Abu Umar AbdillahUswah

Indahnya Adzan di Mata Generasi Pilihan

Adzan adalah syiar yang agung, tiada yang membencinya selain setan dan orang-orang rendahan yang mengikuti jejak setan yang anti terhadap adzan. Allah menyebut kurang akal siapapun yang memperolok adzan, sebagaimana firman-Nya.

“Dan apabila kalian menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) salat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” (QS: al-Maidah 58)

Dan beberapa waktu ini makin banyak orang yang berani meremehkan adzan; tidak menyambutnya, ada yang mengaku muslim tapi merasa terusik dengan mendengarnya bahkan ada yang secara ugal-ugalan memperolok-oloknya.

Adapun orang-orang shalih di kalangan generasi terbaik sangat mengistimewakan panggilan adzan. Karena mereka memahami maknanya dan menghayatinya, hingga sangat tampak sekali respek mereka terhadap adzan.

Di zaman sahabat misalnya, Ibnu Katsier rahimahullah dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa suatu kali sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu melihat apa yang dilakukan oleh orang-orang sewaktu di pasar. Di mana tatkala adzan untuk shalat dikumandangkan, serta merta mereka tinggalkan perniagaan mereka, dan mereka berbondong-bondong mendatangi undangan shalat. Melihat pemandangan ini, Abdullah bin Mas’ud bergumam, “Mereka inilah yang dimaksud oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat.Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. an-Nuur: 37).

Abu Hurairah radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki buta datang dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahua’alaihi Wasallam, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid (untuk shalat berjama’ah).” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk diijinkan shalat di rumah. Maka (di awalnya) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkannya, kemudian ketika orang itu akan pulang, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengar seruan adzan untuk shalat (berjama’ah)?”. Orang itu menjawab: Iya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalau begitu datanglah ke masjid.” (HR. Muslim)

Demikian pula para Shahabat lainnya radhiallahu’anhum, memberikan teladan yang sempurna dalam masalah ini, seperti ucapan ‘Adi bin Hatim ath-Tha’i radhiallahu’anhu: “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.(Siyaru a’lam)

Kemudian generasi tabi’in yang datang setelah para Shahabat Shallallahua’alaihi Wasallam, mereka juga menampilkan sebaik-baik teladan dalam menyambut seruan adzan. Bagi mereka, adzan adalah panggilan mulia yang mengetuk hati dan menggugah nurani. Ada kebahagiaan tersendiri bagi orang yang beriman ketika dimudahkan untuk menyahut dan menyambut panggilan adzan.

Seperti yang dialami oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah yang sering menangis haru di masjid ketika mendengar adzan hingga lantai di hadapannya basah oleh air matanya. Betapa tidak, hakikatnya adzan adalah ‘undangan’ dari Sang Pencipta, Maha Pemberi Karunia. Adapun muadzin hanyalah penyampai ‘undangan’ dan bukan Pemilik undangan. Bukankah suatu kehormatan ketika seseorang bisa hadir mendatangi undangan dari Yang Mahamulia? Undangan yang jauh lebih bergengsi dari undangan resepsi para pejabat maupun raja.

[bs-quote quote=”‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidaklah dikumandangkan shalat sejak aku masuk Islam, kecuali aku dalam keadaan sudah berwudhu”.” style=”default” align=”left” color=”#1e73be”][/bs-quote]

Sa’id bin Musayyib rahimahullah, imam ternama dari generasi tabi’in sangat menghargai undangan ini, memprioritaskannya dari sekian banyak undangan, hingga beliau hadir lebih awal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hibban rahimahullah daam ats-Tsiqaat, “Beliau termasuk pemuka para tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan. Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab telah berada di masjid menanti shalat berjama’ah.”

Hilal bin Isaf bercerita saat dia bersama Mundzir Ats-Tsauri menjenguk Rabi’ bin Khutsaim radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, “Setelah lama berbincang-bincang, terdengar lantunan adzan Dzuhur. Bersamaan dengan itu puteranya datang, lalu Syeikh berkata kepadanya, “Mari kita sambut panggilan Allah.” Puteranya berkata kepada kami, “Tolong bantu saya untuk memapah beliau ke masjid. Semoga Allah Ta’ala membalas kebaikan kepada kalian.” Kemudian kami memapahnya bersama-sama sehingga beliau bisa bergantung di antara aku dan puteranya pada saat berjalan. Mundzir berkata,”Wahai Abu Yazid, bukankah Allah Ta’ala memberi rukhshah (keringanan) bagi Anda untuk shalat di rumah?” Beliau menjawab, “Memang benar apa yang Anda katakan, akan tetapi aku mendengar seruan, “Marilah menuju keberuntungan!” Barangsiapa mendengar seruan itu hendaknya mendatanginya walaupun harus dengan merangkak.”

Benar apa yang beliau katakan, selain panggilan shalat, adzan juga merupakan ajakan untuk menjadi orang yang sukses, bahagia, menang dan beruntung. Seluruh pengertian ini terkandung dalam kata “al-falaah’ ketika diserukan ”hayya ’alal falaah”, marilah menuju keberuntungan. Alangkah agung ajakan ini. Tak ada orang berakal yang layak meremehkan ajakan ini. Seruan keberuntungan inilah yang mendorong seorang ulama tabi’in untuk tetap menyambut seruan adzan, meskipun harus dipapah puteranya karena sakit. Bahkan meskipun harus datang dengan merangkak.

Berlanjut ke generasi tabi’ut tabi’in. Mereka juga menyambung estafet kemuliaan dalam menyambut seruan adzan. Sebut saja Ibrahim bin Maimun Ash-Sha’igh, seorang shalih dari generasi tabi’ut tabi’in selalu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar adzan. Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengisahkan biografi beliau dalam Tahdzib at-Tahdzib, bahwa pekerjaan beliau adalah tukang menempa logam. Setiap kali beliau telah mendengar seruan adzan untuk shalat, maka meskipun beliau telah mengangkat palu, beliau tak lagi mengayunkannya. Beliau segera meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan shalat. Karena bagi beliau, adzan adalah panggilan dari Dzat yang memiliki kuasa segalanya atas dirinya. Bagaimana mungkin ia berani menundanya?

 

Oleh: Ust. Abu Umar Abdillah/Kisah Salaf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *