Abu Umar Abdillah

Islam Harga Mati Yang Lain Bisa Terganti

Demi menyelamatkan keislamannya, Suhaib bin Sinan bermaksud hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun, Suhaib yang asal muasalnya dari Romawi itu dicegat oleh musyrikin Mekah. Mereka berkata, “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami (di Mekah) dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Dan kini terjadilah permusuhan di antara kita. Maka engkau boleh pergi dengan selamat, tapi tidak boleh membawa sedikitpun dari hartamu.”

Islam Harga Mati

Akhirnya, Suhaib rela meninggalkan hartanya karena lebih memilih agamanya. Meskipun ada pilihan lain, dia tetap tinggal di Mekah dengan kekayaannya asalkan mengikuti kemauan musyrikin Quraisy.

Sesampainya Suhaib di Madinah, beliau berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seketika Nabi menyambutnya dengan kabar gembira,

رَبِحَ الْبَيْعُ أَباَ يَحْيىَ.. رَبِحَ الْبَيْعُ أَباَ يَحْيىَ..

“Perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang menguntungkan wahai Abu Yahya.”

Suhaib keheranan lantaran Nabi shallallahu alaihi wasallam mengerti tentang apa yang telah terjadi, hingga beliau berkata, “Wahai Rasulullah, padahal tidak ada seorang pun yang melihat apa yang saya alami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”

Lalu turunlah ayat,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)

Bagi Suhaib yang disebut Nabi sebagai ‘Saabiqur Ruum’(paling awal dalam hal Islam di kalangan orang Romawi), Islam memang harga mati, sedangkan harta benda bisa dilepas dan dicari lagi.

Apa yang beliau lakukan itu mengikuti pengorbanan panutannya; Rasululullah shallallahu alaihi wasallam. Betapapun kecintaan beliau terhadap tanah airnya, yakni negeri Mekah, pun demi menjaga keisalamannya beliau rela meninggalkannya. Karena Islam adalah harga mati, sedangkan yang lain bisa terganti.

Tergambar kecintaan beliau terhadap negeri Mekah sebagaimana yang beliau ungkapkan,

(والله إنك لخير أرض الله وأحب أرض الله إلى الله ، ولولا أني أخرجت منك ما خرجت)

“Demi Allah engkau (Negeri Mekah) adalah sebaik-baik bumi Allah, dan bumi yang paling dicintai oleh Allah. Kalau saja aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan keluar darimu.”(HR Tirmidzi)

Meskipun ebenarnya ada pilihan untuk beliau agar tidak terusir dari Mekah. Yakni beliau menanggalkan keislamannya atau berhenti mendakwahkan Islam dan beliau akan dihormati dan dijunjung tinggi orang-orang musyrikin. Tapi, Islam lebih berharga dari Mekah dan dari semua yang mereka tawarkan. Andai saja Mekah lebih utama dari akidah, tentu beliau tidak akan berhijrah.

 

Baca Juga:Diyatsah, Matinya Kecemburuan dan Lumpuhnya Kepekaan Terhadap Islam

 

Tidak diragukan lagi, bahwa Allah tidak mengharuskan orang-orang beriman itu tinggal di mana atau harus mati di mana. Akan tetapi, Allah mengharuskan mereka mati dalam keadaan muslim dan melarang mati dalam keadaan selainnya. Allah Ta’ala berfirman,

Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali Imran: 102)

Karena Islam itu harga mati dan paling utama dalam hidup dan mati, maka ketika seseorang berada dalam kondisi yang membahayakan keimanannya, wajib baginya hijrah. Ada kalanya hijrah itu menuntut berpindahnya tempat, tapi yang pasti hijrah itu menuntut seorang muslim meninggalkan keburukan dan berpindah kepada kebaikan. Karena itulah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

“Adapun orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah meninggalkan larangan-larangan Allah” (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan kewajiban atas setiap muslim untuk hijrah meninggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Kewajiban hijrah semacam ini tidak pernah gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun , sebagiaman yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam Bahjatul Qulub al-Abrar.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa hijrah yang dimaksud di dalam hadits ini mencakup dua tuntutan. Pertama,hijrah secara batin, yaitu dengan meninggalkan bujukan-bujukan hawa nafsu yang menyeret kepada keburukan dan meninggalkan rayuan setan. Inilah yang disebut dengan istilah hijrah dengan hati. Adapun yang kedua; hijrah secara lahiriyah yaitu dengan menyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah/kerusakan dan kemaksiatan.”

 

Baca Juga: Ghirah, Cemburu Karena Allah

 

Dengan demikian, hijrah kepada Allah maknanya adalah meninggalkan apa-apa yang dibenci Allah menuju apa-apa yang dicintai-Nya, yaitu meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan. Inilah yang dimaksud al firar ila Allah (berlari menuju Allah) sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Maka berlarilah kalian menuju Allah” (QS. Adz Dzariyat : 50)

Ibnul Qayyim dalam Adh Dhau’ Al Munir ‘ala At Tafsir menjelaskan bahwa hijrah kepada Allah ini mengandung sikap meninggalkan segala hal yang dibenci oleh Allah kemudian diikuti dengan melakukan apa saja yang dicintai dan diridhai-Nya. Pokok hijrah ini adalah rasa cinta dan benci di dalam hati. Dalam artian seorang yang berhijrah meninggalkan sesuatu kepada sesuatu yang lain tentu saja karena apa yang dia tuju lebih dicintai daripada apa yang dia tinggalkan. Oleh sebab itulah dia lebih mengutamakan perkara yang lebih dicintainya daripada perkara-perkara lainnya.”

Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa hijrah dengan hati kepada Allah menuntut kita untuk memiliki kesadaran dan ilmu mengenai apa yang Allah benci dan apa yang Allah cintai. Karena hakikat hijrah ini adalah meninggalkan perkara yang dibenci-Nya menuju perkara yang dicintai-Nya. Perkara yang dibenci Allah itu meliputi syirik, kekafiran, kemunafikan, bid’ah, dan kemaksiatan. Adapun perkara yang dicintai Allah itu mencakup tauhid, keimanan, ikhlas, mengikuti tuntunan, dan melakukan ketaatan-ketaatan.

 

Baca Juga : Selamat Dengan Satu Kalimat

 

Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menafsirkan firman-Nya (yang artinya), “Maka berlarilah kalian kepada Allah” yakni selamatkanlah diri kalian dari adzab Allah menuju limpahan pahala, yaitu dengan iman dan ketaatan.

Yang Lain Akan Terganti

Sayangnya, tidak banyak orang yang bernai mengambil keputusan untuk hijrah dari keburukan kepada kebaikan, dari yang halal kepada yang haram, dan dari mengejar ridha selain Allah kepada ridha Allah. Berapa banyak orang yang telah menyadari dirinya berkubang dalam dosa, atau berkutat dalam mencari rejeki dengan jalan yang haram, pun tidak ada keberanian untuk meninggalkannya. Takut rejekinya terhenti, berkurangnya dukungan dan sanjungan manusia kepadanya atau karena sebab-sebab yang semisalnya.

Padahal, selagi seseorang mengutamakan Islam dan menjadikannya sebagai harga mati, maka yang lain akan terganti. Memang terasa sulit jika seseorang meninggalkan hal-hal yang ia sukai dan gandrungi, lantas ia meninggalkannya karena selain Allah. Namun jika jujur dan ikhlas dari dalam hati dengan meninggalkannya karena Allah, maka tidak akan terasa berat untuk meninggalkan hal tadi. Jikalau ada kesulitan maka hanya akan dirasakan di awal saja sebagai ujian apakah ia serius dengan hijrahnya ataukah coba-coba. Jika ia terus bersabar dengan menahan kesulitan yang hanya sedikit, biidznillah ia akan memperoleh kelezatan.

Kaedah yang populer kita dengar, “Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diberi ganti yang lebih baik dari itu”, ganti yang diberikan di sini beraneka ragam.

Ibnu Katsier rahimahullah menyebutkan bahwa para sahabat kaum muhajirin yang harus meninggalkan tanah air mereka, rumah, serta harta mereka demi untuk berhijrah ke Madinah sehingga bisa beribadah kepada Allah dengan baik tanpa diintimidasi oleh kaum musyrikin Arab. Akhirnya Allah menggantikan bagi mereka harta yang lebih banyak dan kekuasaan serta kemenangan atas kaum musyrikin. Bahkan Allah menjadikan mereka menguasai kembali tanah air mereka di Mekah.

 

Baca Juga: Etika Islam Dalam Menerima Berita

 

Kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam yang harus meninggalkan kaumnya, meninggalkan kerabat dan keluarganya yang menyembah patung, lalu berhijrah menuju Palestina, maka Allah pun menggantikan baginya anak-anak yang sholeh. Diantaranya Ishaq ‘alaihis salaam yang akhirnya dilahirkan oleh Sarah yang telah mencapai masa monopouse.

Allah berfirman,

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلا جَعَلْنَا نَبِيًّا

“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya’qub. dan masing-masingnya Kami angkat menjadi Nabi” (QS Maryam : 49)

Begitupun dengan orang yang meninggalkan sesuatu yang haram, maka tidak mungkin Allah membuatnya sengsara. Bahkan Allah akan menggantikan untuknya dengan yang sesuatu yang lebih baik. Apakah ganti itu untuk sesuatu yang sejenis dengan kualitas atau kadar yang lebih, atau yang pasti lebih berkah dan berfaidah. Wallahu a’lam bishawab.

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Motivasi

3 thoughts on “Islam Harga Mati Yang Lain Bisa Terganti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *