Kajian

Cinta Nabi Tapi Meninggalkan Perintahnya?

Mengikuti Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dalam setiap peribadahan kepada Allah adalah tuntutan iman bahkan termasuk pokok keimanan. Siapa saja yang mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam pasti mengikutinya dan tidak menyelisihinya. Allah ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran: 31)

Dengan ittiba’ (mengikuti/meneladani) Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam maka akan membuahkan suatu kemulian dan keselamatan, yaitu Allah mencintai kita dan mengampuni dosa-dosa kita. Dan itulah sebenar-benar bukti bahwa kita cinta kepada Allah ta’ala.

Berapa banyak orang mengaku dan menyangka mengikuti dan cinta kepada Rasul namun ternyata tidak terbukti dalam amalan nyatanya. Berdalih dengan menghormati dan memuliakan Rasulullah, atau bahkan berdalih dengan cinta Rasul, namun mereka melakukan suatu amalan yang baru dengan menambah atau membuat hal yang benar-benar baru dalam agama yang tidak diperintahkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

 

Baca Juga: Demi Uang Logika Dibuang

 

Mereka mengatakan, “Beradab kepada Rasulullah lebih diutamakan dari pada memenuhi perintahnya.” Dalilnya adalah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Abu bakar tidak memenuhi perintah Rasul ketika diberi isyarat untuk tetap ditempatnya, tapi malah mundur menjadi makmum. Ini adalah mengutamakan adab dari pada perintah Rasul.

Turunan dari hal ini adalah menambahkan lafadz sayyid dalam adzan, iqomah dan shalawat dalam tasyahud. Padahal Rasulullah shallallahu’alihu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para sahabat lafadz adzan dan iqomah serta telah mengajarkan berbagai lafadz shalawat akan tetapi tidak terdapat satupun yang ada kata “sayyidina.” Maka kita mencukupkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’aliahi wasallam karena itu adalah adab dalam melaksanakan amalan sesuai dengan yang diajarkannya, bukan malah merasa kita lebih beradab karena menambah kata sayyidina sebelum nama Baginda Rasul, padahal ahlu bait dan para sahabatlah yang paling mengerti bagaimana cara beradab kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Kejadian Abu bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah hadir tidak hanya sekali, yaitu ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sakit di akhir hayat beliau, Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para sahabat, beliau bersabda:

“Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” (HR. al-Bukhari)

 

Baca Juga: Cinta-Mu, Cinta Pecinta-Mu, dan Cinta Amal Kebaikan

 

Dalam hadits yang kedua ini, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan dengan isyarat sebagaimana hadits yang pertama untuk tetap pada tempatnya sebagai imam, namun pada kejadian ke dua Abu Bakar tidak mudur dan tetap menjadi imam, apakah dikatakan pada kejadian kedua ini bahwa Abu Bakar tidak beradab?, tentunya tidak.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sedang safar dan ketika itu ingin buang hajat,  Amru bin Wahb Ats Tsaqafi berkata, “Kami pernah berada di sisi Al Mughirah bin Syu’bah, kami bertanya, “Apakah ada seorang dari umat ini yang pernah mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selain Abu Bakar Ash Shiddiq radliallahu ‘anhu?” Al Mughirah menjawab, “Ya. Kami pernah berada dalam suatu perjalanan ini dan itu. Pada waktu sahur tiba-tiba beliau menepuk-nepuk leher hewan tungganganku dan pergi, maka saya mengikuti beliau dan akhirnya beliau bersembunyi dari pandanganku beberapa saat. Setelah itu beliau datang seraya bertanya: “Apakah kamu hendak buang hajat?” saya menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah kamu membawa air?” saya menjawab, “Ya.” Saya pun menuangkan untuknya, kemudian beliau mencuci kedua tangan dan wajahnya. Setelah itu beliau menyingkap tangannya yang tertutup oleh Jubbah yang kedua lengannya sempit. Karena sempit maka beliau memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya dari bawah jubah. Setelah itu, beliau kembali mencuci wajah, kedua siku, membasuh ubun-ubun, membasuh imamah (sejenis penutup kepala) dan kedua sepatunya.

 

Baca Juga: Suka Sesama Jenis Bawaan Atau Penyimpangan?

 

Dan saat kembali kami mendapati para sahabat telah melaksanakan shalat satu rakaat, sementara Abdurrahman bin Auf yang menjadi imamnya. Aku lantas berjanjak untuk mengingatkannya, namun beliau melarangku. Maka kami pun shalat pada rakaat yang kami dapati dan mengqadla rakaat yang tertinggal.” (HR. Ahmad)

Tentunya bila adab didahulukan sahabat al Mughirah tetap akan mengingatkan kepada sahabat Abdurrahman bin Auf untuk mundur, namun para sahabat memahami bahwa memenuhi perintah Rasulullah adalah adab.

Bila diteliti lebih detail, maka kejadian pertama Abu Bakar mengimami belum sampai mendapatkan satu rakaat, baru istiftah dan Rasul datang, sehingga Abu Bakar mundur dan Rasulullah maju mengimami, adapun bila sudah mendapatkan satu rakaat, maka tidak mungkin imam pertama mundur untuk digantikan imam tetap yang terlambat. Wallahua’lam bis shawab (Taufik el-Hakim/arrisalah/Kasyfu Syubhat)

 

Tema Terkait: Cinta Nabi, Bid’ah, Syubhat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *