Kasyfu Syubhat

Meluruskan shaf shalat, tradisi Arab?

Setelah statemen miring tentang jenggot yang dianggap sebagai sebab kebodohan, belum lama Said Aqil Siraj kembali membuat kontroversi. Dalam sebuah wawancara di sebuah TV swasta, pada awalnya dia mengatakan bahwa merapatkan shaf memang sunnah, tapi menurutnya itu hanya masalah yang ‘keciiiil’, disertai nada menyangatkan sebagai isyarat bahwa itu hanya urusan yang sepele. Sampai di sini sebenarnya ia telah berbuat lancang, menganggap sunnah dan perintah Nabi sebagai hal yang kecil dan sepele.

Tak hanya sampai disitu, dia juga mengatakan bahwa merapatkan shaf adalah tradisi Arab yang dibawa ke sini. Memang aneh, ucapan seorang yang dipanggil Kyai, diikuti pula oleh banyak pengikut, namun begitu miring komentarnya terhadap sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Jika hanya dianggap tradisi, larinya kepada kebiasaan masyarakat tertentu yang tak terkait dengan urusan ibadah, tidak terkait pula dengan hukum syar’i. Ini merupakan upaya memreteli satu demi satu syariat Islam. Seperti orang yang mengatakan bahwa jilbab hanya adat Arab, sehingga tak ada keharusan bagi wanita nusantara untuk mengenakan jilbab.

Satu sisi, tak ada bukti yang jelas bahwa merapatkan shaf adalah tradisi Arab. Yang ada adalah, bahwa merapatkan shaf itu merupakan tradisi para malaikat ketika menghadap Allah, lalu umat Islam disuruh mencontoh tatacara itu.

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أَقِيْمُوُا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلاَئِكَةِ, وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسَدُّوْا الْخَلَلَ وَلِيْنُوْا بِأَيْدِيْ إِخْوَانِكُمْ وَلاَ تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ. وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi setan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya  (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”. (HR Abu Dawud dan an-Nasa’i)

Jika penganut JIN (Jemaat Islam Nusantara) itu tidak mau mengikuti cara Nabi menyuruh bershaf seperti shafnya para malaikat, lantas apakah mereka ingin mengikuti shaf para punakawan dalam pewayangan? Atau mengikuti cara para dalang tatkala menata ikon-ikon dalam tokoh pewayangan? Sehingga sempurna sebagai orang yang berislam dengan citarasa nusantara?

Di sisi lain, jika itu hanya tradisi yang boleh diselisihi, bagaimana mungkin Nabi shallallahu alaihi wasallam memberikan ancaman keras bagi orang yang tidak merapatkan shaf?

Dari sahabat Nu’man bin Basyir -radhiyallahu anhu-berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوْفَنَا حَتَّى كَأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ. ثُمَّ خَرَجَ يَوْمًا فَقَامَ حَتَّى كَادَ يُكَبِّرُ فَرَأَى رَجُلاً بَادِيًا صَدْرَهُ مِنَ الصَّفِّ فَقَالَ: عِبَادَ اللهِ ! لَتَسُوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ

 

“Dulu Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah (ketika diruncingkan,pen), sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu beliau berdiri sampai beliau hampir bertakbir, maka tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Maka beliau bersabda, “Wahai para hamba Allah, hendaknya kalian benar-benar meluruskan shaf kalian atau (jika tidak) Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.”  (HR Muslim)

Dari hadits ini juga tampak jelas, bahwa merapatkan dan meluruskan shaf adalah cara untuk merekatkan ukhuwah, sebagaimana shaf yang renggang dan tidak lurus menjadi sebab berselisihnya hati dan perpecahan di antara kaum muslimin.

Nabi shallallahu alaihi wasallam juga secara jelas memberitahu hikmah dan alasan kenapa diperintahkan lurus dan rapat shafnya. Selain untuk meniru shafnya para malaikat juga supaya tidak ada celah bagi setan untuk bercokol di antara celah-celah shaf shalat. Tapi sayangnya, dia juga sudah punya jawaban yang ‘nylekit’ untuk masalah ini. Di mana dia mengatakan tatkala mengomentari orang-orang yang shalat dengan merapatkan kaki, “terus kakinya harus ketemu satu sama lain, gak boleh ada ruang antara kaki, kenapa? nanti iblis disitu tempatnya, kalau saya Alhamdulillah iblis bisa ikut shalat…” , ini lelucon yang tidak lucu dan memalukan. Ada kesan memperolok-olok sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lagi pula, apa sang profesor itu tidak tahu bahwa keberadaan setan yang bercokol di antara barisan shaf yang longgar itu bukan untuk shalat? Tapi untuk menganggu orang shalat?

Jikalaupun ternyata ada bukti yang menunjukkan bahwa merapatkan shaf adalah tradisi Arab, maka tatkala sudah menjadi ketetapan syariat maka statusnya sebagai perintah syar’i. Ketika seseorang melaksanakan hal itu, bukan lantaran mengikuti tradisi Arab, tapi karena mengikuti aturan syariat. Secara tidak langsung mereka berdiri sebagai penentang syariat ketika sesuatu yang disyariatkan itu bertepatan dengan kebiasaan Arab. Sama saja dia berkata, “Saya tidak mau taat dalam syariat yang ini, karena ini adat Arab!” Padahal telah ada ketetapan dari Allah yang berhak menetapkan syariat. Qiyas semisal ini adalah modus qiyasnya iblis, meski telah jelas perintah dari Allah untuk bersujud, dia mencari alasan yang menurutnya masuk akal hingga kemudian dia tidak mau bersujud.

Perlu diketahui oleh orang-orang yang memiliki sentimen terhadap Arab, bahwa adat kebiasaan Arab jika memang buruk tak akan dihalalkan oleh syariat. Seperti khamr yang dahulu menjadi tradisi orang-orang Arab, lalu syariat datang melarang dan mengharamkannya. Jadi, ketundukan itu pada syariat, bukan karena adat. Tidak sempurna keimanan seseorang hingga hawa nafsunya tunduk dengan apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu alaihi wasallam, wallahul muwaffiq.

One thought on “Meluruskan shaf shalat, tradisi Arab?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *