Abu Umar Abdillah

Menghamba Separuh Jiwa

Sempat heboh pernyataan seorang tokoh dan pejabat yang menghasung masyarakat untuk tidak terlalu serius dalam beragama. Kontan saja ini mengusik nurani keislaman kaum muslimin. Karena konsekuensi kalimat itu sama dengan mengatakan bahwa shalat itu tidak perlu terlalu khusyuk, puasa itu tidak usah terlalu sungguh-sungguh atau bahkan terhadap surga dan neraka itu jangan terlalu yakin.

Tapi bagi sebagian kalangan, pernyataan seperti ini menjadi hiburan dan dukungan. Karena secara hawa nafsu memang beragama separuh-separuh ini lebih banyak diminati, terutama bagi orang yang menjadikan keuntungan duniawi sebagai prioritas tujuan hidupnya.  

 

Beribadah Setengah-Setengah

Menurut mereka, beragama secara murni dan konsekuen itu membatasi kebebasan, mengurangi kesenangan dan memenjarakan kebebasan berekspresi. Satu sisi mereka juga tidak ingin dikatakan sebagai orang yang tidak beragama sama sekali, tidak relijius, bukan orang  shalih dan sebutan lainnya.

Maka pilihannya, mereka beragama setengah-setengah, atau ibadah di tepian. Dengan kata lain pula menjadi hamba separuh jiwa, tidak sepenuh raga dan jiwanya.

Karena kepentingan duniawi menjadi nomer satu, maka ketika mereka mendapatkan keuntungan duniawi dengan menjalankan sebagian syariat Islam, ia melakukannya dan memuji Islam karenanya. Namun jika terjadi kemadharatan dalam urusan duniawi atau kerugian suatu materi, maka yang dipersalahkan dan dianggap biangnya adalah karena melaksanakan syariat Islam sepenuhnya, apa adanya, atau ‘saklek’ dalam bahasa sindiran mereka.

Inilah golongan yang disebut Allah dalam firman-Nya,

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi ; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang . Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”  (QS. al-Hajj: 11)

Tentang sebab turunnya ayat ini, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dahulu ada orang yang datang ke Madinah lalu masuk Islam. Kemudian jika setelah itu istrinya melahirkan bayi laki-laki dan kudanya beranak, ia mengatakan, “Ini agama yang baik.” Tapi kalau istrinya tidak melahirkan bayi laki-laki dan kudanya tidak beranak, ia berucap, “Ini agama yang buruk.” Maka Allah menurunkan ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Baca Juga: Gila Hormat, Hina Didapat

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Athiyyah dari Ibnu Mas’ud bahwa seorang lelaki Yahudi masuk Islam, lalu setelahnya matanya menjadi buta, harta bendanya habis, dan anaknya mati, sehingga dia menimpakan kesalahan kepada Islam. Katanya, “Aku tidak mendapat kebaikan apa-apa dari agama ini. Mataku malah jadi buta, hartaku habis, dan anakku mati!” Lalu turunlah ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi;…”

Maka peringatan ayat ini berlaku untuk semua orang yang beribadah setengah-setengah, yang diambil hanya apa yang dia suka. Dan ini menjadi bukti akan kelemahan imannya.

Syeikh as-Sa’di menjelaskan bahwa, “sebagian manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang yang lemah imannya, di mana iman belum merasuk ke dalam hatinya, belum bercampur dengan sumsum tulangnya. Mungkin karena takut atau mengikuti kebiasaan. Ia tidak tegar ketika menghadapi cobaan. Jika rejeki tetap lancar dan tidak menghadapi sesuatu yang tidak disukai, maka dia tetap melakukan bagian dari ajaran Islam itu, tapi ia melakukanya bukan karena keimanannya.”

Sedangkan Ibnu Katsier menambahkan, perumpamaan orang yang beragama hanya mengambil di pinggiran, tidak sampai ke tengah atau intinya. Ini sebagai perumpamaan akan sifat labilnya mereka dalam beragama. Tidak konsisten dengan seluruh ajaran berikut konsekuensinya. Ia seperti tentara yang sengaja berada di pinggiran (ujung belakang barisan) mencari aman, ketika ada tanda-tanda akan mendapatkan rampasan perang dia akan turut serta, namun jika tidak maka dia punya kesempatan untuk menghindar dan lari. Beliau juga menjelaskan bahwa orang hanya bisa g konsisten dengan agamanya jika yang menjadi visinyaadalah menepati kebenaran, mentaati Allah dan takut akan adzab-Nya. Tapi ketika yang menjadi visinya adalah kesengan yang instan,maka dia akan menampakkan sebagai agamis di saat mendapat kesenangan dan mundur menjau ketika mengalami kesulitan, dan ini tidak terjadi kecuali atas orang munafik yang tercela.

Agama bagi mereka seperti prasmanan, seakan mereka bebas mengambil yang mereka suka, lalu meninggalkan menu lain yang tidak mereka suka. Mereka sangka sikap seperti ini akan menguntungkan mereka. Padahal Allah menyebut sikap ini sebagai sifat orang yang merugi dunia dan akhirat.

 

Kisah Tentang Manusia Berwajah Dua

Allah menyebutkan kisah panjang dan gamblang tentang mereka yang berwajah dua, separuh wajah bersama orang beriman dan wajah aslinya bersama kekafiran,

“Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.

Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah;dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu.

Baca Juga: Dikira Kawan, Ternyata Lawan

Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali”. (QS. al-Hadid: 13-15)

Begitulah kerugian yang mereka alami. Tak ada yang lebih bahagia dari orang yang menjadi hamba Allah sepenuh jiwa. Karena kita bukan setengah manusia, dan kita juga tdak ingin setengah bahagia, sepantasnya totalitas penghambaan kita tertuju hanya kepada Pencipta, wallahul muwaffiq. 

 

Oleh: Abu Umar Abdillah/Telaah

 

One thought on “Menghamba Separuh Jiwa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *