Imtihan Syafi'iKolom

Haji dan Jihad sampai Kiamat

وَالْحَجُّ وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي اْلأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ لاَ يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلاَ يَنْقُضُهُمَا

(83) Haji dan jihad dilaksanakan bersama pemimpin kaum muslimin, baik yang shalih maupun yang fajir, sampai hari Kiamat. Tidak ada sesuatu pun yang membatalkan atau menggugurkan keduanya.

Seperti matan sebelumnya, matan ke-83 ini membahas perkara fikih yang menjadi ciri khas Ahlussunnah wal Jamaah. Perkara itu adalah haji dan jihad. Menurut Ahlussunnah, keduanya wajib dilaksanakan di bawah kepemimpinan seorang muslim, baik ia orang yang shalih dan adil maupun seorang yang fajir dan zhalim. Jika yang memimpin adalah imam yang yang fajir (durhaka), kewajiban keduanya diingkari oleh firqah Syi’ah Rafidhah dan Khawarij.

Dalih Rafidhah-Khawarij

Pengingkaran Rafidhah dan Khawarij ini bermula dari akidah mereka tentang imamah. Kepemimpinan.

Rafidhah meyakini, haji dan jihad tidak sah kecuali diimami oleh imam mereka yang sah. Imam yang sah itu―imam ke-12―sekarang sedang “digaibkan” setelah masuk ke dalam gua Samarra` saat berumur 5 tahun bersama ibunya. Gua itu terletak di daerah Ray, Iran. Muhammad bin Hasan al-’Askariy nama imam yang mereka klaim sampai sekarang masih hidup dan akan keluar menjelang akhir zaman. Meskipun sudah ribuan tahun, sampai hari ini orang-orang Rafidhah masih menunggu kedatangan imam mereka ini. Setiap menjelang Maghrib mereka berkerumun di depan gua dan memanggil-manggil nama sang imam.

Berbeda dengan Rafidhah yang mengingkari haji dan jihad secara umum, Khawarij hanya menolak haji dan jihad apabila imam yang memimpin adalah imam fajir. Menurut mereka, seorang yang fajir―pelaku dosa besar―telah kafir, sehingga tidak berhak memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Oleh sebab itu, haji dan jihad pun tidak sah dilakukan di bawah kepemimpinannya. Menurut mereka, pelaksanaan haji dan jihad harus di bawah kepemimpinan seorang yang adil dan shalih.

Dalil Ahlussunnah

Rafidhah dan Khawarij menyelisihi akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam menetapkan akidah berlakunya syariat haji dan jihad sampai akhir zaman di bawah kepemimpinan imam, baik yang shalih maupun yang fajir, Ahlussunnah berpedoman kepada banyak dalil dan atsar Salaf. Di antaranya:

Firman Alloh, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin di antara kalian!” (QS. An-Nisa`: 59)

Pada ayat di atas, Alloh memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati pemimpin di antara mereka secara umum, baik yang shalih maupun yang fajir. Rasulullah n menegaskan dengan bersab-da, “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak berpegang kepada petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Dan akan ada di antara para penguasa itu orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah bertanya, “Apa yang harus saya perbuat jika mendapatinya?” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu mendengar dan taat, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengar dan taatlah!” (HR. Muslim)

Ketaatan kepada penguasa yang fajir tidaklah mutlak. Ia adalah ketaatan dalam perkara yang makruf/kebaikan saja. Rasulullah n bersabda, “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa muslim) pada apa-apa yang ia sukai dan ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” (HR. Al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Imam al-Bukhari menulis satu bab khusus dalam al-Jami’ush Shahih dengan judul: Jihad tetap berlangsung bersama pemimpin yang baik maupun yang jahat. Kemudian, beliau menyitir hadits ‘Urwah al Bariqiy a. bahwa Rasulullah n bersabda, “Di ubun-ubun kuda itu senantiasa terikat kebaikan sampai hari Kiamat, yaitu pahala dan ghanimah”

Mensyarah hadits di atas, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani menulis, “Ini tidak dibatasi hanya pada pemimpin yang baik saja. Hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal mendapatkan keutamaan tersebut antara peperangan bersama penguasa yang adil atau bersama penguasa yang jahil”

Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab beliau, Ushulus Sunnah menulis, “Perang di bawah kepemimpinan para amir terus berlangsung hingga hari Kiamat, terlepas apakah dia seorang penguasa yang baik atau yang jahat.”

Ali Ibnu al-Madini berkata, “Perang di bawah kepemimpinan para amir terus berlangsung hingga hari Kiamat, baik dia seorang penguasa yang baik ataupun jahat.”

Imam ash-Shabuni dalam kitab beliau, ‘Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits menulis, “Ashhabul hadits berpandangan disyariatkannya shalat Jumat, shalat ‘Id dan shalat-shalat yang lainnya bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau pun yang fajir. Mereka juga berpandangan disyariatkannya jihad melawan orang-orang kafir bersama penguasa walaupun mereka adalah orang-orang yang kejam dan jahat.”

Imam al-Barbahari dalam  Syarhus Sunnah menulis, “Haji dan perang di bawah kepemimpinan amir (kaum muslimin) akan tetap terus berlangsung.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam ‘Aqidah Wasithiyyah menulis, “(Ahlus Sunnah wal Jama’ah) meyakini (disyari’atkannya) pelaksanaan ibadah haji, jihad dan shalat Jumat bersama para penguasa yang baik dan yang jahat.”

Ibnu Qudamah menyatakan, “Perkara jihad diserahkan kepada imam dan ijtihadnya. Wajib  atas seluruh rakyat untuk mentaati kebijakan-kebijakan yang ditentukannya.”

Pada tataran praktik, sejarah mencatat para sahabat telah dan tetap melaksanakan haji dan jihad di bawah kepemimpinan raja-raja Bani Umayah. Padahal, tak ada yang meragukan kezhaliman yang dilakukan oleh para raja dan penguasa dari kalangan Bani Umayah.

Adalah Ibnu ‘Umar h yang melaksanakan haji di bawah kepemimpinan Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Pada hari ‘Arafah selepas matahari tergelincir, Ibnu ‘Umar memberi isyarat kepada Hajjaj untuk mengimami shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara jamak-qashar.  Hajjaj pun maju dan Ibnu ‘Umar menjadi makmum. Bersama Ibnu ‘Umar ada banyak sahabat dan tokoh-tokoh tabi’in.

Rela tapi tak rela

Akidah Ahlussunnah bahwa pemimpin―sekalipun–fajir harus ditaati bukan berarti Ahlussunnah rela dengan kefajiran dan kemungkaran yang dilakukannya. Kemungkaran tetaplah kemungkaran. Hanya, selama kemungkaran itu belum mencapai derajat kekafiran yang nyata, seorang pemimpin tidak kehilangan haknya untuk ditaati pada perkara-perkara yang makruf.

‘Ubadah bin Shamit a menyatakan, “Rasulullah n telah mengajak kami dan kami membaiat beliau. Di antara isi baiat kami, hendaklah kami senantiasa patuh dan taat (kepada pemimpin), baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan kami mendahulukannya atas kepentingan kami. Kami juga tidak boleh menentang orang yang telah terpilih dalam urusan kepemimpinan ini. Rasulullah n bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti dari Allah di dalamnya.’.”  (HR. al-Bukhari)

Kemungkaran yang dilakukan oleh pemimpin lebih berat daripada kemungkaran yang dilakukan oleh orang lain. Setidaknya kemungkaran pemimpin membawa dua dampak buruk. Karena melihatnya, orang-orang akan menirunya dan menganggap kemungkaran itu sebagai sesuatu yang sepele. Karena ia seorang pemimpin, kemungkinan ia akan meninggalkan dan bertaubat darinya jadi kecil. Orang yang hendak mengingkari atau menegurnya berpikir lebih dari sekali sebelumnya.

Sampai Kiamat

Yang dimaksud dengan haji dan jihad akan dilaksanakan sampai hari Kiamat pada matan di atas bukanlah sampai benar-benar ditiupnya sangkakala saat Kiamat terjadi. Tetapi, hanya sampai ketika sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman dengan selemah-lemah iman. Sampai datangnya suatu masa bumi hanya berisikan orang-orang kafir seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah n. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *