Abu Umar Abdillah

Melintasi Shirath Secepat Kilat

Banyak jalan menuju roma, begitu pepatah yang sering kita dengar. Akan tetapi hanya ada satu jembatan saja yang bisa mengantarkan ke jannah yang disebut dengan ‘shirath’. Tak ada jembatan atau jalan lain, dan itulah jalan satu-satunya menuju jannah. Dimana setiap diri kita akan melaluinya. Tidak bisa menghindar, mengelak atau mencari jalan selainnya. Shirath disifati oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan sifat yang mengerikan, menakutkan dan sulit untuk dilalui.

Abu Sa’id Radhiyallahu anhu berkata, “Sampai kepadaku kabar bahwa shirâth itu lebih halus dari rambut dan lebih tajam dari pedang.” Adapun yang disifati rang-orang bahwa tipisnya seperti rambut dibelah tujuh, itu hanyalah penyangatan yang tidak ada dalilnya.

 

Gambaran Kengerian Shirath

Gambaran yang mengerikan diberitakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang shirath, “Licin, lagi menggelincirkan. Di sisinya ada besi-besi panas yang memiliki pengait, ia seperti pohon berduri di Najed yang dikenal dengan pohon sa’dan.”

Para Ulama menjelaskan bahwa maksud menggelincirkan adalah bergerak ke kanan dan ke kiri, sehingga membuat orang yang melewatinya takut akan tergelincir dan tersungkur jatuh. Sementara di bawah jembatan ada api yang menjilat.

Tentang kengeriannya Imam al-Qurthubi rahimahullah mengambarkan dalam kitabnya at-Tadzkirah. Beliau berkata, “Sekarang cobalah renungkan tentang kelak yang akan Anda alami. Rasa takut yang memenuhi hatimu ketika awal pertama Anda menyaksikan shirâth yang begitu tipis untuk dilalui manusia. Engkau memandang dengan matamu kedalaman api neraka Jahanam yang berada di bawahnya. Engkau juga mendengar gemuruh dan gejolaknya. Sementara engkau harus melewati shirath itu sekalipun tubuhmu dalam kondisi lemah, hatimu gundah, kakimu bergetar karena takut tergelincir. Saat yang sam punggungmu terasa berat karena memikul dosa. Hal yang  tidak mungkin kamu bisa melakukannya seandainya engkau berjalan di punggung bumi, apa lagi untuk di atas shirâth yang begitu lembut dan tajam.
Bagaimana kiranya saat kamu meletakkan salah satu kakimu di atasnya, lalu engkau merasakan ketajamannya! Sehingga mengharuskanmu segera mengangkat tumitmu yang lain! Engkau menyaksikan banyaknya orang-orang yang berada di hadapanmu tergelincir kemudian berjatuhan! Mereka lalu ditarik oleh para malaikat penjaga neraka dengan besi pengait. Engkau melihat bagaimana mereka dalam keadaan terjungkal ke dalam neraka dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Wahai betapa mengerikannya pemandangan tersebut. Perjalanan yang begitu sulit, di jalan yang begitu sempit.”

Ketika itu, suasana begitu tegang, hingga tak seorangpun kuasa untuk berkata-kata atau apalagi berbincang-bincang, selain para rasul. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

وَيُضْرَبُ الصِّرَأطُ بَيْنَ ظَهْرَي جَهَنَّمَ فَأَكُونُ أنَا وَأُمَّتِيْ أَوَّلَ مَنْ يُجِيزُ وَلاَ يَـَتكَلَّمُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ الرُسُلُ وَدَعْوَى الرُّسُلِ يَوْمَئِذٍ اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ فَمِنْهُمْ الْمُؤُمِنُ بَقِيَ بِعَمَلِهِ وَمِنْهُمْ الْمُجَازَى حَتىَّ يُنَجَّى

“Dan dibentangkanlah shirath di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu, “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang dibalasi sampai ia selamat”. [HR. Muslim]

Tingkatan Orang yang Meniti Shirath

Ketika itu, ada berbagai keadaan manusia pada saat meniti shirath, baik dari sisi cepat lambatnya, maupun dari sisi bahaya yang mengancamnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

 

أَلَمْ تَرَوْا إِلَى الْبَرْقِ كَيْفَ يَمُرُّ وَيَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ وَشَدِّ الرِّجَالِ تَجْرِي بِهِمْ أَعْمَالُهُمْ وَنَبِيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصِّرَاطِ يَقُولُ رَبِّ سَلِّمْ سَلِّمْ حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعِبَادِ حَتَّى يَجِيءَ الرَّجُلُ فَلَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إِلَّا زَحْفًا قَالَ وَفِي حَافَتَيْ الصِّرَاطِ كَلَالِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بِأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ فَمَخْدُوشٌ نَاجٍ وَمَكْدُوسٌ فِي النَّارِ

“Tidakkah kalian pernah melihat kilat, bagaimana ia melintas dalam sekejap mata? Kemudian ada yang melewatinya seperti angin, kemudian seperti burung dan seperti kuda yang berlari kencang. Mereka berjalan sesuai dengan amalan mereka. Nabi kalian waktu itu berdiri di atas shirath sambil berkata, “Ya Allah selamatkanlah! selamatkanlah! Sampai para hamba yang lemah amalannya, sehingga datang seseorang lalu ia tidak bisa melewati kecuali dengan merangkak.” Beliau menuturkan (lagi), “Di kedua belah pinggir shirâth terdapat besi pengait yang bergelantungan untuk menyambar siapa saja yang diperintahkan untuk disambar. Maka ada yang terpeleset namun selamat dan ada pula yang terjungkal ke dalam neraka”. [HR. Muslim]

Tingkat kemudahan dan kecepatan seseorang dalam meniti shirath dipengaruhi oleh amal setiap manusia.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Madaarijus Saalikin menjelaskan keterkaitan amal dengan cara meniti shirath. Beliau berkata, “Hidayah paling puncak dan paling akhir (yang kita mohonkan kepada Allah) adalah hidayah pada hari Kiamat untuk menuju jannah, yakni jembatan yang menghubungkan ke jannah. Maka barangsiapa yang diberi hidayah untuk meniti shirat al-mustaqim (jalan lurus) di dunia ini, yakni jalan yang digariskan oleh para rasul, yang diturunkan kepadanya Kitabullah, niscaya ia akan diberi petunjuk pula untuk meniti shirath menuju jannah dan negeri tempat pemberi balasan kebaikan.

Sesuai dengan kadar ketegarannya dalam memancangkan hatiany untuk beribadah kepada Allah, maka sekuat itulah kakinya terpancang di atas shirath yang terbentang di atas jahannam. Dan sesuai dengan kecepatan ia merespon jalan kebenaran, maka secepat itulah ia akan meniti shirath.

Ada yang melintasi shirath secepat kilat, ada yang secepat kedipan mata, ada yang seperti angin, ada yang seperti menaiki kendaraan, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, ada yang bergelantungan dan adapula yang tergelincir ke neraka. Maka hendaklah seseorang melihat bagaimana ia berjalan di atas syariat ketika di dunia, karena bagaimana ia meniti shirath tergantung bagaimana ia meiti kebenaran saat di dunia. Selangkah dibalas denagn selangkah, sebagai balasan yang setimpal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS an-Naml 90)

Hendaknya kita lihat pula, seberapa banyak kita mengikuti syubhat dan mengekor pada syahwat saat sehingga mengalihkan fokus kita dari meniti jalan yang lurus di dunia. Karena seberapa banyak ia akan tersambar pengait besi di sisi shirath tergantung kadar kecondongannya terhadap syubhat dan syahwat,

(QS Fushilat 46)

Masing-masing orang yang melintasi shirath diberi cahaya sesuai dengan kadar amalnya. Allah Ta’ala berfriman,

يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ

“Pada hari itu, engkau melihat orang-orang mukmin cahaya mereka menerangi dari hadapan dan kanan mereka.” (QS al-Hadid 12)
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Mereka melewati shirath sesuai dengan tingkat amalan mereka. Di antara mereka ada yang diberi cahaya seperti gunung, ada yang diberi cahaya yang sebesar pohon, ada cahayanya setinggi orang berdiri, dan yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi jari kakinya, sesekali menyala sesekali padam.”

Adapun orang-orang munafik, mereka mendapatkan lampu akan tetapi kemudian mati. Ini sebagai balasan setimpal karena di dunia mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal hakikatnya, mereka menipu diri mereka sendiri.

 

Agar Meniti Shirath Secepat Kilat

Ketika kita mengetahui bahwa mudah dan sulitnya, cepat atau lambatnya seseorang meniti shirath itu menuju jannah itu tergantung amal di dunia, maka selayaknya kita perkokoh kaki kita sejak berada di dunia. Kita perkokoh dengan keteguhan di atas jalan kebenaran, dan bersegera dalam ketaatan. Ketika kita perhatikan bahwa rambu-rambu umumnya jalan raya adalah “pelan-pelan!” maka tidak demikian halnya jalan ketaatan. Rambu-rambu jalan menuju Allah hanya ada tiga macam, “baadiruu…saari’uu….dan saabiquu!”, bersegeralah! bercepat-cepatlah! berlombalah! Dan ada satu lagi yang memiliki pengertian mirip, yani ‘falyatanaafisuu!’, salin berkejar-kejaran. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Maka pada yang demikian itu, hendaknya mereka berlomba-lomba.” (QS al-Muthaffifin 26)

Tak ada kata ‘nanti’ untuk taat, tak kenal istilah kapan-kapan untuk bertaubat, tidak pula terpengaruh oleh orang-orang yang berlambat-lambat dalam beramal shalih. Semangat inilah yang mestinya kita jaga, agar kelak Allah mudahkan kita untuk meniti shirath secapat kilat, aamiin. (Abu Umar Abdillah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *