AqidahImtihan Syafi'i

Tauhid Asma` wa Shifat

Syarah Sullamul Wushul Seri 02

oleh: Abu Zufar Mujtaba

أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْعَبِيدِ … مَعْرِفَةُ الرَّحْمَنِ بِالتَّوْحِيدِ

إِذْ هُوَ مِنْ كُلِ الْأَوَامِرِ أَعْظَمُ … وَهْوَ نَوْعَانِ أَيَا مَنْ يَفْهَمُ

إِثْبَاتُ ذَاتِ الرَّبِّ جَلَّ وَعَلَا … أَسْمَائِهِ الْحُسْنَى صِفَاتِهِ الْعُلَى

وَأَنَّهُ الرَّبُّ الْجَلِيلُ الْأَكْبَرُ … الْخَالِقُ الْبَارِئُ وَالْمُصَوِّرُ

بَارِي الْبَرَايَا مُنْشِئُ الْخَلَائِقِ … مُبْدِعُهُمْ بِلَا مِثَالٍ سَابِقِ

Kewajiban pertama atas seorang hamba… Adalah bermakrifah kepada ar-Rahman dengan mentauhidkan-Nya.

Tauhid adalah perkara yang terbesar di antara semua perkara… Dan ia ada dua, wahai orang yang hendak memahami.

Menetapkan Dzat Allah Yang Mahamulia dan Mahatinggi… Juga nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.

Dan bahwa Dia adalah Rabb yang Mahamulia lagi Mahabesar… Yang Maha Pencipta Maha Mengadakan dan Maha Membentuk.

Mengadakan segala yang ada, menciptakan segala makhluk… Memulai penciptaan tanpa ada misal sebelumnya.

 

Matan nazham yang menjadi sumber syarah pada edisi ini masih sama dengan matan nazham edisi yang lalu. Yang demikian itu lantaran Syaikh Hafizh al-Hakami tidak memisahkan antara kajian tauhid rububiyah dengan tauhid asma` wa shifat. Tentu ini bukannya tanpa maksud. Kiranya maksud beliau adalah agar kita ingat selalu bahwa baik tauhid rububiyah maupun tauhid asma` wa shifat adalah tauhid yang merupakan kewajiban akal pikir. Pun beliau mengkategorikan keduanya dalam satu kategori: tauhid ‘ilmi khabari i’tiqadi.

Seluruh matan nazham di atas masih berbicara tentang tauhid rububiyah dan tauhid asma` wa shifat.

 

Al-Khaliq: Yang Maha Mencipta

Nama Allah al-Khaliq (الْخَالِقُ) bermakna “Yang Maha Mencipta”. Sifat mencipta terkandung di dalam nama ini. Tidak seperti Mu’tazilah yang menetapkan nama tanpa sifat, Ahlussunnah menetapkan nama al-Khaliq untuk Allah, sekaligus menetapkan sifat “mencipta” untuk-Nya. Dalam pandangan Ahlussunnah, Allah-lah pencipta segala sesuatu. Pencipta semua makhluk. Bahkan Allah menciptakan mereka semua tanpa ada contoh sebelumnya.

Siapa pun yang memperhatikan benda-benda mati dan benda-benda hidup di alam raya ini akan sampai pada kesimpulan, tidak mungkin semua ini ada dengan sendirinya, tanpa ada yang menciptakannya. Keindahan, keteraturan, dan lain sebagainya. Allah berfirman,

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabb-mu atau merekakah yang berkuasa?” (QS. Ath-Thur: 35-37)

Allah yang Maha Mengetahui isi hati dan kepala semua manusia berfirman, “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)

Qatadah bin Di’amah (61-117 H), salah seorang mufassir dari kalangan tabi’in berkata, “Barangsiapa memikirkan penciptaan dirinya, niscaya ia akan mengetahui bahwa persendiannya diciptakan sedemikian rupa untuk beribadah kepada Allah.”

Allah juga berfirman,

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS. Al-Baqarah: 164)

 

Al-Bari`: Yang Maha Mengadakan

Sifat menciptakan yang terkandung dalam nama al-Khaliq bersifat umum, meliputi berbagai perbuatan menciptakan. Adapun sifat menciptakan yang terkandung dalam nama Al-Bari` (البارئ) adalah menciptakan sesuatu dengan keindahan pada yang diciptakannya tersebut.

Menurut Abu Ishaq az-Zajjaj—salah seorang mufassir ahlussunnah yang wafat pada tahun 311 H, makna al-Bari` adalah “mengadakan dan menciptakan”.

Allah berfirman, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22)

Pada ayat di atas, al-Bari berarti yang mengadakan sesuatu setelah mengetahuinya. Gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan berbagai musibah lainnya, sebelum terjadi—dengan izin Allah—telah diketahui oleh Allah bahwa musibah itu akan terjadi.

Dengan demikian nama al-Bari mengandung makna sebagai berikut:

  1. Yang mewujudkan, yang mengadakan, yang menciptakan. Di sini al-Bari` bersinonim dengan al-Khaliq.
  2. Yang memerinci sebagian makhluk, membedakan yang satu dengan yang lain, ada yang hitam ada yang putih, ada yang Arab ada yang non-Arab.
  3. Menunjukkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu—secara umum—dengan seimbang sempurna.

Adapun adanya makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan kekurangan, maka selain untuk hikmah yang sangat besar, kita harus ingat QS. Al-Anbiya’: 23. Juga, kalau itu berkenaan dengan manusia, ada hukum khusus berkenaan dengan mereka.

Misalnya, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa kehilangan kedua matanya, niscaya Allah akan mengganti kesabarannya atas keduanya dengan surga.” (HR. Ahmad)

Nama al-Bari’ disebut dalam al-Quran dengan tiga keadaan. Mutlak, mu’arraf (didahului dengan lam ta’rif), dan dikehendaki terang-terangan untuk menunjukkan kesempurnaan sifat.

Nama al-Bari` memenuhi syarat agar suatu nama dapat dikategorikan asma’ul husna. Syarat-syarat itu adalah:

  1. Mutlak tidak muqayyad. Seperti di surat QS. Al-Hasyr: 24. Sedangkan yang muqayyad seperti disebut oleh Allah di surat QS. Al-Baqarah: 54.
  2. Mu’arraf tidak nakirah. Pada surat al-Hasyr nama al-Bari` disebut secara mu’arraf.
  3. Ditujukan untuk menamai Allah.
  4. Menunjukkan kesempurnaan sifat tanpa diliputi syubhat.

 

Al-Mushawwir: Maha Membentuk Rupa

Al-Mushawwir (المصور) adalah yang menciptakan dengan memberikan bentuk dengan berbagai bentuk. Tashwir, sifat yang terkandung dalam nama al-Mushawwir terjadi setelah penciptaan dan pengadaan.

Al-Khathabiy dan Ibnu Katsir mengatakan, “Al-Mushawwir berarti yang membuat ciptaannya dalam berbagai bentuk yang beragam agar saling dapat mengenal dan dapat dibedakan.”

Allah telah menganugerahkan kepada kita sebaik-baik bentuk, “Dan (Allah) membentuk kamu lalu membaguskan rupamu.” (QS. Ghafir: 64)

Allah menciptakan manusia di rahim dengan tiga fase: fase ‘alaqah, fase mudhghah, dan lalu fase shurah (pemberian bentuk sebagai manusia).

Ada yang memaknai tashwir dengan penciptaan. Padahal tidak demikian. Tashwir adalah tahap akhir dari penciptaan. Khalq, lalu birayah, dan terakhir tashwir.

Buktinya adalah firman Allah, “Dan ketika engkau menciptakan dari tanah sesuatu seperti seekor burung.” (QS. Al-Maidah: 110)

Di sini Allah menggunakan kata “khalaqa”

Al-Mushawwir bermakna yang mengadakan bentuk-bentuk, yang menyusunnya dalam berbagai bentuk.

Disebut sekaligus, al-Khaliq al-Bari` al-Mushawwir, yakni Allah yang apabila menghendaki sesuatu maka Dia berkata, “Jadilah” maka terjadilah sesuatu yang dikehendaki-Nya sesuai dengan sifat yang dikehendaki-Nya dan dengan bentuk yang dipilih-Nya. Allah berfirman, “Dalam bentuk apa pun Dia menghendaki untuk menyusunnya.”

Saat ini jumlah manusia yang menghuni bumi telah mencapai 6 miliar. Tidak ada satu pun di antara mereka yang benar-benar sama dengan yang lain, baik rupa atau warna kulitnya. Dan sebelum mereka sudah banyak yang mendahului mereka dan meninggalkan mereka. Dan sesudah mereka pun masih banyak lagi yang akan diciptakan oleh Allah dengan rupa yang berbeda-beda. Semua membuktikan keagungan Allah dan kebenaran sifat yang terkandung dalam nama al-Mushawwir. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *