Muhasabah

Rasa yang Hilang

Al Qasim bin Muhammad berkisah tentang safar yang paling mengesankannya. Sebuah safar dagang saat ada Ibnu Mubarak menyertainya. Di mana rasa tak percaya bahwa sosok yang begitu masyhur itu sekarang ada bersamanya, terjangkau mata dan telinganya, menjadi dekat dan nyata, berpadu dengan rasa penasaran yang luar biasa. Tentang apa yang membuat beliau berbeda.

Maka, inilah safar yang menyenangkan sekaligus membuat gelisah. Sehingga di antara debar-debar bangga berdekatan dengan figur hebat itu, yang terlintas di benaknya sepanjang perjalanan adalah pertanyaan tentang rahasia kehebatan Ibnu Mubarak yang melegenda; ilmuwan, hartawan, dan pejuang. Bukankah tidak ada asap kalau tidak api? Apa rahasia keutamaan sosok hebat ini, hingga jauh melampaui kami? Kalau beliau mendirikan shalat, kamipun juga. Kalau beliau berpuasa, kami melakukan hal yang sama. Demikian pula dengan jihad dan haji yang beliau tunaikan, kami pun juga.

Hingga pada suatu malam, saat perjalanan kami menuju Syam, begitu Al Qasim menuturkan, kami memilih makan malam bersama di suatu rumah. Saat itulah, tiba-tiba lampu padam, ruangan menjadi gelap. Maka ada di antara kami yang berdiri dan pergi keluar untuk mencari lampu yang lain. Sesaat, suasana hening dan diam.

Kemudian datanglah orang itu membawa lampu, suasana menjadi kembali terang, dan saya langsung melihat Ibnu Mubarak. Di wajah itu, jenggotnya terlihat basah oleh air mata. Pemandangan yang membuat Al Qasim tertegun seraya berkata dalam hati, “Dengan rasa takut inilah lelaki ini mengungguli kami dalam keutamaan. Bisa jadi, saat lampu padam dan suasana menjadi gulita itu, beliau mengingat hari kiamat.”

Ya, rasa takut kepada Allah-lah yang menjadi rahasia keutamaan seorang hamba. Seperti penjelasan Ibnu Mas’ud, “Ilmu itu bukan banyaknya bicara, namun karena banyaknya rasa takut.” Rasa yang menjadi penghalang di antara diri kita dengan maksiat kepada Sang Pencipta. Saat itulah ilmu berbuah yang seharusnya, dan bukan hanya menjadi konsumsi otak dan alat berlogika, namun jauh dari hasil nyata yang membaikkan pemiliknya dan menjadikannya mulia. Saat ia melahirkan hikmah dan jauh dari kepalsuan dan manipulasi kepentingan yang melelahkan. Inilah perolehan yang sejati. Ilmu yang bermanfaat!

Namun inilah rasa yang hilang di zaman sekarang. Banyaknya lembaga pendidikan dan tersebar luasnya sarana keilmuan tak membuat para pemiliknya menjadi manusia pilihan. Sehingga kecerdasan dan kepintaran tak berbanding lurus dengan keutamaan. Seperti kata Umar bin Khattab, “Janganlah membuatmu tertipu, orang yang membaca al Qur’an, namun lihatlah siapa yang mengamalkannya!”

Ya Allah, sungguh aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak terkabulkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *