Fikih Nazilah

Denda Kecelakaan Yang Mengakibatkan Kematian

Hampir setiap hari media memberitakan adanya korban kecelakaan, ringan maupun berat. Di era transportasi mesin seperti sekarang, kita wajib berhati-hati saat mengendarai kendaraan. Pasalnya, apabila kita berlaku sembrono dan terjadi kecelakaan, kita akan dikenai sanksi dari dua pihak; hukum positif dan hukum Islam.

Sanksi dari hukum positif barangkali masih bisa diakali. Beberapa oknum bisa menyuap atau meminta bantuan orang berpangkat tinggi untuk membantu menyelesaikan kasusnya. Akan tetapi tidak demikian dengan hukum Islam. Islam menetapkan aturan-aturan khusus seputar hukum merusak barang milik orang lain, melukai orang lain, hingga jatuhnya korban jiwa. Hukum ini memang tidak memiliki kekuatan “memaksa” jika berada di negara yang tidak memberlakukan hukum Islam.

Seseorang bisa saja mengabaikan hukum ini dan tidak ada pihak yang menuntut. Misalnya, seseorang ngebut, menabrak seseorang hingga tewas, berdamai dengan keluarga korban dan akhirnya kasus selesai dengan penabrak membayar beberapa juta kepada keluarga korban. Setelah itu dia pun bebas. Secara hukum positif barangkali tuntutan memang sudah hilang. Namun, secara Islam, sebenarnya ada sanksi yang harus dikenakan. Berhubung institusi Islam tidak ada, hukuman ini hanya menjadi beban pribadi dan akan tetap dituntut di hari Kiamat nanti jika tidak dilaksanakan.  Yaitu hukum “dhiman” atau mengganti kerusakan, kewajiban mengganti biaya perawatan dan diyat jika jatuh korban jiwa.

Dalam hukum Islam, kecelakan, apalagi sampai jatuh korban, masuk dalam kategori jinayah atau tindak kriminal. Sebab, sebuah kecelakaan, apapun bentuknya, sangat mungkin terjadi karena keteledoran pelaku, bukan murni ketidaksengajaan. Oleh karenanya, sebuah kecelakaan harus dianalisis detail kronologi dan aspek-aspek penyebabnya. Jika terbukti benar-benar merupakan kesalahan korban, barulah sanksi ditiadakan.

  • Kecelakaan yang mengakibtakn korban dalam islam dikategorikan sebagai pembunuhan namun disebut sebagai pembunuhan tidak disengaja. Pembunuhan jenis ini memiliki konsekuensi berupa:Pelaku wajib membayar diyat kepada keluarga korban. Dalam kasus pembunuhan disengaja, kewajiban membayar denda dibebankan kepada Kewajiban membayar denda ini asalanya adalah kewajiban pelaku sendiridibebankan kepada keluarga pelaku. Artinya, keluarga pelaku wajib membantu pelaku untuk melakukan pembayaran. Yangdimaksud keluarga adalah ahli waris pelaku yang mewarisi secara ashobah. Pembayaran bisa dilakukan dalam tempo tiga tahun.

Adapun besaran denda adalah 100 ekor anak unta dengan ketentuan umur berbeda. jika dikurskan dengan dinar nilainya sama dengan 1000 dinar. Sebagaimana atsar shaih dari Umar bin al Khattab yang menentukan kurs diyat di masanya :

أَلاَ إِنَّ اْلإِبِلَ ٌَدْ غَلَتْ قَالَ فَفَرَ ضَهَا عُمَرُعَلَى أَهْلِ الدَّهَبٍ أَلْفَ دِيْنَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَعَلَى أَهْلِ الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ

Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik kambing 2000 kambing. [HR Abu Dâwud no. 4542 dan dihasankan al-Albâni dalam kitab al-Irwâ’ no. 2247].

Jika dirupiahkan, 1000 dinar = 1000 x 4.25 gr emas x 558 ribu (harga september 2015) = 2.371.500.000.

jika korbannya adalah wanita, denda yang diberlakukan adalah separuh dari denda korban laki-laki.

Ini besaran denda maksimal. Adapaun jika pihak keluarga korban mengurangi berdasarkan kesepakatan bersama, maka jumlah ini bisa dikurangi bahkan bisa dinolkan.

  • Membayar kafarah. Kafaraha dalah sanksi individu yang tidak ada kaitannya dengan denda. Sanksi ini berupa:
    1. Membebaskan budak.
    2. Atau jika tidak ada/ tidak memiliki adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Tidak boleh putus kecuali karena alasan yang benar-benar syar’i. puasa ini berlaku untuk satu orang korban. Jika korbannya dua orang maka puasanya menjadi 4 bulan berturut-turut.
  • Membayar ganti rugi kerusakan; kendaraan, rumah yang ditabrak dan lain-lain kepada pemiliknya.

 

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin menjelaskan dengan detail hukum-hukum mengenai kecelakaan. Dari penjelasan Beliau yang termuat dalam fatwa beliau berjudul ahkamuhawaditsi as sayyarat dapat disimpulkan beberapa hal:

Pertama: kecelakaan dikategorikan sebagai pembunuhan tidak sengaja jika kecelakan terjadi karena kesalahan pelaku. Misalnya:

  1. Pengemudi yang tidak cakap dan belum layak mengemudi. Misalnya: belum cukup umur, sudah terlalu tua, tidak sehat akal (mabuk misalnya) atau belum cakap mengemudi kendaraan tapi sudah mengemudi di jalan raya.
  2. Human fault atau kesalahan manusia. Misalnya; teledor (mengemudi sambil bermain handphone), melanggar lalulintas, overload muatan, dan berbagai perilaku yang rentan menyebabkan kecelakaan seperti kebut-kebutan saat jalanan ramai, melakukan manuver berbahaya seperti jumping dengan sepeda motor di jalan umum dan lain-lain.
  3. Untuk kecelakan jenis ini, korban yang harus ditanggung oleh pelaku (dalam hal ini pengemudi) adalah semua korban termasuk korban yang membonceng pelaku atau satu mobil dengan pelaku.

BACA JUGA : Batasan Aurat Muslimah di depan Wanita Kafir

Kecelakaan dikategorikan bebas dari kategori pembunuhan tidak disengaja dan pelaku tidak dibebani apapun dari sanksi-sanksi di atas adalah jika:

  1. Kecelakaan terjadi murni kesalahan korban. Misalnya, seorang pengemudi yang sudah cakap mengendarai kendaraan, melaju dengan kecepatan normal (sesuai aturan), tidak melanggar lalulintas, tidak mabuk dan tidak melakukan manuver berbahaya. Tiba-tiba mendadak ada pejalan kaki yang menyebarang tanpa memperhatikan jalan dan tertabrak.
  2. Kecelakan murni karena faktor eksternal seperti jalan rusak, jembatan putus, tanah longsor, pohon tumbang dan sebagainya. Pengemudi telah berusaha menghindari namun kecelakaan tak ayal tetap terjadi. Atau karena faktor pengendara lain. Misalnya, seorang pengemudi mengemudi dengan benar. Tiba-tiba ada pengendara lain yang nyelonong atau menyerempet hingga menyebabkan kendaraannya menabrak seseorang. Kasus semacam ini tidak dikategorikan sebagai pembunuhan tidak disengaja dan pengemudi bebas dari beban syariat.

Oleh karenanya, hendaknya kita berhati-hati saat mengemudikan kendaraan. Syaikh Utsaimin juga mewasiyatkan agar pengemudi selalu taat pada peraturan lalulintas, jangan teledor, cek kondisi kendaraan sebelum bepergian, dan pastikan selalu berdoa sebelum pergi. Wallahua’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *