Sepenggal Kisah Dari Negeri Suriah

Pada suatu siang pertengahan musim dingin 2017, dalam sebuah perjalanan untuk misi kemanusia, kami tiba di negeri Syam (Suriah). Di tengah jeda kesibukan menyalurkan bantuan kaum muslimin Indonesia untuk warga sipil Suriah, terutama yang hidup di kamp-kamp pengungsian, kami diajak oleh rewalan lokal untuk mengkoordinasikan bahan bantuan yang akan disalurkan keesokan harinya. Karena hari sudah siang, kami dibawa mampir ke sebuah warung untuk santap siang. Sembari menunggu roti yang dipesan jadi, kami duduk di kursi depan warung sambil menahan dingin yang mengigit.

Tiba-tiba saya melihat seorang anak lelaki, dalam perkiraan saya usianya mungkin sepuluh atau sebelas tahun. Ia berjalan sambil mendorong roda gerobak berukuran kecil. Dia terus berjalan searah posisi di mana kami duduk, hanya terpisah oleh jalan. Karena penasaran kami bertanya kepada relawan yang memandu kami,

“Apa kiranya yang dicari anak itu?”

Relawan yang bersama kami menjawab, “Dia sedang mencari sisa makanan.”

“Apa? Sisa makanan?”                                   

“Ya. Lihat saja sebentar lagi dia akan menuju tempat sampah di depan sana.”

Mata kami kemudian lekat memerhatikan anak malang itu. Benar saja, dia berjalan mendorong gerobaknya semakin mendekat kearah tong sampah berwarna biru yang terletak di seberang jalan tempat kami duduk. Yaa Rabb. Setelah sampai di samping tong sampah anak lelaki itu memegang bibir tong sampah dengan sebelah tangannya, sementara sebelah tangannya mengais tong sampah, sesaat kemudian ia meraih kaleng minuman lalu mengerak-gerakkannya, mungkin untuk memastikan masih ada beberapa tetes minuman tersisa. Beberapa kaleng ia masukkan kembali ke tong sampah, dan beberapa lainnya ia masukkan ke dalam gerobaknya. Allahu ighfirlanaa yaa Rabb.

Sesaat kemudian roti pesanan kami sudah jadi. Kini masing-masing kami memegang gulungan roti dengan daging dan sayuran di dalamnya. Dua orang kawan sudah masuk ke dalam mobil sementara kami berdua berbisik dan sepakat untuk memberikan satu dari dua roti jatah makan siang hari ini untuk anak yang malang itu. Roti berpindah tangan. Anak itu memandang penuh heran. Kami segera menuju mobil yang sudah menunggu untuk melanjutkan perjalanan.

Kisah di atas hanya sepenggal dari kisah seorang anak Suriah disamping jutaan anak-anak Suriah lainnya yang hidup dalam ketidakpastian, bahkan ancaman pembunuhan oleh pesawat tempur rezim syiah Nushairiyah dan sekutunya. Karena peluru dan bom dari pesawat tempur rezim dan sekutunya terus menerus menargetkan pemukiman, pasar, sekolah bahkan rumah sakit. Tidak tanggung-tanggung senjata kimia (bom sarin) pun digunakan oleh rezim, ratusan orang meregang nyawa dengan cara yang mengenaskan; sesak nafas akut, kulit melepuh, dan otot tubuh mengalami kejang yang hebat, lalu mati.       

Di luar Suriah, puluhan juta lainnya mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Data yang diliris tahun 2016 oleh badan kemanusiaan internasional menyebutkan bahwa lebih dari setengah penduduk suriah (50 juta) menjadi pengungsi. Dari jumlah itu lebih dari setengahnya adalah anak-anak, 25% wanita, dan 15 % laki-laki. Sebanyak 4,8 juta mengungsi ke Negara tetangga (Libanon, Jordania, Mesir, Irak dan Turky), bahkan menurut penuturan seorang warga Suriah ratusan ribu orang mengungsi ke Sudan dan sebagian lagi ke Malaysia. Setengah dari keseluruhan pengungsi itu adalah anak anak, 6,6 juta pengungsi di dalam Suriah, ratusan ribu ke negeri-negeri Eropa, 15 ribu anak terpisah dari keluarganya.

Hidup ditenda pengungsian jelas sangatlah berat. Ancaman kelaparan, penyakit, cuaca ekstrim di musim panas dan musim dingin, pendidikan anak-anak dan kejahatan menjadi sangat riskan. Untuk menyambung hidup mereka sangat bergantung kepada bantuan kemanusiaan masyarakat dunia, sebab sangat sulit untuk bisa bekerja dan mendapatkan upah, tidak sedikit anak-anak akhirnya terpaksa ikut menjadi pekerja untuk sekadar bertahan hidup. Kaum muslimin dari berbagai belahan dunia merespon dengan mengirim bantuan kemanusiaan, akan tetapi masih sangat sangat jauh dari kebutuhan yang sesungguhnya.

    

Suriah yang Dahulu 

Dalam sejarah, Suriah merupakan bagian negeri yang disebut dalam berbagai hadits Rasulullah dengan sebutan negeri Syam. Wilayah yang meliputi Plaestina, Jordania, Libanon dan Suriah sendiri. Bumi Syam terkenal dengan tanahnya yang subur; kebun zaitun, buah Tin dengan berbagai variannya, lemon yang segar, delima yang lezat, kacang almon, gandum, dan juga sayur mayur yang segar. Tak mengherankan karena bumi Syam adalah bumi yang diberkati oleh Allah. Berkah bumi Syam dari dua sisi; berkah secara maknawi, dimana Allah banyak mengutus para Nabi dan Rasul di bumi Syam, menjadi tujuan Isra dan titik pemberangkatan mi’raj Nabi Muhammad SAW. Kedua, berkah secara materi, di sana terdapat Masjdil Aqsha, Allah menjadikan bumi Syam sebagai bumi yang subur dan makmur secara materi.

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Isra: 1)

Penduduk Syam termasuk Suriah menikmati berkah dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman. di sana banyak kota tua yang masih bertahan hingga zaman kini. Namun kini Suriah menjadi lading pembantaian, kota-kotanya menjadi kuburan masal kaum muslimin.

  

Keyakinan Sesat yang Menghancurkan Suriah

Tindakan adalah buah dari keyakinan. Tindakan yang baik adalah buah dari keyakinan yang benar. Sebaliknya, jika ditelisik lebih dalam, perbuatan menyimpang, tindakan zalim dan semena-mena adalah buah dari keyakinan yang rusak dan menyimpang. Demikianlah yang berlaku pada manusia di setiap masa. Ketika umat manusia menetapi keyakinan yang menyelisihi tuntunan penciptanya, maka saat itulah kerusakan sedang dumulai. Saat itulah manusia menggali jurang kebinsaannya dengan tangan mereka sendiri.

Demikianlah yang terjadi di Suriah. Musibah itu sebenarnya sudah terjadi sejak Hafizh Asad, ayah dari Presiden berkuasa saat ini (Basar Asad). Dengan dukungan penuh dari penjajah Prancis, Hafizh Asad berhasil menduduki tampuk kekuasaan, lalu menjadi presiden selama 29 tahun (1971-2000).  Hafizh Asad dan keluarganya adalah seorang penganut Syiah Nushairiyah, sebuah sekte ekstrim dalam aliran Syiah Imamiyah. Secara politik, Hafizh Asad menganut  sosialis dengan membentuk partai Ba’ts Suriah. Semasa berkuasa Hafizh Asad secacara sistematis menempatkan para penganut sekte Nushairiyah pada post-post setrategis kekuasaan baik di bidang militer, ekonomi, maupun parlemen. Sementara kaum muslimin sunni yang merupakan mayoritas (80% lebih) dimarginalkan,  dikebiri kewenangannya. Upaya syiahisasi pun dilakukan dengan jalan taqrib, mendekatkan antara syiah dan Ahlu Sunnah, namun tidak pernah benar-benar berhasil. Sebab mereka hanya ingin Ahlu Sunnah mendekat kepada Syiah sementara mereka tidak pernah bergeser sedikitpun dari keyakinannya.

Di sisi lain rezim Hafizh asad menggunakan gaya diktatorian dalam kepemimpinannya, sikap kritis rakyat dan ulama selalu dihadapi dengan tangan besi; penjara atau hukuman mati selalu menjadi taruhannya. Hak politik mayoritas tidak mendapatkan tempat, bahkan hak mereka menjalankan ibadah pun di batasi; Larangan shalat berjamaah di instansi-instansi pemerintah, curiga kepada masyarakat yang nampak rajin beribadah, bahkan masjid hanya boleh untuk shalat lima waktu dan shalat jumat.

Pada tahun 1982 penah terjadi gerakan perlawanan rakyat yang menghendaki kemerdekaan dari rezim diktator Hafizh Asad. Rezim Hafizh Asad merespon dengan tangan besi; lebih dari 20.000 rakyat di bantai di Hama, kota Hama hancur lebur.

Tahun 2000 Hafizh Asad mati kerena serangan jantung. Dengan segala intriknya, kursi kepresidenan diwariskan kepada putranya Basar Asad yang ketika itu baru berusia 36 tahun. Masih jauh dari syarat usia minimal menjadi presiden yaitu 40 tahun. Parlemen melakukan pertemuan kilat dan mengamandemen undang-undang yang mengatur syarat sah menjadi presiden.

Basar Asad mewarisi kekuasaan satu paket dengan kedoktatoran ayahnya. Hingga terjadilah tragedi maret 2011. Gelombang demontrasi damai masyarakat yang memprotes tindakan repreisif pemerintah yang menangkap, menyiksa dan memunuh anak-anak karena melakukan aksi protes melalui media grafiti. Demontrasi tidak mendapatkan hak jawab dari rezim Asad. Bahkan para pendemo disambut oleh para menembak jitu yang berlindung di balik-gedung-gedung tinggi. Para demontras berjatuhan. Upaya pendekatan kepada rezim yang dilakukan oleh para ulama tidak membuahkan hasil.

Demontrasi pun tak mau surut, bahkan semakin massif. Kekuatan militer bersenjata lengkappun dikerahkan. Korban sipil pun tidak terelakkan. Terjadi bentrokan yang tidak seimbang antara pasukan rezim bersenjata dengan sipil yang tidak bersenjata.

Perlawanan dan tekanan rakyat yang semakin meluas dan menguat akhirnya mendapat dukungan dari para ulama, mujahidin, dan orang-orang yang sebelumnya menjadi loyalis Asad. Terjadi peperangan yang berimbang bahkan kemenagan kaum muslimin Ahlu Sunnah Nampak semakin dekat. Namun situasi berubah ketika Rezim Asad meminta batuan para koleganya dari kalangan Syiah Iran, Irak, Libanon, Rusia bahkan Amerika. Sejarah pun berulang, Syiah bahu membahu dengan Yahudi dan Nasrani memerangi kaum muslimin. Demikianlah kesesatan hanya akan berakibat kerusakan, dan penganut kayakinan yang sesat akan berkawan dengan para penjahat. Semoga Allah menolong dan memenangkan kaum muslimin di Suriah dan di seluruh penjuru dunia.

 

Oleh: Ibnu Syarqi (Relawan Kemanusiaan Untuk Suriah)

 

Baca Yang Ini Juga: 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *