Dr. Ahmad Zain

Hukum Makanan Ta’ziyah

Ta’ziyah secara bahasa, sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam al-Majmu (V/304), berasal dari al- Azza’ yaitu sabar terhadap hal-hal yang tidak disenangi. Adapun Ta’ziyah secara istilah sebagaimana dalam al-Fiqh al-Muyassar (119) adalah menghibur orang yang tertimpa musibah serta menguatkan hatinya agar bisa menerima musibah tersebut.

Termasuk dalam bentuk ta’ziyah adalah membuatkan makanan untuk keluarga yang terkena musibah. Ini sangat dianjurkan untuk menghibur mereka sesuai dengan sabda Rasulullah:

اصنعوا لآل جعفر طعاماً فقد أتاهم أمر يشغلهم -أو أتاهم ما يشغلهم-

“Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang tertimpa (musibah) yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud (3116), Tirmidzi (1003), Ibnu Majah (1610), hadist ini dihasankan oleh Syekh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah (1316)).

Arti hadist di atas, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Mubarkufuri di dalam Tuhfah al-Ahwadzi (IV/66-67):
“Maksudnya musibah (kesedihan) telah menghalangi mereka dari menyiapkan makanan untuk mereka sendiri, sehingga mereka gelisah dan hal itu membahayakan mereka, sedangkan mereka tidak merasakannya. Berkata ath-Thiibi, ‘Hadist di atas menunjukkan bahwa dianjurkan para kerabat dan tetangga untuk menyiapkan makanan bagi keluarga mayit’.”

Adapun orang lain datang ke rumah tersebut untuk ta’ziyah kemudian disuguhkan makanan atau minuman, maka diperinci terlebih dahulu:
Pertama: Jika dia bukan tamu maka sebaiknya tidak makan di tempat tersebut. Dalilnya adalah hadist Jarir al-Bajali radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata:

كنا نعدُّ الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة

“Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuatkan makanan ( yang dilakukan oleh keluarga mayit ) setelah penguburan termasuk dalam katagori meratapi mayit (yang dilarang).” (HR. Ibnu Majah (1612), hadist ini dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah (1318)).

Adapun yang dimaksud makanan pada hadist di atas adalah makanan besar. Adapun air minum atau sejenisnya untuk sekadar menghilangkan rasa haus, atau kebiasaan ahlul bait kepada tamunya maka dibolehkan.
Syekh Ahmad bin Muhamad al-Khalil ketika ditanya makanan apa yang boleh disediakan untuk orang yang ta’ziyah?
Beliau menjawab: kurma, kopi, dan air tanpa ada tambahan.
Hal ini dikuatkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa juz 13, beliau berkata: “Jika seorang muslim datang dan berta’ziyah kepada keluarga mayit, maka hal itu dianjurkan, karena itu akan menghibur mereka. Dan jika dia minum segelas kopi atau teh, atau berwangian di rumah tersebut, maka tidaklah mengapa sebagaimana kebiasan masyarakat menyambut orang yang mengunjungi mereka.”
Ketika beliau ditanya tentang hukum keluarga mayit yang menerima tamu-tamu yang ingin berta’ziyah di rumahnya, beliau menjawab:

لا أعلم بأسا في حق من نزلت به مصيبة بموت قريبه ، أو زوجته ، ونحو ذلك أن يستقبل المعزين في بيته في الوقت المناسب ؛ لأن التعزية سنة ، واستقبال المعزين مما يعينهم على أداء السنة . وإذا أكرمهم بالقهوة ، أو الشاي ، أو الطيب ، فكل ذلك حسن .

“Tidak mengapa bagi yang tertimpa musibah dengan kematian saudara, atau istrinya atau yang lainnya, untuk menerima tamu-tamu yang berta’ziyah ke rumahnya pada waktu tertentu, karena ta’ziyah adalah sunnah sedangkan menerima mereka termasuk hal-hal yang membantu terlaksananya sunnah. Jika dia menyediakan untuk mereka kopi, atau teh, atau wangi-wangian, maka hal itu merupakan sesuatu yang baik.” (Majalah Dakwah edisi: 1513,25/5/1426).
Begitu juga yang dimaksud makanan yang dilarang dalam hadist di atas adalah makanan yang sengaja dibuat oleh keluarga mayit dari harta mereka. Adapun makanan yang biasa dimasak oleh keluarga mayit tanpa bersusah payah dan bukan karena musibah yang menimpa mereka, atau makanan yang dimasak oleh kerabat atau tetangganya maka boleh untuk dimakan.
Disebutkan di dalam Fatwa Daulat Qatar :

المراد الطعام الذي يصنع ويتكلف فيه لأجل هذه المناسبة، أما إذا عمل أهل الميت طعامهم العادي أو جاءهم طعام من أقاربهم أو جيرانهم فلا بأس بالأكل من هذا كله.

“Yang dimaksud makanan (yang dilarang dalam hadist di atas) adalah makanan yang dibuat dengan susah payah demi musibah tersebut. Adapun jika keluarga mayit membuatnya seperti hari-hari biasa (bukan karena musibah), atau makanan tersebut dibawa oleh kerabat atau tetangga mereka, maka tidak mengapa dia makan darinya.”
Tetapi, jika ada seseorang membuatkan makanan untuk keluarga mayit yang nantinya akan diberikan kepada orang-orang yang datang dengan mengambil upah dari mereka, ini termasuk dalam katagori yang dilarang, karena membebani keluarga mayit.

Kedua: Jika dia tamu dari jauh, datang untuk berta’ziyah kemudian disediakan minuman atau makanan karena tamu, bukan karena ta’ziyah, maka dibolehkan. Begitu juga kerabatnya yang ikut datang ke rumah tersebut, khususnya yang dari jauh, maka dibolehkan makan di rumah tersebut.
Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 2/413 ):

وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه

“Jika hal itu diperlukan maka dibolehkan (makan di rumah keluarga mayit), karena barangkali yang datang untuk menjenguk mayit mereka (berta’ziyah) yang berasal dari kota atau tempat yang jauh dan menginap di tempat tersebut, maka tidak mungkin kecuali menyediakan makanan untuk mereka.”
Hal ini dikuatkan oleh Markaz al-Fatwa Daulat Qatar dalam islamweb.net, “Sudah sepakat empat madzhab yang mu’tabar bahwa berkumpul untuk makan di rumah orang yang meninggal dunia adalah hal yang makruh bertentangan dengan sunnah, kecuali para tamu, maka boleh dihidangkan kepada mereka makanan.”
Dalam fatwa yang lain disebutkan:

ما الأكل من الطعام بعد صنعه فالظاهر أنه لا بأس به لأنه لا يمكن إلغاؤه، ولاسيما إذا كان الأكل من أهل الميت.

“Adapun makan makanan setelah dibuat, maka kelihatannya hal itu tidak mengapa, karena tidak mungkin dibuang (dibatalkan), apalagi yang makan adalah dari kerabat si mayit.” Wallahu A’lam.
Jatiwarna, 16 Syawal 1434/23 Agustus 2013

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *