Abawiyah

Ketika Harus Memboikot

Siapapun yang menikah, normalnya menginginkan keluarga yang bahagia. Atau dalam istilah syariat, sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebuah keinginan wajar sebab kebahagiaan merupakan keadaan hati yang paling dicari. Bahkan semua aktivitas manusia, sesungguhnya, hanyalah dalam kerangka mencarinya. Dan dalam konteks berkeluarga, bahagia menjadi salah satu tujuannya.

Namun terkadang, kebahagiaan sebuah keluarga sulit diwujudkan karena adanyaistri yang durhaka. Wanita tipe pembangkang yang sangat sulit dinasihati, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan syariat. Suami menjadi pusing tujuh keliling. Bukan saja karena kebahagiaan telah tercerabut dari keluarga, namun juga membaikkan keluarga adalah tanggung jawab suami yang harus ditunaikan sebaik-baiknya.

Pada kasus istri yang nusyuz, membangkang, membantah, atau tidak taat kepada suami dalam kebaikan, padahal nasihat telah disampaikan kepadanya dengan cara yang ma’ruf, maka syariat mengajarkan agar suami menjalankan tahapan kedua, yaitu hajr (boikot), sebagaimana dalam ayat, “Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, dan hajrlah mereka di tempat tidur….” QS. An-Nisa` 34.

Meng-hajr di sini tentu saja dengan tujuan mendidik istri agar menyadari kesalahan dan berubah menjadi lebih baik, bukan sarana melampiaskan dendam dan kemarahan. Sehingga selain harus ikhlas saat menjalankannya, suami juga harus mengerti kaidah syar’i agar tidak salah melangkah. Perbaikan yang dilakukan barakah, memberi atsar yang diharapkan dan bukan malah menjauh dari kebenaran.

Ada beberapa bentuk hajr yang bisa dipilih berdasar keterangan para ulama. Yaitu dengan mendiamkan dan tidak mengajaknya bicara. Membiarkannya makan sendirian menjadi alternatif yang lain, juga tidak tidur bersama, atau tidur bersama dengan posisi beradu punggung serta tidak mencumbui dan menjimaknya. Bentuk yang lainnya adalah pisah kamar, atau tidak mengajak istri bersenda gurau. Suami bisa memilih salah satu atau beberapa hal sekaligus dengan keyakinan adanya perbaikan pada istrinya.
Dan karena tujuan hajr ini adalah tercapainya maslahat, dalam pelaksanaannya, suami harus menjaga kehormatan istri dan meminimasi timbulnya madharat yang lebih besar. Misalnya dengan tidak menampakkannya secara terang-terangan di hadapan orang lai, terlebih anak-anak. Syaikh Alu Bassaam berkata, “Jika sang suami meng-hajr istrinya maka hendaknya ia menghajrnya secara internal antara mereka berdua saja dan tidak di hadapan orang banyak.”

Maka merupakan sikap yang salah jika seorang suami tatkala meng-hajr istrinya dia tampakkan di hadapan orang banyak. Seringkali, hal seperti ini memicu timbulnya rasa dendam dan terhina di hadapan istri, sehingga tidak tercapailah maslahat yang diinginkan.
Kesalahan lain yang sering dilakukan suami adalah mengusir istri dari rumah, atau malah suami yang meninggalkan rumah. Karena ada larangan dari Rasulullah tentang perginya suami dari rumah saat menghajr istri. Rasulullah bersabda, “Janganlah engkau menghajr istri kecuali di dalam rumah.” HR Abu Dawud dan Ibnu Majah.

Kalau kita perhatikan, banyaknya kasus perselingkuhan, salah satunya adalah karena suami atau istri yang marah, pergi dari rumah mencari pelarian. Dengan demikian. ada hikmah agung dalam larangan perginya suami dari rumah ketika marah kepada istrinya. Selain terhindar dari hal-hal yang bisa memperkeruh suasana, diamnya suami di rumah merupakan bentuk tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang ada, membuktikan keqawwamannya, serta menjauhi sikap pengecut yang lari dari tanggung jawab.
Namun, sebagian ulama membolehkan perginya suami dari rumah jika hal itu lebih membawa manfaat. Dalam hal ini, Ibnu Hajar berkata, “Dan yang benar, hajr itu bervariasi sesuai keadaannya. Terkadang hajr yang dilakukan suami dengan tetap di rumah lebih terasa berat bagi istri, namun bisa jadi sebaliknya. Namun biasanya, hajr yang dilakukan suami dengan meninggalkan rumah lebih terasa menyakitkan bagi para wanita terutama karena hati mereka yang lemah. Rasulullah pernah meng-hajr para istri beliau dengan meninggalkan rumah selama dua puluh sembilan hari. Al-Imam An-Nawawi menjelaskan kisah Rasulullah saat menghajr istri-istri beliau, “Suami berhak menghajr istrinya dan memisahkan dirinya dari si istri ke rumah lain apabila ada sebab yang bersumber dari sang istri.”

Dalam hal hajr dengan mendiamkan dan tidak mengajak istri bicara, hal ini tidak boleh dilakukan lebih dari tiga hari. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari. Keduanya bertemu, tetapi yang satu berpaling, begitu juga yang lainnya. Dan yang terbaik dari keduanya adalah yang mulai mengucapkan salam.” HR. al-Bukhari dan Muslim.

Namun Al-Khaththabi t menyebutkan bahwa hajrnya ayah terhadap anaknya, suami terhadap istrinya dan semisalnya tidaklah dibatasi waktu tiga hari, berdalil dengan hajr yang dilakukan Nabi terhadap istri-istri beliau. Yaitu untuk setiap tiga hari, suami mengucapkan salam namun tidak mengajak istri bicara sampai tujuannya tercapai.

Yang harus menjadi bahan renungan untuk para suami adalah membaikkan diri ketika proses mendidik istri ini berjalan, bahkan jauh di hari-hai sebelumnya. Pembicaraan yang hangat, kebersamaan yang intim,atau juga aktivitas ranjang yang menggairahkan adalah nilai lebih seorang suami. Sehingga ketiadaannya saat hajr dilakukan betul-betul memberi efek jera dan terasa menyakitkan bagi istri.

Sebab hajr akan terasa ringan bagi istri jika dia terbiasa sendirian menjalani hari-hari. Tanpa koneksi hati yang menyamankan jiwa, atau hubungan badan yang hambar rasanya. Sebab jika ini yang terjadi, bukankah hajr dari suami malah hal yang menyenangkan bagi istri? Toh sudah biasa seperti itu. Nah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *