Dr. Ahmad Zain

Hukum Zakat Produktif

Muqaddimah

Pada akhir-akhir ini muncul ide optimalisasi penggunaan dana zakat oleh lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam bidang zakat. Mereka menginvesatasikan dana-dana zakat yang terkumpul dalam proyek-proyek bisnis baik yang berskala besar maupun kecil, kemudian labanya diberikan kepada fakir miskin. Mereka menyebutnya dengan zakat produktif.
Bagaimana pandangan ahli fikih kontemporer tentang zakat produktif tersebut ? tulisan di bawah ini menjelaskannya :
Hukum Zakat Produktif
Para ulama berbeda pendapat di dalam memandang zakat produktif :
Pendapat Pertama : mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya boleh.
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Zakat Produktif mengandung maslahat besar yang akan kembali kepada para fakir dan miskin. Begitu juga kepada para pembayar zakat, karena uang yang mereka bayarkan tetap utuh sedang labanya akan terus mengalir kepada fakir dan miskin. Mereka membayar zakat dengan jumlah tertentu yang terbatas dan dalam waktu terbatas, tetapi walaupun begitu manfaatnya terus mengalir tanpa mengurangi harta tersebut, dengan demikian pahala mereka terus mengalir seiring dengan mengalirnya manfaatnya.
Kedua : Mengqiyaskan kepada perintah untuk menginvestasikan harta anak yatim.
Ketiga : Hadist-hadist yang menunjukkan bahwa nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam mengumpulkan unta sedekah dan digemukkan. Ini menunjukkan kebolehan menginvestasikan harta zakat.

Pendapat Kedua : mengatakan bahwa zakat produktif hukumnya tidak boleh secara mutlak. Ini adalah pendapat Majma’ al-Fiqh al-Islamy Rabithah al-Alam al-Islamy, pada pertemuannya yang ke-15, di Mekkah pada tanggal 11 Rajab1419 / 31 Oktober 1998.
Dalil-dalil mereka :
Pertama : Firman Allah :

وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ

” Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) di hari memetiknya”. (Qs. Al-An’am : 141).
Ayat di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibayarkan ketika panen. Ini menunjukkan larangan untuk mengundurkan pembayaran zakat kepada yang berhak, walaupun dengan alasan diinvestasikan.
Kedua : Perintah untuk membayarkan zakat sifatnya segera tidak boleh diundur. Ini berdasarkan kaidah ushul fiqh yang berbunyi :

الأصل في الأمر على الفور

“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan bahwa pelaksanaannya harus segera. “
Ketiga : Hadist ‘Uqbah bin al-Harist radhiyallahu ‘anhu berkata :

صلى النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العصر فلما سلم أسرع يعني خرج من المسجد مسرعا ثم دخل البيت ثم لم يلبث أن خرج فقيل له، فقال: كنت قد خلفت في البيت تبرا -يعني ذهبا- من الصدقة، فكرهت أن أبيت ولم أقسمه، فقسمه عليه الصلاة والسلام

…………………………….
Hadist di atas menunjukkan bahwa zakat harus segera dibagikan kepada yang berhak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tergesa-gesa pulang ke rumah untuk membagikan harta kepada yang berhak, padahal beliau baru saja selesai sholat. Seandainya pembayaran zakat boleh diundur-undur, tentunya tidak tergesa-gesa seperti itu untuk membagikan zakat.
Keempat : Uang zakat sebenarnya milik delapan golongan yang disebut Allah di dalam al-Qur’an, oleh karena itu jika ingin diinvesatasikan, maka dikembalikan kepada mereka, bukan kepada lembaga-lembaga zakat.
Kelima : Di dalam investasi uang zakat terdapat ketidakjelasan pada hasilnya, bisa untung atau rugi. Jika mendapat kerugian, maka akan merugikan para fakir miskin dan golongan lain yang berhak mendapatkan zakat, sehingga hak mereka menjadi hilang.
Pendapat Ketiga : Zakat Produktif dibolehkan setelah kebutuhan pokok para fakir miskin dan golongan lain terpenuhi terlebih dahulu, kemudian sisanya bisa dinvestasikan di dalam proyek-proyek yang menguntungkan dengan hasil yang bisa segera bisa dinikmati golongan yang berhak mendapatkan zakat.
Pendapat ini menggabungkan dua pendapat di atas. Satu sisi tidak merugikan fakir miskin karena mereka tetap mendapatkan hak-hak mereka sesegera mungkin untuk menutupi kebutuhan pokok mereka. Di sisi lain, sisa harta tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek yang menguntungkan,sehingga manfaatnya kembali kepada mereka juga.
Pada keputusan Majma al-Fiqh al-Islamy OKI, pada pertemuannya yang ketiga di Amman Kerajaan Jordan, yang diselenggarakan pada tanggal 8-13 shofar 1407 H / 11-16 Oktober 1986 M, No 15 ( 3/3 ) menyebutkan :

” يجوز من حيث المبدأ توظيف أموال الزكاة في مشاريع استثمارية تنتهي بتمليك أصحاب الاستحقاق للزكاة ، أو تكون تابعة للجهة الشرعية المسؤولة عن جمع الزكاة وتوزيعها ، على أن تكون بعد تلبية الحاجة الماسة الفورية للمستحقين وتوافر الضمانات الكافية للبعد عن الخسارة”

“Secara prinsip dibolehkan menginvestasikan uang zakat di dalam proyek-proyek investasi yang berakhir kepada kepemilikan pada orang-orang yang berhak mendapatkan zakat, atau proyek-proyek ini di bawah lembaga resmi yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan zakat dan pembagiannya. Ini disyaratkan harus terpenuhi terlebih dahulu kebutuhan yang mendesak dan segera bagi golongan yang berhak mendapatkan zakat, begitu juga harus ada jaminan yang cukup agar proyek-proyek tersebut tidak mendapatkan kerugian. “
Keputusan tersebut dikuatkan pada an-Nadwah ats-Tsalitsah li Qadhaya az-Zakat al-Mu’ashirah di Kuwait pada tahun 1992 M.

Kesimpulan
Setelah menyebutkan perbedaan ulama di atas tentang hukum zakat profesi berikut dalil-dalil masing-masing dari setiap kelompok, maka pendapat yang dipandang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman adalah pendapat ketiga yang menggabungkan antara dua pendapat sebelumnya, khususnya di masa sekarang yang sering kita dapatkan pembagian zakat yang tidak efektif, boros, dan tidak tepat sasaran serta tidak bisa mencapai tujuan zakat itu sendiri yaitu mengentas kemiskinan.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah memberikan contoh sebagaimana dalam hadist Anas bin Malik yang diriwayatkan Tirmidzi bahwa ketika ada seorang Anshor yang meminta-minta beliau tidak langsung memberikan kepadanya uang tunai, tetapi mengajarkan kepadanya bagaimana berusaha dan bekerja, sehingga dalam waktu singkat orang tersebut menjadi mandiri dan tidak meminta-minta lagi.
Dengan adanya zakat produktif ini diharapkan lebih bisa membantu para fakir miskin sehingga mereka akan mendapatkan bantuan dari zakat produktif secara terus menerus, sesuatu yang susah diterapkan pada pembagian zakat secara konvensional. Wallahu A’lam.
Pondok Gede, 17 Sya’ban 1434/26 Juni 2013 M – Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *