Kajian

Menanti Kejujuran Barat

Barat, hari ini sedang memimpin. Mereka berhasil secara gemilang meruntuhkan dan membagi warisan khilafah, disusul ambruknya pesaing lain dari ideologi sosialis-komunis. Kini mereka memegang kendali dunia.

Mereka menikmati kemakmuran ekonomi, kestabilan politik yang menjamin peralihan kekuasaan dari satu rezim ke rezim lain, nilai moral kebebasan yang memberi ruang tanpa batas untuk ber-ekspresi. Penyebarannya didukung teknologi informasi yang mampu menjangkau seluruh sudut bumi dengan kecepatan penayangan di tempat berlainan secara live hampir tanpa delay.

Diantara kemajuan itu, adalah teknologi persenjataan. Keterdepanan dalam bidang ini, juga didukung dengan teknologi informasi sehingga kekuatan teknologi tempur barat menjadi makhluk yang begitu cepat, akurat, mampu membunuh secara massif dan tanpa perasaan.

Barat meyakini bahwa ‘kemajuan’ yang mereka raih, tak terlepas dari keberhasilan mereka memisahan kehidupan dari campur tangan agama,.. sekularisasi. Dalam persepsi barat, dengan sekularisasi, mereka telah menempatkan agama  pada kedudukan yang ‘mulia’, yakni hubungan privat individu dengan ‘tuhan’-nya. Sebab membawa agama dalam kehidupan, ber-implikasi dijadikannya agama sebagai argumentasi manusia untuk melakukan tindakan tidak manusiawi dan tak patut, atas nama agama. Karena itu menurut barat, sekularisasi berarti menyelamatkan dan menjaga agama dari pengotoran kesuciannya oleh manusia.

Barat bermaksud membawa tatanan hidup itu menjadi panutan dunia, mewarnai dan membentuk perilaku seperti nilai-nilai mereka. Sayangnya, barat tak selamanya konsisten.Inilah yang menjadi pertanyaan. Jujurkah barat hendak menyebarkan cara hidup dan sistem nilai mereka, sebagai bentuk ‘tanggung jawab moral’ membawa dunia kearah yang lebih beradab (setidaknya sesuai dengan persepsi mereka)? Atau, sejatinya hal itu hanya sebagai alat?

Tabir ini yang harus disingkap untuk memastikan maksud barat yang sesungguhnya, sehingga umat Islam dapat menghadapi barat secara proporsional.

Barat memiliki masa lalu yang suram dan panjang. Periode sejarah terakhir sebelum mereka meraih kemajuan materi yang menjulang seperti sekarang,  barat berada pada apa yang mereka namakan sendiri sebagai dark age, ‘abad kegelapan’. Di era ini, para tokoh agama Nashrani memegang kendali kepemimpinan secara tiranis dan ugal-ugalan. Banyak keputusan dan peraturan menyangkut perkara-perkara kauni (alam) yang seharusnya memberi ruang kebebasan dan kreasi penalaran, mereka pasung atas nama tuhan. Ratusan intelektual dengan penalaran cemerlang di-delegitimasi oleh gereja dan di-eksekusi ; Galileo, Bruno, Copernicus adalah merupakan bagian dari deretan kurban itu.

Di sisi lain muncul beragam peraturan berbalut konsideran agama, atas nama tuhan, tetapi ujungnya memperkaya diri. Ada surat aflat (surat pengampunan dosa), penjualan ‘kapling’ tanah surga dll, semua itu satu muaranya, memperkaya diri.

Dinamika pertarungan perebutan pengaruh antara para tokoh agama (paus, uskup, biarawan dan pendeta) dengan kaisar dan para bangsawan dari kalangan pemegang kekuasaan ; kadang terjadi titik keseimbangan baru. Pada saat para tokoh agama itu terdesak, mereka harus memberi legitimasi terhadap tindakan para kaisar dan bangsawan itu, lagi-lagi atas nama tuhan. Padahal tak sedikit diantara peraturan itu yang menindas rakyat. Disitu gerakan sosial menemukan moment-nya. Muncullah slogan “gantung kaisar terakhir dengan usus paus terakhir”, pemberontakan terhadap sistem politik dan keagamaan secara total. Kultur barat hari ini adalah pemenang dari pergolakan itu; anti monarchi, anti agama, anti tuhan.

Ketika barat mendesakkan sistem politik demokrasi, sistem yang diklaim paling baik, memberikan ruang kesertaan publik, membuka akses bagi kelompok politik manapun untuk memerintah sepanjang mampu memenangi kontes. Sistem politik ini dipandang paling fair dan adil. Siapapun yang memenangi pemilu, dianggap legitimate dan harus didukung. Supaya lebih akuntabel mereka munculkan institusi peninjau pemilu, lembaga independent pemantau pemilu, election’s watch, dll.

Tetapi, mengapa dalam kasus para penguasa tiran di negeri-negeri muslim, barat tidak konsisten? Barat memberi semua bentuk sokongan kepada para tiran Arab yang memerintah tidak demokratis; dukungan finansial, pengiriman para ahli, intelijent, pelatihan militer dan peralatan militer serta dukungan yang lain.

Tragisnya ketika para tiran tersebut berhadapan dengan rakyatnya sendiri, barat terus mendukung, hingga arah angin berubah. Pada saat eksistensi para tiran itu tidak mungkin lagi dapat dipertahankan, barat beramai-ramai ikut menghantam mereka  -jika perlu dengan serbuan militer-  dan buru-buru berpihak kepada massa rakyat, sambil menyiapkan alternatif pengganti yang dicocoki.

Dalam kasus lain, banyak dinamika politik di negeri muslim, dimana sebuah kelompok politik yang mengusung gagasan Islam berhasil melewati semua kualifikasi yang dipersyaratkan oleh sistem demokrasi dalam memasuki arena kontes pemilu, dan berhasil memenangi pertarungan politik secara jujur dan elegant, benar-benar didukung oleh rakyat, namun kemudian disabot oleh pihak militer binaan barat, atau di-embargo hak-hak politik dan di-embargo secara ekonomi. Akibatnya pemenang kompetisi fair tersebut gagal untuk memerintah, atau tetap memerintah tetapi tidak diakui oleh barat. Penyabotan kemenangan FIS oleh militer di Aljazair, kudeta militer Turki terhadap partai Islam yang memenangi pemilu (berulang kali), dan yang terakhir barat tidak mau memberikan hak-hak Hamas untuk memerintah padahal mereka memenangi pemilu dengan gentle dan bersih.

Pertanyaannya, jika penyebaran sistem politik demokrasi itu merupakan ‘tanggung jawab moral’ untuk membawa dunia kepada tatanan baru yang ‘lebih beradab’, mengapa harus inkonsisten? Apalagi masalahnya tidak bersifat exception, tetapi menyangkut komunitas yang sangat luas dengan nation state yang jumlahnya banyak. Jika begitu apa sesungguhnya argumentasi barat?

Argumentasi barat melakukan hal itu, adalah demi kepentingan nasionalnya. Dus, ketika barat hadir di Mesir, atau di Kuwait mengusir Saddam, di Yaman, di Maroko, di Aljazaair, di Syiria dll, sejatinya bukan supaya rakyat di negeri-negeri itu menjadi lebih makmur atau lebih memiliki akses politik sebagaimana prinsip demokrasi, tetapi untuk kepentingan nasional negara masing-masing.

Jika para tiran itu memperoleh keuntungan dari kedatangan barat, semuanya tidak terlepas dari hitungan untung-rugi demi kepentingan nasional negara-negara barat tadi. Ketika para tiran itu mengumpulkan ber-ton emas atau milyaran dollar bagi keluarganya, dengan menjual sumber daya alam kekayaaan rakyat, yang diperoleh negara-negara barat jauh lebih besar. Apalagi simpanan para tiran yang berada di bank-bank barat, setelah terjungkal dibekukan juga oleh mereka ; para tiran itu tidak dapat mengambil manfaat, rakyat yang mereka tindas juga tidak dapat mengambil manfaat. Barangkali di bulan suci Ramadhan ini barat mau jujur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *