Aqidah

Al-Quran dan Hadits: Dua Pedoman dalam Menyandarkan Agama Islam

 

Bangunan yang ditegakkan tanpa pondasi tentulah akan goyah dan roboh dengan mudahnya, begitu juga bangunan yang didirikan diatas pondasi yang tidak kuat dan tak sempurna, maka tinggal menunggu runtuhnya.

Agama Islam haruslah didirikan di atas pondasi yang kuat, agar tidak goyah diterpa badai dan tak runtuh dilanda gempa. Ia harus didasari dengan kitab Allah yaitu Al-Quran dan pentunjuk Rasul yang berupa sunah-sunnahnya. Yaitu dengan membenarkan Qur’an dan sunnah, melaksanakan perintah-perintahnya dan meninggalkan larangan-larang nya.

seorang muslim Tidak boleh mendirikan agamanya hanya dengan Al-Quran saja dan meninggalkan hadits, atau sebaliknya mendirikan agamanya hanya dengan hadits saja dan meninggalkan al-Qur’an. Tak boleh pula mendirikan agamanya dengan mengedepankan akalnya dan mengesampingkan al-Quran dan sunnah.

Baca Juga: Tauhid Rububiyyah Saja Tidak Cukup

Bila petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulillah yang dijadikan pedoman dalam mendasari agamanya, maka ia akan mendapatkan janji Allah, yaitu tidak akan tersesat dan tidak pula celaka. Allah subhanahu wata’ala berfiman:

“Lalu Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (QS. Thaha: 123)

Ibnu Katsir menukilkan perkataan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, yaitu barang siapa yang membaca Al-Quran, beramal dengannya maka ia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan sengsara di akhirat.

Mengamalkan Al-Quran harus disertai dengan sunnah (mengikuti petunjuk Rasul), karena Allah sendiri dalam Al-Quran berfirman:

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran: 31)

Maksud dari firman Allah, “Ikutilah Aku” adalah ikutilah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Dan kita bisa mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan cara meneliti khabar dan hadits yang benar-benar shahih datang dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Baik periwayatannya mutawatir maupun ahad. Dan Semua khabar shahih yang datang dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam meskipun ahad bisa dijadikan hujjah dan landasan dalam permasalahan aqidah dan ibadah.

Ada 6 kriteria dalam mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, apabila kita bisa mempraktekannya maka kita mendirikan agama kita diatas pondasi yang kuat.

Pertama, jenis. Misalnya dalam hewan qurban, jenisnya telah ditentukan seperti onta, sapi dan kambing. Bila seseorang berkurban dengan ayam, maka tidak diterima amalnya karena jenisnya tidak sesuai yang ditetapkan.

Kedua, dalam kadarnya. Yaitu sebagian ibadah ditentukan kadar dan ukurannya, misalnya shalat isya’ jumlah rakaatnya empat. Maka kalau ada yang shalat isya’ tiga rekaat atau lima rekaat dengan sengaja, tidak diterima bahkan berdosa.

Ketiga, tempat. Sebagian ibadah ditentukan tempatnya seperti ibadah haji, wuqufnya di arafah, mabitnya di muzdalifah. Kalau seseorang melakukan wuquf di ka’bah maka tidak diterima amalnya.

Keempat, waktu. Telah maklum bahwa ibadah puasa yang wajib adalah di bulan Ramadhan, waktunya harus dibulan Ramadhan. Bagi yang sengaja (tidak dalam keadaan menqadha) puasa wajib sebulan penuh di bulan muharram, maka puasanya tidak sah.

Kelima, kaifiyah atau tata caranya. Misalnya wudhu, apabila tidak sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasul maka wudhunya tidak sah, seperti memulai wudhu dari kaki, mengusap kepala, hingga yang terakhir mencuci ke dua tangan.

Dan yang terakhir, sebab. Kalau seorang muslim beribadah dengan sebab yang tidak dimasyru’kan, maka ini merupakan kebid’ahan. Seperti shalat tahajjud yang sebab pelaksanannya karena hari itu tanggal 1 muharram, atau hari itu adalah hari kelahirannya. Maka amalannya tertolak, dan pelakunya mendapatkan dosa.

Baca Juga: Syirik, Mengharap Syafaat Peroleh Laknat

Sungguh sengsaranya orang yang melaksanakan ibadah dengan mengikuti akal dan hawa nafsunya serta mengesampingkan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, sudah capek di dunia dengan persangkaan amal shalihnya, tapi di akhirat tidak mendapatkan pahala. Sebuah permisalan di dunia yang tidak kita inginkan, seorang perkerja di suatu perusahan yang sudah bekerja keras seharian selama sebulan penuh, tapi ketika tanggal satu, ketika ingin mengambil gajinya, ternyata di dianggap oleh perusahaan tidak melaksanakan kerjanya dengan benar dan tidak mendapatkan gaji yang selama sebulan kemarin di idam-idamkan.

Lalu bagaimana dengan akhirat kita, tentunya kita tidak ingin bila catatan amal kita di ahkirat kosong karena amalan yang kita kerjakan di dunia tidak dianggap Allah dan tidak diterima karena tidak mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Bila kita bisa mendirikan agama islam ini diatas Al Quran dan petunjuk Rasul, maka kita akan lulus dari ujian di dunia yang berupa syubhat, syahwat, kebid’ahan dan menuruti hawa nafsu kemudian bisa mendapatkan keberuntungan di akhirat dengan mendapat keridhaanNya serta terhindar dari kemarahan Allah, adzabNya dan terhindar dari nereka. Nasalullahal ‘afiyah

 

Oleh: Ust. Taufik Al-Hakim/Akidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *