Fikrah

Keadilan

Kegaduhan di sidang Mahkamah Kehormatan DPR dalam kasus yang disebut para awak media ‘Papa minta saham’ selesai sudah, dengan pengunduran diri Setya Novanto sebagai ketua DPR. Ketua MKD Surahman Hidayat yang selalu tampil dengan songkok ‘nasional’-nya dan hiasan jenggot putih tipis di dagunya mengakhiri sidang dengan ucapan syukur ‘alhamdu lillaah’ dan mengatakan akhir dari kasus tersebut sebagai ‘happy ending’.

Lebih satu bulan lamanya rakyat disuguhi tontonan yang ‘meremehkan’ dan ‘menganggap seluruh rakyat bodoh’, kemudian diakhiri dengan menu ‘ambigu’ pengunduran diri ketua dewan, demi menghindarkan dari vonis pengadilan formal etik ‘bersalah’.

Pengunduran diri itu dilakukan setelah tak mungkin menghindari semakin terkuaknya fakta yang sesungguhnya, yang memungkinkan tercapainya ‘keadilan hakiki’, setidaknya dalam ukuran ‘keadilan bumi’.

Diawali pernyataan menteri ESDM Sudirman Said yang mensinyalir adanya orang kuat di DPR yang menjamin perpajangan kontrak PT Freeport, syaratnya yang bersangkutan meminta imbalan saham dengan mencatut nama presiden dan wapres. DPR tersinggung.

Menteri ESDM ditantang untuk melaporkan oknum tersebut ke MKD. Ketika Sudirman Said ternyata tidak takut gertakan itu dan benar-benar melapor dengan alat bukti rekaman pembicaraan, DPR mulai merasa terancam. Posisi Sudirman Said dipertanyakan, apakah sah sebagai menteri melaporkan anggota dewan kepada MKD.

Ketika didatangkan ahli sosiolinguistik Yayah Bacharia tentang ‘legal standing’-nya, ternyata menurutnya sah, karena posisi sebagai menteri tidak menghalangi dan tak bertentangan dengan cakupan sebagai salah seorang ‘anggota masyarakat’ yang boleh melapor ke MKD, maka helah beralih kepada ‘bukti formal’ yakni rekaman, sah-kah itu sebagai alat bukti? Untuk menghindar, MKD meminta rekaman asli.

Ketika permintaan itu akan dibantu oleh menkopolhukam Luhut Panjaitan untuk mendapatkan, MKD beralasan bahwa rekaman asli tak lagi diperlukan. Begitu juga kehadiran saksi pengusaha Reza Chalid juga tidak lagi diperlukan, alasannya teknis,..menjelang reses, waktu terbatas. Kehadiran saksi tersebut diperkirakan akan semakin menguak fakta yang terjadi, dan semakin sulit untuk mengatur skenario penyelamatan kolega.

Selanjutnya, ketika dukungan dan penilaian di MKD jelang keputusan semakin jelas, 10 anggota menyatakan SetNov melakukan pelanggaran sedang, 7 orang menganggap pelanggaran berat, maka skenario mempertahankan status quo tak mungkin lagi dilakukan, jurus terakhir dimainkan, SetNov mengundurkan diri. Dengan tindakan itu, MKD menjadi punya dalih untuk tidak mengeluarkan ‘keputusan formal’ apakah terlapor ‘secara etik’ bersalah atau tidak bersalah. Barangkali itulah yang melatarbelakangi ucapan syukur alhamdulillah-nya ketua MKD Surahman Hidayat dan menyebutnya ‘happy ending’.

Dengan tidak keluarnya ‘keputusan formal’ tersebut, SetNov terhindar dari ‘sanksi etik formal’. Karenanya,.. dia mengundurkan diri sebagai ketua DPR, namun menjabat ketua fraksi golkar di DPR. Institusi MKD selamat, Setnov juga selamat,…’happy ending’.

Keadilan Formal vs Keadilan Hakiki

Islam sebagai agama langit, dengan kitab suci yang terjaga orisinalitasnya datang untuk menegakkan keadilan.

Firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” [Al-Hadid : 25]. Meski begitu, keadilan hakiki yang dikehendaki Allah, bukan sesuatu yang mudah untuk diraih. Banyak variabel yang tidak selalu semua dapat dipenuhi untuk ‘sampai’ pada keadilan hakiki.

Keterbatasan ilmu dari Qadhi, kematangan yang mengantarkannya untuk berbuat adil, bersih dari beragam motif yang menghalangi untuk berbuat adil, ketelitian menapis penuturan pelapor, tersangka maupun saksi, dll.

Begitu juga pelapor dan tertuduh dengan motif perbuatan serta kemampuannya untuk menyusun kalimat tuduhan maupun penyangkalan dan merekayasa bukti. Tak terkecuali saksi yang seharusnya adil, tidak menyembunyikan persaksian atau menundanya dari waktu yang diperlukan, semua itu ikut menentukan dapat dan tidaknya keadilan hakiki diraih oleh pengadilan bumi.

Keterbatasan itu ditunjukkan oleh Nabi dalam nasehatnya seperti dikatakan oleh Ummu Salamah :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ، فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ بِشَيْءٍ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْهُ شَيْئًا، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ.

RasululLah shallalLahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku ini manusia (biasa), dan kalian mengadukan perselisihan padaku, boleh jadi salah satu pihak (yang berselisih itu) lebih mampu untuk membangun logika (alasan) dibanding pihak lainnya, lalu aku putuskan suatu keputusan (yang menguntungkan, memenangkan perkara) baginya seperti yang aku dengar darinya. Maka barang siapa yang kumenangkan perkaranya dengan sesuatu dari hak saudaranya (yang berperkara dengannya), hendaknya jangan mengambil dari hak yang aku putuskan tersebut. Sesungguhnya apa yang aku menangkan baginya itu adalah sepotong dari api neraka. [Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albaniy].

Sungguh indah idealisme keadilan yang dituju oleh Islam, kendala untuk meraihnya dan proses untuk berusaha dengan penuh kesungguhan meraih keadilan hakiki itu sebisa mungkin. Saksi dimotivasi untuk bersaksi dengan adil, diingatkan dengan ancaman siksa di alam kehidupan berikutnya jika dia menyembunyikan persaksian, berdusta, atau menunda menyampaikan persaksian dari waktu yang diperlukan.

Mereka yang berperkara pun di-edukasi untuk mewaspadai dan meninggalkan moral hazzard yang menghalangi diraihkan keadilan itu, sebelum maupun sesudah vonis.

Peradilan Sekuler

Sistem peradilan sekuler, secara substansial menjauhkan semua anasir yang terlibat : pelapor, terlapor (terduga, tersangka), saksi dan hakim dari keyakinan dan perasaan bahwa dia akan mempertanggung-jawabkan apa yang dilakukannya dalam proses mencari keadilan di dunia ini, di alam lain setelah mati.

Sekarang proses mencari keadilan itu semakin diperpanjang (alasannya agar lebih sempurna) dengan ‘tata cara ber-acara’ dalam sistem peradilan : adanya institusi kepolisian yang menyidik kasus, jaksa penuntut yang menangani pemberkasan dan mengajukan tuntutan, advokat (pembela) bagi tersangka. Sedihnya, karena memang watak sistem hidup sekuler menjauhkan manusia dari kehidupan sesudah mati dengan tanggung jawab dan pembalasannya, balasan baik bagi yang baik dan buruk bagi yang buruk, maka panjang dan sempurnanya ‘tata ber-acara’ di mahkamah peradilan tidak mendekatkan kepada tercapainya keadilan hakiki, justru semakin menjauh.

BACA JUGA : Negara Gagal

Jika pengadilan yang dilandasi keimanan kepada Yang Maha Adil dan keyakinan adanya pembalasan di akherat dengan seluruh proses dan edukasinya pun belum menjamin penuh diraihnya keadilan hakiki, apalagi pengadilan sekuler yang tidak mendorong dan membangkitkan rasa tanggung jawab akan adanya balasan dalam kehidupan berikutnya.

Bagi orang yang beriman, pertunjukan absuurd peradilan MKD semakin menguatkan keyakinan dan kebutuhan akan ‘peradilan harapan’ yang akan menuntaskan semua ‘lara’ dan kedhaliman yang tidak terobati dengan peradilan dunia. Wallohu A’lam bish-Showab.

One thought on “Keadilan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *