Kajian

Agar Inspirasi tak Tenggelam Lagi

Belajar dari para ulama pendahulu kita, kesuksesan besar mereka rata-rata diawali dari setitik inspirasi. Dari satu titik ini, pada gilirannya melahirkan sejuta aksi yang menakjubkan, dan membuahkan karya-karya besar yang bisa mereka panen di zamannya. Bahkan hingga akhir zaman pun masih bisa memetik hasil yang memuaskan.

Cukup dengan setangkai inspirasi yang dipetik dari seorang gurunya, Imam Bukhari mampu melahirkan karya luar biasa, Shahih al-Bukhari, kitab yang paling shahih setelah Kitabullah. Satu mutiara kata yang keluar dari lisan Ishaq bin Rahawaih yang selalu terngiang di benaknya adalah,   ”Andai saja ada salah satu dari kalian yang mengumpulkan hadits-hadits shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu disusun dalam satu buku.”

Lain lagi dengan Ibnu Hajar al-Asqalani. Hanya dengan membaca satu kalimat dari karya Ibnu Khaldun, Ibnu Hajar al-Asqalani mampu merampungkan karya besar Fathul Baari, syarah dari Shahih al-Bukhari. Jiwa perwiranya tertantang oleh ‘curhat’ Ibnu Khaldun dalam sebuah bukunya, ”Sesungguhnya, untuk menulis syarah (penjelasan) dari Shahih Bukhari, menjadi hutang bagi umat Islam hingga waktu sekarang ini.” Lalu Ibnu Hajar terpacu untuk melunasi hutang itu. Dan beliau telah membayarnya dengan lunas.

Tidak beda jauh dengan Imam adz-Dzahabi, sindiran gurunya, ”Tulisan kamu ini mirip dengan tulisan para pakar hadits,  ” mengantarkan beliau menjadi pakar hadits yang sangat diperhitungkan.

Hargai Inspirasi, Jangan Sampai Tenggelam Lagi

Inspirasi adalah titik permulaan. Pada fase ini, sebagian kita mungkin sering menemukannya. Api semangat tersulut saat percikan-percikan inspirasi menemukan sinyalnya di hati kita. Ketika membaca buku, saat mendengarkan kajian, atau bertemu dengan orang yang gigih dan ulet dalam memperjuangkan sesuatu yang mulia. Saat itu kita benar-benar ingin memulainya, terpacu untuk segera mewujudkannya, dan ’berambisi’ untuk segera merengkuh kesuksesan yang sesungguhnya. Berapa kali kita terpacu ingin mampu menghafal ini dan itu, menguasai bahasa Arab, ingin menjadi ulama yang faqih, da’i yang handal dan semisalnya. Sayangnya, sesering kita menemukan inspirasi, sesering itu pula kita mencampakkan pada akhirnya. Semangat yang tak tahan lama, maupun stamina tekad yang tidak terjaga kontinuitasnya, menjadi penyebab terhempasnya cita-cita. Ada peribahasa yang kita ingin selalu menghindarinya, namun masih saja menjadi karakter yang terus disandang kebanyakan kita, ”hangat-hangat tahi ayam.” Inilah sebenarnya penyakit kambuhan yang sangat berbahaya bagi masa depan cita-cita. Penyakit yang harus kita obati dengan terapi ’pertolongan pertama’ yang tepat dan akurat. Obat itu berupa kata-kata, ”Tempalah besi selagi masih panas.” Tentu dengan daya pukul yang terukur, dengan timing yang tepat, kapan harus dipanaskan, dan kapan harus ditempa. Hingga besi berbentuk sesuai dengan yang dikehendaki.

Hal menarik yang bisa kita teladani dari para ulama pendahulu kita. Mereka begitu menghargai inspirasi yang didapatkannya. Mereka tak ingin membuang percuma setelah dia beruntung menemukannya. Laksana barang berharga yang terus ia jaga, agar tak lepas dari genggaman tangannya.  Mereka sanggup mengawal cita-cita, dari sejak awal ditemukannya, hingga titik akhir pengharapannya. Mereka langsung  ‘bertaubat nasuha’ dari kemalasan, sejak pertama kali Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan semangat untuk berusaha. Begitulah kesetiaan mereka terhadap cita-cita yang telah dipancangkan secara sengaja. Jika ingin sukses, maka hargailah inspirasi sebagaimana mereka menghargainya.

Usaha Tiada Henti, Hingga Tujuan Terpenuhi

Inspirasi memang penting, dan menjadi awal terbaik diperolehnya karya luar biasa. Namun tanpa usaha, ia laksana kertas lukisan yang masuk tempat sampah lantaran gagal untuk dilanjutkan. Hukum syar’i maupun kauni yang berlaku, kesuksesan hanya didapatkan oleh orang yang berusaha. Harapan dan cita-cita saja, sangat tidak memadai untuk membeli sebuah keberhasilan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

”Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. al-Isra’: 19)

Setiap orang punya harapan maupun tujuan, tapi siapa yang harapannya semu, siapa pula yang benar-benar serius dengan cita-citanya? Orang yang serius hanyalah orang yang secara tulus mengharapkannya, lalu memproses harapan itu menjadi tekad yang bulat, dan kemudian mengejawantahkan tekad itu ke dalam amal nyata, itulah yang disebut dengan, “wa sa’aa laha sa’yaha“, berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh. Para Rasul yang disifat dengan ulul azmi adalah teladan terbaik dalam hal kesetiannya terhadap tujuan yang mulia. Dikatakan ulul azmi, karena mereka memiliki tekad yang terus terjaga. Tak patah oleh kuatnya hambatan maupun penghalang. Tak luntur oleh panasnya terpaan dan cobaan.Tidak terbelokkan oleh hiburan yang melenakan, dan tidak pupus harapannya lantaran jauhnya jarak perjalanan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

”Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul azmi) dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS al-Ahqaaf 35)

Begitulah para ulul azmi mengajari kita. Memiliki cita-cita besar, teguh menghadapi segala ujian, dan bersabar dalam menjalani seluruh proses yang harus dilaluinya. Karena kesuksesan itu ada saatnya, usaha juga harus memenuhi dosisnya. Jangan tergesa-gesa memetik hasil, jika masa panen belum tiba waktunya. Wallahul muwaffiq. (Abu Umar Abdillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *