Fikrah

Memahami Kemarahan AS

Kekejaman rezim Asad sudah dikenal. Saudara muslim kita di Syiria, dalam waktu yang panjang berada dalam penindasan rezim keluarga Asad mulai zaman Hafizh Asad hingga anaknya, Basyar Asad. Begitu seriusnya keluarga Asad dalam memadamkan cahaya Allah. Begitu banyak kasus orang dipenjara di zaman kediktatoran bapak-anak tersebut ‘hanya’ karena rajin melakukan shalat shubuh berjamaah. Jika ibadah mahdhoh yang tidak secara langsung mengganggu kekuasaan politiknya saja diperlakukan seperti itu, apalagi melaksanakan ajaran Islam yang terkait langsung dengan eksistensi kekuasaannya, seperti misalnya amar ma’ruf nahi munkar.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan kejahatan tetangga sebelahnya di Turki. Musthafa Kemal, setelah berhasil mengakhiri eksistensi Khilafah Utsmaniyah melarang pemakaian busana muslimah dan menggantikan pakaian wanita Turki dengan pakaian Eropa, melarang penggunaan bahasa Arab dan mengganti lafal Adzan dengan bahasa Turki. Bahkan, penutup kepala ‘thorbus’ khas Turki pun dilarang dan diganti dengan topi Eropa. Ya, dua pemimpin di dua negara bertetangga bentukan barat seusai perang dunia II tersebut mirip. Kedua pemerintahan itu sebagaimana pemerintahan pasca PD II, sama-sama bentukan penjajah, diserahkan kepada kader-kader Barat yang diyakini dapat mengamankan kepentingan Barat di negara-negara itu setelah secara fisik era kolonisasi (penjajahan) berakhir.

Sekarang ini pun, saat rakyat muslim Suriah belum benar- benar lepas dari kekejaman Basyar, ditambahi beban lagi harus menanggung kekejaman serangan udara Amerika Serikat dengan pesawat-pesawat tempur canggih, drone, dan serangan dari kapal-kapal perang dengan rudal Tomahawk. Dengan serangan udara, pesawat menjatuhkan bom-bom berukuran besar, peluru kendali dari kapal perang, betapapun pasti tidak dapat memilah dan memilih sasaran; kombatan atau sipil, laki-laki, perempuan, anak-anak atau orang jompo. Kerusakan infrastruktur yang ditimbulkan juga sangat parah. Dalam melakukan serangan, AS juga tak mau sendirian. Selalunya, ketika mengandung resiko kemungkinan menghadapi kemarahan umat Islam AS mesti menggandeng teman dan tidak sedikit, koalisi itu mencakup lebih dari 30 negara. Sedihnya lagi, tak hanya negara-negara yang notabene ‘kafir’ yang terlibat, bahkan negara-negara Arab pun terlibat: Saudi, Yordania, Qatar, dll.

Apa yang menyebabkan AS dan sekutu-sekutunya mau menerjunkan diri dalam perang di Suriah. Padahal sebelumnya AS tampak begitu enggan dan trauma atas kegagalan dan kerugian mereka dalam perang Afghanistan dan Iraq. Mengapa AS berubah, sebelumnya mendukung oposisi melawan Basyar Asad, sekarang melancarkan serangan udara mematikan terhadap pejuang oposisi yang melawan Basyar? Padahal Basyar yang sekarang, juga tetap Basyar yang kejam menindas rakyat. Sedangkan kelompok yang menjadi sasaran serangan AS juga tetap berjuang melawan Basyar demi membebaskan rakyat dari kediktatoran.

Tentunya ada argumentasi penting yang mendasari AS mengubah keputusannya. Begitu pula mengapa pemerintah Saudi dan Yordan ikut ambil bagian. Begitu cepatnya policy itu berubah. Perubahan kontradiktif dalam waktu yang begitu cepat, mengundang orang untuk berpikir dan bertanya-tanya. Perubahan kebijakan itu memang menyingkap kepentingan besar yang selama ini tersamar.

Islamic State of Iraq and Sham yang kemudian bermetamorfose menjadi Islamic State saja, memang memerangi rezim Basyar yang menindas rakyat. Akan tetapi agenda penegakan syariat Islam yang diimplementasikan oleh ISIS (IS) terhadap wilayah yang telah dikuasainya, sikapnya yang tidak mau kompromi sama sekali dengan Barat, apalagi pernyataan klaimnya sebagai Islamic State yang tidak mencantumkan batas teritorial negaranya, dianggap AS dan sekutunya sebagai bahaya nyata yang akan merusakkan tatanan dunia, khususnya kawasan timur tengah. Kelangsungan pemerintahan di timteng yang selama ini melayani Barat dalam mengamankan eksistensi negara Zionis-Israil juga di dalam ancaman. Selanjutnya hegemoni AS dan Barat atas kepentingan ekonomi (khususnya minyak bumi) akan mengalami goncangan.

Pelaksanaan Syariat Islam

Implementasi syariat Islam dalam kehidupan merupakan argumentasi AS dan sekutunya yang paling mendasar. Rezim-rezim Arab ikut serta dalam koalisi itu, sebab selama ini sekalipun memerintah rakyat muslim, mereka tidak mengimplementasikan syariat Islam secara total. Selain itu mereka membiarkan AS dan sekutunya menghisap kekayaan alam bumi Islam tersebut secara zalim dan tidak adil. Pada titik ini bertemu antara kepentingan AS dan sekutu Baratnya, dengan kepentingan rezim-rezim Arab lokal. Itu sebabnya mereka berkoalisi.

AS dan barat tahu betul bahwa pelaksanaan syariat Islam yang pure, totalitas dan serius, lambat maupun cepat akan membahayakan eksistensinya. Ideologi liberalisme-kapitalisme-sekuler yang berwatak materi terancam. Dalam pandangan AS dan barat, garis perjuangan Jabhah Nushrah yang dianggap sebagai representasi tandhim Al-Qaidah di Syam sama dan sebangun dengan ISIS (IS). Jika ada perbedaan tampilan kekinian antara kedua kelompok perlawanan itu, perbedaan tersebut bagi AS dan Barat tidak substansial, hanya perbedaan performa luar dan bersifat gradual. Jika dibiarkan, Jabhah Nushrah tidak beda dengan ISIS (IS). AS tidak kehilangan esensi pertarungan. Karena itu paket serangan udara yang dikirimkan oleh AS dan sekutunya ditujukan kepada kedua kelompok perlawanan tersebut.

Hal itu mengandung pesan kuat, pokoknya siapa saja yang mengusung agenda pelaksanaan syariat Islam, di timur atau di barat, di puncak pegunungan salju Tora Bora atau Mali di tengah gurun sahara, AS dan sekutunya tidak akan pernah rela, Wa lan tardho’anka al-Yahudu wa la an-Nashara hatta tattabi’a millatahum,…”Sekali-kali tidak akan pernah rela kepadamu orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani hingga kamu mengikuti agama mereka…” (QS. Al-Baqarah: 120).

Memperhatikan Skala Prioritas, Melupakan Permusuhan dengan Basyar

Sikap AS mengubah arah permusuhan sungguh menarik. AS mengajari umat Islam untuk melupakan perbedaan gradual ketika menghadapi musuh yang lebih essensial. Pelaksanaan syariat Islam (tanpa menutup mata kekurangan ISIS dalam mengimplementasikannya) merupakan masalah hakiki bagi eksistensi AS yang ber-ideologi materialisme-sekuler. AS masih bisa mentolerir rezim Basyar yang tidak demokratis, otoriter dan kejam ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa musuh Basyar merupakan musuh hakiki bagi AS dan barat.

Benar, jika dikatakan ‘aduwwun ‘aqil (musuh yang cerdas) lebih baik daripada shodiqun jahil (kawan yang tidak cerdas). Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari musuh dan bertindak dewasa dalam memperlakukan teman seiring yang padanya ada kesamaan prinsip, sekaligus ada perbedaan dalam perincian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *