Uswah

Jalan Panjang Menuju Perdamaian

Aus dan Khazraj akhirnya berdamai. Dua kabilah Yatsrib yang berasal dari dua bersaudara tersebut sepakat mengakhiri konflik dan pertempuran yang berumur lebih dari 120 tahun. Rekonsiliasi itu tidak terjadi secara instan, melainkan melalui proses panjang yang dipelopori oleh Rasulullah SAW. Bagaimana perdamaian itu terwujud, simak kisahnya berikut.

Awal pertemuan Rasulullah SAW dengan orang-orang Yatsrib terjadi beberapa tahun sebelum beliau hijrah. Kala itu, salah satu tokoh Aus bernama Suwaid bin As-Shamit datang ke Makkah dalam sebuah tugas resmi. Kabilah Aus mengutus tokoh bergelar Al-Kamil tersebut untuk mengajak Quraisy berkoalisi dalam perang Buats. Yatrib di ambang perang besar. Kabilah Aus dalam persiapan menghadapi rival abadinya, Kabilah Khazraj. Kabilah Khazraj lebih besar dan unggul dibanding Aus. Karenanya, setelah berkoalisi dengan suku-suku Yahudi, Aus menggalang kerjasama dengan kabilah-kabilah Arab di sekitarnya.

Di sela-sela kunjungan Suwaid ke Makkah, Rasulullah SAW menyempatkan diri menemuinya. Sempat terjadi dialog antara kedua tokoh tersebut. Suwaid banyak menyampaikan pengetahuannya, terutama yang ia dapat dari orang-orang Yahudi Yatsrib. Salah satunya, kumpulan hikmah Luqman Al-Hakim yang ia bacakan di hadapan Rasulullah. Kemudian Rasulullah sampaikan bahwa beliau memiliki wahyu yang lebih indah dan berhikmah. Beliau membacakan ayat-ayat Al-Quran yang membuat kepala suku Bani Auf bin Malik tersebut terkesima. Suwaid pun akhirnya memilih Islam. Namun, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Tak berselang lama, Suwaid dibunuh oleh anggota kabilah Khazraj sebelum Perang Buats meletus.

Misi Suwaid dianggap gagal. Karenanya, kabilah Aus kembali mengirim utusan ke Makkah. Kali ini mereka diwakili Abu Haisar Anas bin Rafi’, kepala suku bani Abdu Asyhal. Rasulullah kembali memanfaatkan kesempatan ini untuk berdakwah. Beliau mengerti tujuan dan latar belakang kedatangan mereka ke Makkah. Karenanya beliau tawarkan solusi yang lebih baik dari pada pertumpahan darah.

“Apakah kalian ingin solusi yang lebih baik dari pada misi kalian datang ke kota ini?” tanya Rasulullah.

“Apa solusi itu?”

“Aku adalah rasul utusan Allah. Aku diutus untuk mengajak manusia tidak menyekutukan Allah,” kata Rasulullah membuka pembicaraan. Setelah itu, beliau menerangkan betapa indah ajaran Islam yang menjunjung tinggi persaudaraan. Ukhuwwah atas dasar keimanan akan menyatukan pemeluk agama Islam. Segala dendam dan permusuhan di masa jahiliyah akan sirna. Rekonsiliasi lebih baik dari pada perang. Apalagi generasi muda Yatsrib sudah lelah pertumpahan darah yang tiada henti.

Sayangnya, Abu Haisar tidak mau melihat kebenaran di balik sabda Nabi. Bukannya menerima, tempramennya justru naik ketika Iyas bin Muadz, salah satu pemuda bani Abdu Asyhal memuji solusi yang ditawarkan Rasulullah.

“Kaumku! Inilah jalan keluar yang lebih baik dari pada tujuan kita datang ke sini.” kata Iyas.

“Bukan untuk itu kita datang ke mari!!” bentak Abu Haisar memotong ucapan Iyas sembari melempar tanah ke wajahnya.

Tawaran Rasulullah itu mereka tolak mentah-mentah, sembari berharap jawaban positif dari Quraisy. Namun, kali ini mereka kembali gigit jari, setelah Quraisy menolak berkoalisi untuk melawan Khazraj. Sedangkan Abu Haisar bernasib sial, selain harus pulang dengan tangan hampa, ia terbunuh dalam perang Buats.

Rasulullah tidak putus asa ketika usahanya belum membuahkan hasil maksimal. Pada tahun 11 dari kenabian, saat musim haji tiba, beliau kembali berdakwah mengajak kabilah-kabilah Arab yang datang ke Makkah. Termasuk kepada penduduk Yatsrib. Kali ini, beberapa orang dari Khazraj merespon dakwah beliau. Mereka yaitu As’ad bin Zuroroh, Auf bin Harits, Rafi’ bin Malik al-Ajlani, Quthbah bin Amir bin Hadid, Uqbah bin Amir dan Jabir bin Abdillah.

Setelah masuk Islam, mereka menceritakan situasi yang mereka hadapi. Kota Yatsrib, tempat tinggal mereka, dihuni oleh orang Arab dan Yahudi. Merka tahu bahwa pemeluk Yahudi adalah ahlu kitab yang memiliki banyak ilmu pengetahuan. Kondisi itu bertolak belakang dengan orang-orang Arab yang umumnya menyembah berhala. Karenanya, ketika terjadi masalah atau konflik dengan orang Yahudi, orang Yahudi akan mengancam, “sungguh, akan diutus nabi dari golongan kami. Zamannya sudah dekat. Kami akan menjadi pengikutnya. Lalu kami akan membinasakan kalian sampai hancur seperti kaum Ad dan Iram.”

Keenam orang khazraj itu merasa beruntung berjumpa dengan Rasulullah. Sampai-sampai mereka saling berbisik, “tahukah kalian bahwa inilah nabi yang diramalkan oleh orang Yahudi itu. Jangan sampai mereka mendahului kalian menjadi pengikutnya!”

Meski hanya berjumlah 6 orang, mereka berjanji untuk mendakwahkan Islam di Yatsrib. Komitmen itu terbukti pada musim haji tahun berikutnya, ada 12 orang Yatsrib menemui Rasulullah dalam momen yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Baiat Aqabah pertama. Dari 12 orang itu, hanya 5 di antaranya yang pada tahun lalu diislamkan Rasulullah. Menariknya, ada 2 orang Aus yang ikut berbaiat. Mereka yaitu Malik bin Tiyhan dan Uwaim bin Saidah. Ini sebuah kemajuan pesat bagaimana Islam mulai meruntuhkan sekat-sekat kesukuan di Yatsrib. Padahal sebelumnya kedua kabilah tersebut tak pernah bisa akur.

BACA JUGA: Tawakal Sepanjang Jalan Terjal

Rasulullah melihat peluang dakwah terbuka di Yatsrib. Karenanya, beliau mengirim Mushab bin Umair bersama rombongan kaum anshar itu untuk mempercepat penyebaran Islam. Mushab menjalankan amanat yang diembannya dengan baik. Satu-persatu keluarga di Yatsrib memeluk Islam. Misalnya, anak-anak Amru bin Jamuh yang disusul bapak mereka. Thufail bin Amru ketua Kabilah Daus juga tak mau tertinggal masuk Islam. Bahkan, setelah mengikrarkan Syahadat, dia mengajak segenap kaumnya mengikuti langkahnya. Cahaya Islam pun kian bersinar di Yatsrib ketika peluang dakwah di Makkah semakin menyempit.

Genap satu tahun, Mushab pulang pada musim haji tahun 13 kenabian. Ia membawa 70 orang anshar, termasuk dua orang wanita; Nusaibah binti Kaab dari Bani Najjar dan Asma binti Amru dari Bani Salamah. Rasulullah menemui mereka di malam terakhir mereka berada di Makkah. Pertemuan itu bersifat rahasia, rombongan haji dari Yatsrib sendiri tidak tahu rencana tersebut. Pada Baiat Aqabah kedua ini, Rasulullah meminta mereka siap melindungi beliau seperti melindungi nyawa keluarga mereka. Al-Barra’ bin Ma’rur mewakili kaumnya menyanggupi permintaan itu.

“Demi Rabb yang mengutusmu membawa kebenaran sebagai nabi. Kami akan melindungimu sekuat tenaga kami,” kata Al-Barra’ mengikrarkan janjinya.

Para shahabat anshar paham maksud Rasulullah, bahwa beliau ingin hijrah ke kota mereka. Selain itu, mereka juga siap mengangkat beliau sebagai pemimpin dan memutus perjanjian yang merintangi tujuan itu. Termasuk kesepakatan di antara kabilah-kabilah di Yatsrib untuk mengangkat Abdullah bin Ubay sebagai pemimpin tunggal. Namun ada satu hal yang mengganjal hati mereka.

Malik bin Tiyhan lantas bertanya. “Wahai Rasulullah. Kami terikat perjanjian. Tapi kami siap memutus kesepakakan itu. Jika kami melakukannya, lalu di kemudian hari Allah memenangkanmu, apakah anda akan kembali kepada ke Makkah dan meninggalkan kami?”

Rasulullah tersenyum memahami kegalauan shahabatnya. “Kalian adalah golonganku dan aku termasuk dari kalian. Aku akan memerangi orang yang memerangi kalian. Dan aku kan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”

Itulah janji yang kemudian Rasulullah tepati. Di tahun ke-13 dari kenabian, beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib. Di kota itu, Rasulullah melanjutkan dakwahnya dan mempersatukan pemeluk Islam dari berbagai kabilah dalam satu ikatan ukhuwwah. Kaum anshar pun bangga menjadi penolong dakwah Rasulullah. Kecintaan kepada sang pemersatu mereka syiarkan dengan mengubah nama kota tempat mereka tinggal menjadi Madinatur Rasul atau kota sang Rasul. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *