Imtihan Syafi'i

Kedudukan Para Ulama

 

وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ أَهْلُ الْخَيْرِ وَالْأَثَرِ وَأَهْلُ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالْجَمِيلِ وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَى غَيْرِ السَّبِيلِ

(107) Para ulama salaf dari kalangan as-Sabiqin (sahabat) dan yang sesudah mereka yakni para tabi’in adalah ahli kebaikan dan atsar serta ahli fiqh dan nazhar (analisis). Mereka tidak boleh disebut kecuali dengan kebaikan. Barang siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan, maka ia berada di atas selain jalan yang benar.

Matan ini menerangkan manhaj Ahlussunnah wal Jamaah dalam berinteraksi dengan para ulama. Para ulama—yakni para ulama hadits dan ulama fiqh—tidak disebut kecuali kebaikan mereka. Mereka adalah “jembatan” syariah. Mereka tempat bertanya untuk berbagai permasalahan syar’i. Mereka pula yang menjelaskan makna firman Allah dan mensyarah hadits-hadits Nabi saat didapati ada yang belum jelas dalam keduanya. Merekalah yang membela agama Allah dari berbagai syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan agama Allah. Mereka yang menjaga kemurnian akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka pula yang menjaga hadits-hadits Nabi dari kabar-kabar palsu yang dinisbatkan kepada beliau saw.

Mereka adalah para pembela syariah—pembelaan ilmiyah—dan oleh karena itu mereka disebut waratsatul anbiya` (para pewaris nabi-nabi). Para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirhan. Mereka mewariskan ilmu.
Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah berkenaan dengan mereka adalah menyebut kebaikan mereka. Hanya kebaikan saja. Kita tidak boleh mencela ahlihadits maupun ahlifiqh. Mereka semua tidak menginginkan kecuali menolong syariat dan menjaga ilmu dan fiqh. Jika ada di antara mereka yang berpendapat dan pendapatnya keliru, maka itu adalah kekeliruan lantaran mereka adalah para mujtahid. Kekeliruan yang dimaafkan oleh Allah; meskipun jika kita mengetahuinya, kita tetap tidak boleh mengikutinya. Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah telah meneliti dan membuktikan berdasarkan informasi dari al-Kitab, as-Sunnah, dan petunjuk para sahabat, bahwa mereka adalah orang-orang yang muhsin—hendak berbuat baik.

Benar, mereka memang beragam kompetensinya dan bertingkat-tingkat pula kapabilitas ilmiyahnya. Namun mereka semua tidak boleh disebut keburukannya.

Manifestasi Dua Perintah
Hanya menyebut kebaikan para ulama dan tidak menyebut keburukan mereka adalah manifestasi dua perkara, yaitu:
Pertama, firman Allah, “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan itu sebagian mereka adalah wali sebagian yang lain.” [at-Taubah: 71]

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kalian beberapa derajat.” [al-Mujadalah: 11]

“Sekiranya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang mengambil kesimpulan dari mereka akan mengerti.” [an-Nisa`: 83]

Allah menerangkan kedudukan ahli ilmu, keutamaan ilmu, keutamaan orang yang berilmu. Allah menegaskan bahwa derajat mereka diangkat dibandingkan orang-orang yang beriman lainnya. Yang demikian itu karena mereka memiliki ilmu tentang Allah.
Allah menerangkan bahwa orang yang beriman memberikan loyalitas kepada sesama orang yang beriman. Makna loyalitas di sini adalah kecintaan dan pertolongan. Menurut Ahlussunnah, kecintaan dan pertolongan ini diberikan sebanding lurus dengan keimanan. Orang yang beriman memberikan kecintaan dan pertolongan kepada sesama mukmin melebihi kepada yang lain, jika keimanan mereka mendekati sempurna.

Sudah maklum bahwa para ulama telah dipuji oleh Allah dan Rasulullah maka mereka adalah orang-orang yang terutama untuk berhak mendapatkan loyalitas. Wajib memberikan loyalitas kepada mereka berdasarkan ayat-ayat di atas. Dan mencintai serta menolong mereka dibuktikan dengan tidak menyebut mereka kecuali kebaikan mereka.
Kedua, menganggap cacat seorang ahli ilmu terkait dengan kekeliruan mereka pada hakikatnya menganggap cacat semua ahli ilmu. Semua pembawa syariat. Selanjutnya akan muncul ketidaksukaan terhadap syariat dan kecintaan kepada syariat pun melemah. Sebab para ulama tidak mendapatkan tempat yang tinggi di hati. Lantas akan hadir keraguan terhadap apa-apa yang dibawa oleh para ulama. Dan jika sudah begitu, hawa nafsu dan pendapat pribadi yang akan maju atau diajukan. Akhirnya simpul-simpul iman pun terurai, keyakinan kepada Islam pun goyah.

Oleh karena itulah, menyebut keburukan para ulama merupakan cabang dari menyebut keburukan sahabat. Inilah kiranya yang melandasi ath-Thahawi menyebut pembahasan ulama setelah membahas para sahabat. Menganggap cacat sahabat dan para ulama berangkat dari titik yang sama dan bermuara pada akhir yang sama. Menganggap cacat sahabat sama dengan mencela agama. Mencela para ulama terkait dengan hasil ijtihad mereka sama dengan mencela agama. Ini adalah pintu yang sama.
Umat Islam dilarang mencela para ulama di satu sisi. Peran dan jasa para ulama amat-sangat besar dalam menjaga eksistensi Islam. Umat Islam juga dilarang bertaklid buta atau bersikap fanatik kepada para ulama, sebab kebenaran harus lebih dicintai daripada mereka semua.

Ulama Bukan Nabi
Terbebas dari kesalahan bukan merupakan syarat menjadi ahli ilmu. Ahli hadits dan ahli fiqh, terkadang keliru. Mereka tidak maksum. Dan sejatinya kekeliruan mereka ini adalah nikmat dari Allah.
Ketika ada seorang ulama ditanya, “Bagaimana bisa para ulama boleh salah? Bagaimana bisa mereka menyelisihi sunnah—dengan tidak sengaja? Bagaimana mereka bisa pernah bermaksiat? Dan bagaimana mereka terkadang alpa dan tidak teliti?”
Ulama yang ditanya itu menjawab, “Karena para ulama tidak sama dengan para nabi.”

Para ulama berijtihad, berusaha memahami maksud pesan nabi; sedangkan para nabi hanya berbicara dengan wahyu atau wahyu itu sendiri. Nabi selalu tepat saat menjelaskan tentang urusan syar’i. Semua yang dibawa oleh Nabi wajib diikuti.
Seorang ulama adalah orang yang sering benar dalam berijtihad dan kadang-kadang saja keliru di dalamnya. Fenomena ini sejatinya akan mendorong umat untuk terus mengkaji al-Qur`an dan as-Sunnah, disamping mereka tidak akan mengkultuskan sang ulama.

Ulama Salaf
Ketika disebut ulama Salaf, maka maksudnya adalah para ulama yang hidup sebelum orang yang menyebutnya. Ini secara bahasa. Adapun secara istilah, ulama Salaf adalah para ulama dari kalangan tiga generasi pertama Islam, yakni sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Tiga generasi pertama inilah yang mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah dalam sabda beliau:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.” (HR. al-Bukhari)

Klasfikasi Ulama
Pada matan ini ath-Thahawi mengklasifikasikan ulama menjadi dua: ulama atsar atau ahli hadits; dan ulama fiqh para analis. Ulama atsar atau ahli hadits adalah mereka yang concern pada pemastian benar-salahnya penisbatan suatu hadits kepada Rasulullah. Mereka juga memiliki concern dalam fiqh hadits, tetapi tidak seperti ulama fiqh.

Ulama fiqh para analis adalah mereka yang concern pada fiqh hadits dan penyimpulan hukum dari nash-nash syar’i yang ada. Juga, penyimpulan hadits untuk berkara-perkara yang tidak disebut di dalam nash syar’i. Bukannya mereka tidak memiliki perhatian terhadap pembuktian shahih-tidaknya penisbatan suatu hadits kepada Rasulullah, tetapi perhatian mereka tidak seperti para ulama atsar atau ahli hadits.

Ketika ath-Thahawiy menyebut, “Ahli kebaikan dan atsar serta ahli fiqh dan nazhar (analisis),” maka para imam yang empat adalah orang-orang yang utama untuk masuk ke dalam yang beliau sebut. Imam Abu Hanifah adalah ahli fiqh dan nazhar, bukan ahli hadits dan atsar. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad adalah ahli hadits sebagaimana mereka juga ahli fiqh. Di antara mereka ada perbedaan pendapat dalam madzhab masing-masing. Tak hanya dalam satu masalah mereka berbeda pendapat menjadi empat pendapat. Sudah barang tentu di antara pendapat itu hanya ada satu pendapat yang benar dan yang lain keliru.

Seorang alim meneliti, menganalisis, dan berhati-hati berusaha mencari yang paling benar. Meskipun demikian terkadang pendapat mereka diketahui sebagai pendapat yang marjuh, tidak kuat atau bahkan keliru—menyelisihi sunnah tanpa mereka sengaja.
Dalam pada ini orang-orang yang beriman wajib memberikan loyalitas kepada mereka semua dan para ulama lainnya. Hanya boleh menyebut kebaikan mereka dan menolerir kekeliruan ijtihad mereka. Orang-orang yang beriman wajib berprasangka baik kepada mereka, bahwa mereka tidak bermaksud menyelisihi kebenaran.
Wallahu a’lam.

One thought on “Kedudukan Para Ulama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *