Uswah

Akhir Pertikaian Tak Berkesudahan

Pengorbanan kaum anshar untuk Islam sungguh membanggakan. Tak hanya harta, nyawapun sanggup mereka berikan. Siapa sangka kaum penolong para muhajirin tersebut pernah larut dalam pusara pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Namun, segala dendam dan kebencian itu langsung luruh setelah mereka memeluk Islam.

Kaum anshar sebenarnya merupakan warga pendatang dari Yaman. Nenek moyang mereka adalah dua bersaudara bernama Aus dan Khazraj. Seiring waktu, keluarga pendatang tersebut terus berkembang menjadi dua klan besar dan kuat. Mereka dikenal sebagai kabilah Aus dan Khazraj.

Lambat laun, penyakit ashabiah merusak keharmonisan Aus dan Khazraj. Anggota kedua kabilah itu fanatik dengan klan masing-masing. Perselisihan kecil dapat berubah menjadi pertumpahan darah jika menyangkut nama bani atau kabilah. Kondisi inilah yang berlangsung di Yatsrib selama 120 tahun sebelum Rasulullah hijrah.

BACA JUGA: Al Mann Racun Pemusnah Pahala Sedekah

Konflik perdana antara Aus dengan Khazraj terjadi dalam perang Sumair. Konflik ini sebenarnnya dipicu urusan kecil dan tidak pengting. Kala itu, seorang pria dari Ghatafan tiba-tiba muncul di pasar Yahudi Bani Qainuqa.

“Kuda ini akan aku berikan kepada tokoh paling mulia di Yatsrib.” kata pria tersebut sembari menunjuk kuda yang dituntunnya. Satu persatu orang mulai membanggkan nama kepala sukunya.

“Uhaihah bin Jallah al-Ausi adalah orang paling tersohor di kota ini,” kata orang Aus.

“Bukan, tapi Malik bin Ajlanlah orang yang yang kau cari,” ucap Kaab bin Ajlan, sekutu kabilah Khazraj membanggakan kepala kabilah tersebut.

Kata-kata Kaab membuat panas telinga Sumair, salah satu anggota kabilah Aus. Keduanya cekcok, namun berhasil dilerai. Sumair yang terlanjur dendam tak bisa melupakan penghinaan terhadap pemimpinnya. Ia membuntuti Kaab ketika pergi ke pasar Quba. Ketika pasar sepi, Sumair langsung membacok Kaab dengan pedang hingga tewas.

Malik bin Ajlan tidak terima anggota persekutuannya dihabisi begitu saja. Dia menuntut Bani Amru Bin Auf bertanggung jawab. Hutang nyawa dibalas nyawa. Bani Amru menyangkal Sumair yang melakukan pembunuhan itu. Mereka tidak sudi menyerahkannya untuk dihukum mati. Negosiasi berjalan alot hingga Bani Amru melunak dan sepakat membayar diat, namun hanya separuhnya saja. Malik bin Ajlan ngotot bahwa diat harus dibayar utuh. Negosiasi pun gagal. Perselisihan itu akhirnya diselesaikan lewat jalan pedang.

Kedua belah pihak melibatkan segenap anggota kabilahnya dalam perang. Begitu dahsyatnya perang ini karena menyangkut nama kabilah. Kehormatan mereka dipertaruhkan di arena pertumpahan darah. Mereka saling membunuh hingga waktu malam tiba. Pada pertempuran ini, Aus berhasil mengalahkan khazraj untuk pertama kalinya.

Seusai perang, kedua pihak kembali bertemu dalam majelis perundingan. Al Mundhir Bin Harram An-Najjari, kakek sahabat Hassan bin Tsabit ditentukan sebagai orang yang berwenang memberi menyelesaikan masalah tersebut. Tokoh dari kabilah Khazraj yang terkenal bijak tersebut menetapkan suku Aus bersalah dan harus membayar diat 10 ekor unta sebagai ganti pembunuhan Kaab sekutu kabilah Khazraj. Banyak orang menganggap masalah telah selesai. Namun, sebenarnya konflik baru saja dimulai, karena dendam kesumat telah terlanjur membakar kedua pihak. Apalagi khazraj, kabilah yang lebih besar dari Aus ternyata kalah dalam perang Sumair. Konflik Aus-Khazraj bak bara dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat meledak hebat.

Dan, itu benar-benar terbukti dalam perang Kaab. Konflik berdarah ini bermula dari kematian Kaab bin Amru al-Khazraji dari Bani Mazin yang dibunuh suruhan Uhaihah bin Jallah, pemimpin Bani Juhjuba dari Aus. Kematian Kaab dibalas saudaranya, Ashim dengan menyerbu Bani Juhjuba. Uhaihah, dalang kericuhan itu pun menyelamatkan diri dengan berlindung di balik benteng. Pasukan Khazraj tak menyerah, mereka terus menghujani benteng dengan panah. Uhaihah selamat dalam penyerangan itu, tapi saudaranya tewas terkena panah Ashim.

Sedih dan dendam ditinggal mati saudaranya, Uhaihah bersumpah membumihanguskan Bani Najjar dari kabilah Khazraj yang menurutnya berhutang nyawa adiknya. Sayangnya, Uhaihah lupa jika istrinya, Salma binti Amru berasal dari Bani Najjar. Karena itu, Salma yang merupakan ibu Abdul Muthallib atau nenek buyut Rasulullah SAW tersebut membocorkan rencana suaminya. Uhaihah pun gagal menyerang Bani Najjar. Walhasil, dalam kondisi murka ia membabat tangan istrinya sampai putus. Setelah insiden ini, keduanya bercerai.

Tahun-tahun berikutnya, Yatsrib terus menjadi saksi perang saudara antara Aus dan Khazraj. Mulai dari Perang Hatib, Perang Ar-Rabi’, Perang Baqi’, Perang Fijar 1 dan 2 hingga diakhiri dengan perang Buats. Bahkan konflik tersebut telah berlangsung lebih dari 1 abad. Ironisnya, banyak perang yang dipicu hal remeh, seperti Perang Hatib yang hanya diawali oleh pemukulan orang yahudi terhadap tamu Hatib bin Qais al-Ausi.

Akumulasi dendam dan kebencian mereka akhirnya tumpah dalam perang Buats. Peristiwa yang terjadi terjadi lima tahun sebelum hijrah ini menjadi perang paling, buas, berdarah dan melelahkan dalam sejarah konflik dua kabilah ini.

Demi meraih kemenangan, Aus dan Khazraj menggalang koalisi dengan pihak di luar Yatsrib. Khazraj bersekutu dengan Kabilah Asyja’ dan Juhainah. Sedangkan Aus menjalin koalisi dengan Kabilah Muzainah dan suku Yahudi Bani Nadhir dan Quraidzah. Setelah melakukan persiapan selama 40 hari, kedua kubu sepakat bertemu di padang Buats. Pasukan Khazraj dipimpin Amru bin Nu’man. Kabilah Aus dikepalai oleh Khudhair al-Kataib, ayah sahabat Usaid bin Khudhair.

Segala dendam, kebencian sekaligus amarah tumpah ruah dalam arena pertumpahan darah. Kedua kubu berperang mati-matian. Pada awalnya, kubu Aus kewalahan mengimbangi serangan Khazraj yang bertubi-tubi. Hampir saja mereka kalah, kocar-kacir dan melarikan diri.

Melihat pasukannya lari dari medan perang, Khudair Al Kataib langsung bersimpuh dan menombak kakinya sendiri. Dengan kesakitan dia berteriak, “Aku tidak akan lari meski aku terbunuh. Jika kalian ingin aku ditangkap, silahkan tinggalkan medan perang ini.”

Pasukan Aus tiba-tiba mendapat suntikan semangat. Mereka balik menyerang tanpa kenal takut. Keadaan pun berbalik, kubu Khazraj kewalahan menghalau serangan Aus. Bahkan Amru bin Nukman panglima perang Khazraj tewas terkena panah. Kematian Amru menandai kekalahan pasukan Khazraj. Mereka mengalah dan metetakkan senjata, namun pasukan Aus terus mengayunkan pedangnya tanpa kenal belas kasih. Tak puas membunuh, pasukan Aus membakar rumah dan ladang kabilah Khazraj. Aus menang besar.

Namun kenyataanya tidak ada yang mendapat keuntungan dari pertikaian itu. Kedua pihak justru menanggung kerugian. Banyak nyawa hilang, harta benda musnah dan hutang menumpuk untuk membiayai perang. Bencana itu akhirnya membuka mata kabilah Aus dan Khazraj. Jalan yang mereka tempuh selama ini salah. Oleh sebab itu, tetua suku Aus dan Khazraj mulai bertemu membahas rekonsiliasi.

Pada saat yang sama, warga Yatsrib mulai memeluk Islam dan meninggalkan kemusyrikan. Di bawah panji Islam inilah, persatuan hakiki antara Aus dan Khazraj benar-benar terwujud. Rasulullah berhasil mengubah musuh bebuyuyan menjadi saudara lewat proses panjang dan berliku. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *