Abawiyah

Ke Akhirat Kita Akan Menuju

Meski kadang hanya terdiri dari dua orang, laki-laki dan perempuan sebagai suami istri, keluarga tetaplah sebuah organisasi. Ada visi dan misi beserta sejumlah aturan sebagai produk turunannya yang disepakati, ada kepemimpinan kapabel yang menggawangi, ketaatan yang dijalankan, hingga evaluasi yang kontinyu. Di mana untuk kebaikannya, fungsi- fungsi manajerial harus ditegakkan di dalamnya, meliputi perencanaan, penempatan staf, pelaksanaan, hingga pengendalian.

Dari sinilah kita faham bahwa membangun sebuah keluarga yang samara (sakinah, mawaddah, wa rahmah) bukanlah masalah sepele. Ia bahkan cenderung rumit dan sulit jika tidak dimulai dengan konsep yang jelas, bekal yang memadai, niat yang ikhlas, dan istiqamah. Bukan saja karena cakupan samara memiliki dimensi yang luas, lahir batin, dan dunia akhirat, namun juga masa tempuhnya yang bisa jadi sangat panjang. Ia bahkan adalah hidup kita itu sendiri jika melihat bahwa siapapun kita, tetap saja adalah bagian dari sebuah keluarga, terlepas dari apa posisi kita di dalamnya.

Keutuhan konsep dalam keluarga berawal dari kejelasan visi. Yaitu kemampuan untuk melihat inti persoalan berupa pandangan jauh ke depan tentang arah yang akan dituju. Dan inilah titik pembeda pada setiap keluarga yang dibangun meski secara penampakan seringkali tampak serupa. Berkualitas tinggi atau rendah, berwawasan jauh atau dekat, meninggikan kemanusiaan atau merendahkannya.

Inilah yang nantinya memengaruhi semua jenis produk turunan dalam sebuah keluarga. Tentang prinsip nilai yang dipegang, standar kebenaran yang ditetapkan, perangkat yang dibutuhkan, hingga konsep pengelolaan yang menjadi pilihan. Visi adalah bingkai besar yang mewadahi semua hal yang berhubungan dengannya. Ia diperoleh dari kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan batin. Dalam hal ini adalah hasil interaksi dengan sejumlah nash yang ada karena keluarga samara adalah konsep Rabbani.

BACA JUGA : Saat Konflik Mendera

Dan sungguh, banyaknya masalah yang muncul dalam sebuah keluarga, berasal dari ketidakjelasan visi sejak dimulainya. Selain kebingungan saat memutuskan dan arah perjalanan yang menyimpang, perbedaan yang terjadi dalam tataran ini akan menghasilkan sudut pandang yang tidak sama dalam banyak hal di antara anggota keluarga. Di mana ia akan berpeluang memunculkan banyak masalah, dari yang sepele hingga yang strategis. Soal model baju dan nyanyian yang dipandang sepele oleh kebanyakan kita, bisa menjadi sumber konflik yang berkepanjangan jika dilihat dari sisi ini.

Sebagai tempat persemaian peradaban kemanusiaan, visi keluarga samara adalah akhirat dan keshalihan di dunia. Yang kini mulai hilang, atau minimal diabaikan dalam perjalanan keluarga modern, padahal ia adalah yang pertama dan utama harus difahami sebelum membangun mahligai rumah tangga. Juga dimensi kenyamanan dan ketentraman sebagai buahnya di dunia yang lebih mengacu kepada suasana hati alih-alih sekedar tercukupinya kebutuhan materi. Hal ini tentu akan sangat berbeda pada harapan yang digantungkan dan pola pengendaliannya.

Visi Islami sebuah keluarga bisa kita lihat dari firman Allah berikut ini. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” QS. At Tahrim ayat 6.

Juga pada firman Allah, “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Rabbana, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” QS. Al Furqaan 74.

Dua hal inilah yang membuat bahasan keluarga samara menjadi berbeda jika kita bandingkan dengan keluarga modern yang cenderung hedonis materialistis karena berorientasi dunia semata. Berkeluarga hanya untuk bersenang-senang dan memanjakan syahwat, sehingga mereka kesulitan menemukan alasan yang lebih substansial berupa penegakan kebaikan (amar makruf nahi munkar) dan pemaknaan kebahagiaan hidup yang lebih hakiki, sebab semua dinilai, dihargai, dan dirasai sebatas kemampuan panca indera. Atau sekedar pernikahan yang menyenangkan dan menguntungkan kedua belah pihak secara duniawi, hingga lebih mirip simbiosis mutualisme materialistis.

Padahal, hal inilah yang akan membuat manusia menjadi buas. Saat kenikmatan duniawi menjebaknya pada pengembaraan yang tak berkesudahan. Di mana tidak ada kata cukup karena hasrat akan kenikmatan yang tak berujung. Selalu dan selalu mendambakan yang lebih, sebagaimana sabda Rasulullah, “Andai manusia memiliki dua lembah harta, maka pasti dia menginginkan lembah yang ketiga.” Dimana saat mereka tidak mendapatkan dunia, maka akan sangat menderita lah kehidupan keluarga mereka, seolah-olah kiamat sudah di depan mata.

Pada keluarga yang bervisi akhirat, mereka belajar mencari dunia dengan halal. Bersyukur saat diberi kelapangan dan bersabar saat menemukan kesempitan. Mereka belajar qanaah sebagai kekayaan paling utama. Dan keshalihan diri sebagai target terpentingnya.

Ya, karena keluarga, hakikatnya adalah ruangan melakukan persiapan kepulangan kita ke akhirat. Sebab kita akan menuju ke sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *