Kajian

Ghazwul Fikri

Syaikh Muhammad Quthb dalam Waqi’una al-Mu’ashir menyatakan tentang Ghazwul-Fikr :

“Sarana-sarana non militer yang digunakan oleh pasukan salib untuk menghilangkan simbol-simbol kehidupan Islami serta memalingkan kaum muslimin dari sikap komitmen terhadap Islam, yang berkaitan dengan aqidah serta pemikiran, adat-istiadat dan sikap hidup yang berhubungan dengannya”.

Ya, beliau memotret perang pemikiran sejak pertama kemunculannya pada masa perang salib hingga waqi’ umat Islam hari ini.Tidak ada perubahan tujuan maupun strategi musuh Islam, khususnya pihak ‘barat’ Nashrani dalam memenangi peperangan menghadapi Islam.

Muhammad Sayyid al-Wakil dalam bukunya (edisi terjemah Wajah Dunia Islam) mencatat bahwa pada saat persekutuan pihak ‘barat’ Nashrani berkonsentrasi untuk melikuidasi Islam      dan umatnya dengan kekuatan phisik persenjataan di abad pertengahan, mereka gagal. Ketika itu seluruh kemampuan militer telah dikerahkan, didukung dengan spirit keagamaan yang disimbolkan dengan pemberkatan pasukan oleh paus, memanggul salib besar dalam setiap pertempuran, bahkan setiap prajurit tempur mengenakan simbol salib di uniform-nya. Tetapi mereka mendapati umat Islam bangkit mempertahankan kehormatan agamanya dengan penuh kesadaran dan pengorbanan, alhasil perang phisik itu akhirnya gagal mereka menangkan.

Namun, tanpa sengaja mereka menemukan sebuah fenomena menarik di tengah proses pertarungan dua peradaban itu. Ketika dua pasukan dengan dua ideologi berbeda itu telah kelelahan, setelah kaum Nashrani gagal mempertahankan penguasaan mereka atas Al-Quds, sementara pasukan Islam juga sudah tidak sanggup merebut kota Akka setelah kelelahan memenangi perebutan kota suci Al-Quds, terjadilah gencatan senjata. Muslimin diwakili oleh Sholahuddin Al-Ayyubi, sedang pasukan salib Nashrani diwakili oleh raja Inggris Richard ‘Lion Heart’.

Gencatan senjata itu memungkinkan dua kelompok manusia dengan celupan keyakinan yang berlainan, dua adat-istiadat dan peradaban yang berseberangan saling berkomunikasi, saling mempengaruhi sehingga terjadilah perubahan-perubahan sikap dan perilaku. Pihak ‘barat’ Nashrani menangguk keuntungan dari kemajuan peradaban Islam dalam persentuhan itu, tetapi mereka tidak mengambil kelurusan jalan hidayahnya. Sementara, umat Islam tak dapat mengambil keuntungan apapun dari pergaulan dengan ‘barat’. Sebab, ‘barat’ Nashrani ketika itu adalah masyarakat yang bangkrut secara moral dan tertinggal jauh dalam teknologi dan sistem kehidupan. Secara keyakinan, mereka berada di bawah kepemimpinan gereja yang memasung dan ugal-ugalan, secara moral dekaden, apalagi sebagian dari mereka yang berangkat dalam ekspedisi perang salib adalah golongan para maling dan sampah masyarakat. Masyarakat Eropa sendiri, yang dilewati ekspedisi salib I merasa benci dan terganggu ulah mereka,  sehingga gerombolan pasukan ini hancur sebelum mencapai Bait al-Maqdis, sebagian karena bertempur sesama mereka berebut logistik, sebagian lagi bertempur melawan penduduk yang mereka jarah kekayaannya. Tak ada yang dapat ditimba dari sumur comberan itu.

Mereka menemukan pelajaran berharga, bahwa umat Islam, selama mereka komitment dengan baik terhadap ajaran agamanya, tidak dapat dikalahkan, meskipun secara jumlah dan kelengkapan sarana hidup dan sarana mempertahankan diri berada pada tingkat minimal. Kekuatan umat Islam terletak pada keteguhan mereka memegang ajaran agamanya. Berbeda dengan karakter ‘barat’ Nashrani, mereka mengandalkan kekauatan phisik, ketrampilan tempur dan kelengkapan sarana militer untuk memenangi peperangan.

Karena itu para pemimpin Nashrani sejak saat itu dan untuk selanjutnya meluncurkan program ghazwul-fikri (perang pemikiran) sebagai rangkaian paket program untuk memenangi peperangan. Inti dari program tersebut adalah tab’id, menjauhkan umat Islam dari komitment tehadap dien-nya.

Paket program ini bersifat komplementer (melengkapi, menyempurnakan) bukan substitusi (mengganti). Maksudnya, dengan program itu dimaksudkan untuk menyempurnakan strategi dan melengkapi step peperangan menghadapi umat Islam, agar membuka probabilitas kemenangan lebih besar, lebih sempurna dan memperkecil kerugian di pihak mereka, memaksimalkan kerugian di pihak umat Islam.

Umat Islam yang terjebak di dalam program ghazwul-fikri setahap demi setahap akan meninggalkan komitment dien dan aklaq Islam, cara berpikir, life style akan terlepas dari Islam, kesucian rusak, pergaulan bebas dan moral dekaden. Ketika keadaan dirasa telah matang, dengan berulang kali test case, barulah langkah-langkah phisik militer digelar, dengan perhitungan akan dapat mengalahkan umat Islam dengan satu pukulan final yang mematikan.

Dalam beberapa kejadian benturan antara umat Islam dengan Nashrani yang bersifat horisontal, selalu didahului dengan program ghazwul-fikri ini. Pengulangan ini menunjukkan pola baku yang selalu ditempuh. Dengan pola tersebut Nashrani melepaskan senjata bermata ganda ; ghazwul-fikri berfungsi sebagai alat dakwah Nashani untuk memurtadkan umat Islam, di sisi lain berfungsi untuk melancarkan proses pembusukan umat Islam secara intern. Jika pun umat Islam tidak murtad menambah hitungan statistik mereka, setidaknya meminimalisir korban pada saat upaya melikuidasi umat Islam.

Muhammad Abdul Hadi Al-Mishriy dalam bukunya Mauqif Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah min Al-’Ilmaniyah ‘Awa`iq Intholaqotil-Kubro menegaskan bahwa diantaa strategi yang ditempuh oleh orang-orang munafiq dan zindiq untuk menghancurkan Islam, mereka memperdaya umat Islam dengan tipuan dan kamuflase bahwa mereka tidak sedang memusuhi Islam dan umat Islam, mereka melangkah setapak demi setapak menjauhkan umat Islam dari agamanya agar umat Islam yang tertidur dari kesadaran agama tidak terjaga.

Langkah memperdaya dan kamuflase ini terbukti efektif untuk mengalahkan umat Islam dan menguasai buminya jengkal demi jengkal dan mengusir penduduknya atau membersihkannya sama sekali dengan etnic cleancing. Di Afrika, mereka datang membawa Al-Kitab (Injil) sementara tanah Afrika yang kaya mineral adalah milik penduduk Afrika yang miskin itu.  Setelah waktu berlalu, kini orang-orang Afrika miskin itu memegangi Injil, sedang tanah mereka telah berpindah ke tangan para penjajah Eropa itu. wal-’iyaadzu bilLaah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *