Abawiyah

Andai Bukan Dia

Seringkali kita lupa, bahwa pernikahan adalah suatu perjanjian besar (mitsaqan ghalizha) bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dengan Allah di pihak lain.

Meski dimulakan dengan ijab qabul yang terkesan ringan dan sederhana, ia adalah sebuah pekerjaan berat bagi laki-laki dan wanita yang memilih pernikahan sebagai amanah dari Allah dan sebagai ibadah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Terutama bagi pihak laki-laki, karena pernikahan adalah pengambilan tanggung jawab kepemimpinan atas wanita dari keluarganya. Dan karena amanah, ia akan dimintakan tanggung jawab.

Meski sering hanya terdiri dari dua orang, pernikahan, hakikatnya adalah sebuah organisasi, di mana ke-qowwam-an suami mutlak diperlukan, loyalitas dan ketaatan istri diniscayakan. Sehingga pengaturan keluarga dengan baik sebagai sebuah organisasi yang sehat, jauh lebih penting daripada sekadar memiliki pendamping hidup yang molek dan menggairahkan, atau kecukupan materi dan kesempatan bersenang-senang. Karena misi suci keluarga islami sebagai agen perubahan yang meneruskan tradisi kekhalifahan manusia di muka bumi ini, harus dijalankan.

Sebagai pemimpin, suami bukan hanya menjalankan tugas meminta ketaatan dan pelayanan dari anggota keluarganya, namun juga menjalankan fungsi pengarahan, pengayoman, dan perlindungan kepada mereka agar kepemimpinannya efektif dan organisasinya berjalan sesuai dengan harapan. Dan salah satu kunci keberhasilan kepemimpinan adalah mengetahui tabiat dan potensi anggota organisasi agar maksimal dalam mengeksplorasi potensi dan meminimalkan kegagalan.

Misalnya kita harus tahu bahwa wanita bukan diciptakan dari logam yang bisa dilelehkan kemudian dicetak, atau batuan yang bisa dihancurkan berkeping-keping. Namun mereka adalah makhluk Allah dari tulang rusuk yang bengkok, dimana pelurusannya hanya akan mematahkannya, dan pembiarannya berarti melanggengkan kebengkokannya. Sehingga kita harus bijak dan sabar dalam menempatkan dan membimbing mereka sebagai istri, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Allah berfirman di dalam surat An-Nisaa ayat 19, “Dan pergaulilah mereka secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena bisa jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Ini adalah ayat yang memerintahkan para suami untuk tetap bergaul secara patut kepada para istri mereka, bahkan ketika mereka tidak menyukai para istri itu. Bukan saja sebagai bentuk pengakuan keterbatasan diri selaku manusia, di mana bisa jadi di dalam hal yang tidak disukai itu terdapat kebaikan yang banyak, namun juga sebagai bentuk kedewasaan bersikap. Bahwa di dalam ketidak sukaan kita, perlakuan secara patut kepada para istri, tetap wajib untuk kita jalankan.

Karena kepemimpinan adalah sebuah proses, yang bukan hanya membutuhkan kejelasan visi, konsistensi tindakan, dan kedewasaan sikap, namun juga kesabaran dalam menjalani berbagai tahapannya. Sehingga ketika kesulitan datang untuk menguji kesanggupan dan kemampuan kita dalam memimpin, jangan sampai kita cepat menyerah dan berputus asa, untuk kemudian berandai-andai, jika bukan dia yang menjadi istri kita. Selain terkesan tidak berkelas, kalimat ini bisa menjadi pintu pembuka datangnya godaan setan.

Sebab dalam konsep bercocok tanam, hasil penenan kita akan sebanding dengan jenis tanaman terpilih dan kesungguhan kita dalam merawatnya. Al-jazaa’ min jinsi al-‘amal, balasan itu sebanding dengan usahanya, demikian pepatah arab mengatakan. Jika kita memilih benih yang berkualitas, maka tinggal bagaimana kita merawatnya dengan baik agar memberikan panenan yang maksimal. Demikian juga jika kita lengah dan bermalas-malasan, maka jangan kaget jika panenan kita mengecewakan.

Maka, kalimat andai bukan dia yang menjadi istriku, bukan saja bukti ketidakmampuan kita menghadapi risiko pilihan, juga menunjukkan sikap kekanakan yang ingin lari dari masalah dan selalu menjadikan orang lain sebagai kambing hitam jika terjadi sebuah kegagalan. Egois karena tidak memikirkan perasaan pasangan kita, yang bisa jadi jauh lebih kecewa daripada kita.

Alih-alih menyalahkan diri sendiri, untuk kemudian berusaha semaksimal mungkin memperbaiki keadaan, kita ingin jalan pintas dengan langsung menggantikannya. Seolah-olah itulah satu-satunya solusi masalah. Padahal tidak mustahil jika hal itu justru mendatangkan berbagai madharat yang lebih besar.

Maka, marilah mencoba untuk berbesar hati menerima kenyataan. Bahwa istri yang kurang baik adalah pilihan kita sendiri, yang, insyaallah, kita mampu membimbingnya asalkan bersabar dan bersungguh-sungguh dengan ikhlas. Kini, ia adalah bukti kegagalan kita memimpin dan mendidiknya. Maka sekaranglah saatnya melakukan proses perbaikan dengan sekuat tenaga disertai sikap hati-hati dan senantiasa melakukan instropeksi diri. Juga untuk tidak lupa meminta pertolongan Allah agar semuanya menjadi mudah dan harapan yang kita inginkan bisa tercapai.

Sehingga, kalimat andai bukan dia yang menjadi istriku, maka semuanya akan menjadi lebih baik, adalah kalimat yang harus kita hindari. Inilah saatnya keqawwaman kita sebagai suami tampil dan dipertaruhkan. Bahwa kita memang telah mengambil amanah ini, dan siap bertanggung jawab atas semua kosekuensinya. Dan bahwa berfikir untuk berpisah dan mencari gantinya, seringkali bukanlah solusi bijak dan malah mendatangkan masalah yang lebih banyak.
Semoga Allah memudahkan semuanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *