengucap istighfar!

Saya berfikir tentang betapa sulitnya, ternyata, memiliki kemampuan mengambil pelajaran dari kisah hidup orang lain. Di saat media massa melaporkan banyaknya orang yang sakit jiwa, bahkan beberapanya di tengah popularitas yang menjulang dan kekayaan materi yang menggunung, kita seringkali merasa menjadi pengecualian, bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi kepada kita.

Padahal sunatullah akan tetap berjalan bagi semua makhlukNya. Bahwa hanya Allah lah yang menentramkan jiwa, dan ketaatan kepadaNya mengayakan dan menyamankan hati. Bahwa hidup bukan sekedar proses mencari kenikmatan ragawi, namun lebih dari itu menjalani peran sebagai penegak kebenaran dan penumpas kebatilan adalah rahasia terpentingnya agar terbebas dari kelelahan dan kehampaan jiwa.

Dari sinilah keluarga menjadi ladang penyemaian benih dan pengkaderan yang terpenting. Agar misi dan visi kehidupan tidak kabur dan menghilang, untuk kemudian berubah arah layaknya binatang yang dalam hidupnya, hanya bekerja untuk makan, minum, seks, dan bersenang-senang. Menunggu saat berpisah dengan dunia penuh gelisah dan berjalan pasti menuju kehampaannya.

Keluargalah tempat para pejuang dibentuk dan dipersiapkan untuk tugas besar menjadi pelaku peradaban yang cemerlang. Seraya mencicipi hidangan surgawi bernama sakinah, mawaddah, wa rahmah. Agar mereka kuat dan hebat, berjalan pasti memikul tugas suci memberi manfaat bagi sesama, dan bukan menjadi beban dan sampah peradaban.
Mari merenung lagi! Berapa banyak waktu, tenaga, biaya, dan pikiran yang tersita untuk membesarkan anak-anak. Dan jika bukan keshalihan yang kita dapatkan, bukankah kita berjuang terlalu keras, membayar terlalu mahal, berfikir terlalu dalam, dan memberi waktu terlalu banyak untuk hasil mengecewakan bernama kelelahan raga dan kehampaan jiwa? Alangkah kasihannya diri kita ini!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *