AqidahImtihan Syafi'i

Wasathiyah Dalam Al Quran

Salah satu kenikmatan besar dan bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada umat Islam adalah menjadikan umat ini sebagai umat pertengahan (washatan), yang paling baik (khiyaran), dan yang paling adil (adulan). Sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Dan begitulah kami jadikan kalian umat pertengahan.” (QS. Al Baqarah: 143)

Ada beberapa penjelasan tentang kata wasathan dalam ayat tersebut. Fakhruddin ar-Razi menyebutkan ada beberapa makna yang maknanya saling mendekati.

Pertamawasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.

Keduawasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110).

Ketigawasath berarti yang paling baik.

Keempatwasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).

Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah Subhanahu Wata’ala telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.

Salah satu penjelasan dari umatan wasathan adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat Ali Imron ayat 110:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

Kemudian Allah mengutus dari sebaik-baik umat itu seorang Nabi yang paling baik dan paling pertengahan di antara mereka secara nasab dan tempat. Allah berfirman:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)

Ia juga dibekali dengan sebuah kitab pedoman yang paling mulia, guna meluruskan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Kandungannya menyeluruh tanpa cacat. Allah berfirman mengenai ini:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS. Al-Maidah: 48).

Dengan mengikuti Rasulullah dan mengamalkan Al-Qur’an, kita senantiasa akan menjadi umat mulia dan umat pilihan. Sebagiamana telah dicontohkan oleh pendahulu kita, para sahabat, kemudian para tabi’in dan tabiut tabi’in. Mereka merupakan generasi unggulan dari umat ini karena selalu ber ittiba’ kepada Rasul dan mengamalkan apa yang terkandung dalam Al-Qur’an. Merekalah tiga generasi emas agama ini, sebagaimana yang di sabdakan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam:

“خيرُ أمَّتي قَرني، ثمَّ الذين يَلونهم، ثمَّ الذين يَلونهم”

“Sebaik-baik umatku adalah pada generasiku, kemudian yang mengikuti setelahnya dan setelahnya.”

Para salafus shalih, merupakan generasi terbaik dari umat ini kemudian dilanjutkan oleh generasi setelah mereka. Semakin kebelakang, kualitas umat ini semakin menurun. Sepeninggal Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan masa kepemimpinan khulafa’u rosyidin, di akhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, mulai muncul banyak perpecahan dan perbedaan di antara kaum muslimin. Setelah perpecahan itu bermunculan, datanglah sekte-sekte melenceng yang mengusung bid’ah dan ghuluw seperti Khawarijj dan Syi’ah. Tidak bisa dipungkiri setelah itu persatuan umat semakin goyah disebabkan banyaknya paham-paham melenceng yang jauh dari sifat asli agama Islam sebagaimana yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad, yaitu adil dan pertengahan.

BACA JUGA : Turun Ke Langit Dunia Di Akhir Malam Yang Sepertiga

Bila kita melihat realitas saat ini, kita akan melihat berapa banyak penyimpangan dan perpecahan yang jauh dari kesatuan umat. Kita dapati banyak sekali orang-orang yang berlebihan dalam menjalankan syariat dan ada juga yang jauh meremehkannya. Ketika melihat realitas yang menyakitkan ini, para pendakwah bergegas mencari solusi, menyetop arus kemungkaran ini guna menyelamatkan akidah umat dan mereka kembali berpegang teguh dengan ajaran yang sesuai kaidah.  Hari ini umat terbagi menjadi dua bagian, ada yang berlebihan dan sebagian yang lain justru sangat meremehkan. Satu ke barat satu ke timur. Mereka seperti apa yang dilakukan kaum dulu. Sejak itulah para du’at dan pemikir tentang umat mulai sedikit dan hilang. Dan akhirnya umat kehilangan jatidiri bahkan akidah mereka juga ikut tergerus. 

Diantara banyaknya umat yang semakin hari memburuk akidahnya, akan nampak jelas bahwa kebutuhan terhadap akidah sohihah dan manhaj yang lurus sangat diharapkan. Yang akan menggiring umat menuju shiratal mustaqim. Para salafus salaf mereka membuang jauh-jauh para pelaku ghuluw dari agama islam ini, begitu juga orang-orang yang malas beribadah (mufrith), dan para penyebar fitnah. Dengan begitu umat sangat membutuhkan petunjuk agar mereka mampu bertahan dari fitnah yang menghancurkan dan membuat sakit akidah umat. para duat (dai) mereka berperan penting untuk mengingatkan umat agar  memahami manhaj salaf yang benar dan jelas. Allah berfirman :

 

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (QS. Al-An’am: 153).

Kebutuhan umat manhaj yang washatiyah sangat di tekankan mengingat fitnah ghuluw begitu cepat menyebar dan menjangkiti. Al quran sebagai petunjuk bagi manusia sudah menjelaskan semuanya, bagimana manhaj yang benar. Dalam aspek ibadah maupun muamalah, dalam amalan maupun perilaku dan dalam konteks ushul maupun furu’. Al quran menjelaskan bahwa washitiyah memiliki beberapa pembagian yang tiap-tiap dai harus mengetahuinya, diantaranya tentang ghuluw dan ifrath, jafa’ (enggan beramal) dan tafrith, dan yang terakahir mengenai shirathal mustaqim.

Siapa saja yang hendak mengetahui tentang washitiyah maka dia harus mengetahui beberapa perkara diatas. Shiratal mustaqim yaitu jalan pertengahan antara ghuluw dan enggan, atau antara ifrath dan tafrith, sebagaimana kebaikan maknanya sudah jelas. Shiratal mustaqim memilik dua hal yang menjadikannya washitiyah, yaitu khairiyah : kebaikan dan bayaniyah : kejelasan. Sebagaimana yang tertulis dalam Al qura’an, washitiyah mempunyai suatu corak atau ciri khusus yang terkandung. Yang menjadikan washitiyah berbeda dengan yang lain. Dan menjadikan umat ini berbeda dengan umat lainnya. Ciri khas washitiyah sudah di tetapkan berdasarkan nash-nash yang terkandung dalam Al qur’an.

Penetapan ciri khas washitiyah ini sangat penting bagi seorang muslim yang menyeru kepada manhaj salaf. Agar menutup kemungkinan terbukanya fitnah syahwat dan mengikuti hawa nafsu. Wasahatiyah begitu agung derajatnya dan mahal harganya, karena merupakan corak dari umat ini. Yang menjadikannya berbeda dari umat-umat yang lainnya. Allah juga telah mengkhususkan umat ini dengannya sebagia bentuk kemuliaan dan kelebihan. Allah berfirman :

ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *