Abawiyah

Menantu Versus Mertua

Ini adalah keinginan mayoritas suami; merukunkan istri dengan keluarga besarnya, terutama dengan ibunya sebagai mertua. Sebuah keinginan yang wajar, sebab meski sudah menikah, kewajibannya untuk berbakti kepada kedua orangtuanya tidak akan selesai. Para suami tentu ingin agar kualitas bakti mereka bisa tetap terjaga, atau kalau bisa, menjadi jauh lebih baik.

Faktanya, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. Banyak yang gagal, atau minimal tidak seperti yang diinginkan, dilihat dari banyaknya kasus perseteruan menantu dengan mertua yang kita temukan. Banyak yang kemudian menjadi pesimis, seolah kerukunan antar menantu dan mertua sangat sulit diwujudkan, atau bahkan seperti mustahil adanya.
Bagaimanapun, melangkah ke jenjang pernikahan adalah sebuah penambahan beban. Menjaga keseimbangan antara bakti kepada orangtua agar tetap baik di satu sisi, juga amanah sebagai pemimpin keluarga di sisi lain jelas bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Selain ilmu, juga ada kesungguhan dan ketulusan hati yang kita butuhkan. Sebab sebagai muslim, bukan sekedar keduanya tidak bertengkar yang menjadi tujuan, namun juga ridha Allah, sehingga syariat tetap menjadi panduan jika muncul konflik.

Secara teori, hubungan antara menantu mertua adalah hubungan sesama muslimah. Ia berdiri di atas prinsip-prinsip muamalah islamiyah seperti saling mengasihi, mencintai, bersikap tulus, menasihati dengan cara yang ma’ruf, tidak menzhalimi, tidak mendustai, tidak menipu, tidak membicarakan aibnya dan adab-adab lainnya yang berlaku dalam hubungan sesama muslim. Sehingga secara umum, masalah akan timbul jika salah satu pihak atau keduanya tidak memahami kaidah agama dengan baik, egois, sikap suami yang abai dan tidak peduli, serta tidak tegas dalam menentukan sikap saat masalah timbul.

Adapun sebab khususnya adalah karakter wanita yang cenderung posesif dan emosional, sehingga perasaan memiliki dan persaingan dalam merebut perhatian dari orang yang mereka cintai berjalan tidak sehat dan cenderung mengabaikan batasan-batasan agama. Bukankah wanita diciptakan Allah dari tulang rusuk yang bengkok, sehingga para lelaki harus sabar dan penuh perhatian, juga bersikap adil jika masalah yang ada melibatkan lebih dari satu wanita?

Berbagai hal lain yang bisa menjadi sumber konflik adalah intensitas pertemuan yang sering. Tinggal serumah dengan keluarga besar , dengan aroma persaingan di antara istri dan ibu jelas membuka lebar-lebar sumber masalah, jika tidak tepat menentukan sikap dan tidak memiliki privasi yang cukup. Apalagi jika ditambah dengan pemahaman agama yang minim, sehingga nilai-nilai baik buruk yang diterapkan bukan lagi ukuran syariat. Ibarat pepatah, sedikit-sedikit lama-lama bisa jadi bukit, tinggal serumah membuka peluang bagi kedua belah pihak untuk melihat dan menemukan banyaknya kekurangan dan kesalahan masing-masing.

Sebab lain adalah kesalahan di dalam memahami tanggung jawab istri dalam pelayanan kepada suami. Banyak suami yang memosisikan istri sebagai pembantu dalam keluarga besarnya; mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah. Padahal secara syariat, pelayanan istri wajib atas suaminya saja dan bukan atas keluarga suaminya, kecuali dia ridha dan ikhlas sebagai bentuk pengabdian dan cintanya kepada si suami, maka hal itu adalah tambahan amal shalih baginya.

Sebab yang utama adalah lemahnya keqawwaman suami. Tidak bisa bersikap adil dan bertindak tegas saat terjadi konflik, cenderung mengulur-ulur solusi, serta seringkali berat sebelah. Apakah terlalu membela ibunya sehingga istri harus selalu mengalah, atau sebaliknya, selalu membela istri sehingga ibunya dalam posisi dikalahkan. Dalam hal ini, kualitas kepemimpinan suami betul-betul akan menentukan suasana yang terbangun.

Maka solusinya adalah mengkomunikasikan kriteria istri yang akan dinikahi, lengkap dengan cara hidup seperti apa yang nanti akan dijalani, bagi laki-laki yang belum menikah, sehingga tidak menimbulkan salah faham dengan keluarga besarnya nanti. Termasuk kemungkinan idealnya untuk mandiri dan hidup terpisah dengan orangtua agar lebih leluasa mengaplikasikan nilai-nilai syariat tanpa keterlibatan pihak ketiga.

Namun jika terpaksa, dengan banyak alasan, harus tinggal bersama orangtua, maka selain menetapkan privasi bagi keluarga kecilnya, suami harus menjaga komunikasi yang sehat dengan istri dan keluarga besar agar bisa tabayun dan adil saat memutuskan sebuah solusi masalah. Juga agar bisa membimbing istri untuk mengambil sisi-sisi positif dalam bermuamalah dengan keluarga besar, terutama ibu, baik berupa pengalaman atau pengetahuan tentang suami secara mendalam. Hal yang akan sangat membantunya dalam melayani suami secara maksimal.

Suami juga harus sering menguatkan agar istri bersabar jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, atau bahkan meminta maaf jika belum bisa memberikan tempat tinggal yang layak dan tidak menyusahkan. Sebagaimana Allah berfirman, “Tempatkanlah para isteri itu di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian, dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS. Ath Thalaq : 6)

Dan jika mereka telah bertempat tinggal secara terpisah dengan orangtua, selain tetap menjaga silaturahmi, melakukan kunjungan berkala, membagi waktu secara proporsional, juga menyusun prioritas agar sesekali tetap ada kebersamaan dengan keluarga besar, adalah hal-hal yang harus dilakukan. Semoga Allah memudahkan semua urusan kita!

One thought on “Menantu Versus Mertua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *