Kajian

Mencari Muka di Tempat yang Salah

Rasulullah bersabda yang artinya, “Barangsiapa berlaku sum’ah, Allah akan memperdengarkan aibnya. Dan barangsiapa berbuat riya’, maka Allah akan memperlihatkan aibnya.” (HR. Bukhari).

Pada hakikatnya, usaha mencari muka dan pujian dari manusia hanya akan berbalas kehinaan dimata Allah bahkan pula manusia. Lihat saja orang-orang jaman sekarang yang berusaha mati-matian untuk tampil sesuai tren, bahkan meski tak didukung kemampuan karena minimnya penghasilan. Meski gaji hanya sekian rupiah perhari, tapi dia tak bisa memaafkan diri sendiri jika handphonenya bukan blackberry, sebuah merek yang sempat masyhur akhir-akhir ini. Padahal ketika orang tahu yang sebenarnya, ulahnya justru akan membuat citranya dimata orang dipenuhi ironi. Tak punya, tapi memaksa diri untuk bergaya.

Atau orang-orang yang mencoba mencari muka dengan mendebat para ulama. Adu ilmu dan pengetahuan agama, agar eksistensinya diakui manusia. Berusaha mendalami agama, tapi hanya bermaksud agar ketika berdebat dengan siapapun dialah yang keluar sebagai pemenangnya. Meskipun barangkali manusia berdecak kagum dengan kemampuannya, tapi di hadapan Allah semua itu tak lebih dari amal rendah nan hina.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ وَيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ الله جَهَنَّمَ

 

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa yang mencari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka dia berada di neraka.” (HR. Ibnu Majah, statusnya Hasan).

Yang paling parah adalah yang berusaha mencari muka di hadapan penguasa. Terutama yang menjadikan agama sebagai tema pertunjukannya. Mereka berusaha mendekat kepada penguasa dengan kemampuan dan ilmu agama yang dimiliki. Tentunya bukan untuk beramar makruf nahi mungkar dan melakukan perbaikan, tapi untuk menjilat; mencari harta atau penghormatan.

Para ulama salaf paling anti dan sangat berhati-hati agar tidak terjerumus perbuatan seperti ini. Imam Said bin al Musayib bahkan menegaskan, “ Jika kamu melihat ada ulama yang sok dekat dengan para pejabat, maka ketahuilah, sebenarnya dia itu pencuri.” (Ihya’ ‘Ululudiinen. 2/64).

Mereka tahu, mencari muka di hadapan penguasa hanya akan membuat agama mereka tergadai. Mengajak kepada kebaikan atau mencegah kemungkaran akan menjadi berat karena sungkan.  Belum lagi jika pernah diberi, ada beban hutang budi yang akan menghalangi.

Aksi cari muka bisa datang dengan penyebab apa saja. Yang paling utama adalah sifat ujub dan sombong.  Sifat ini selalu menghendaki pujian dan paling ogah mendapat celaan, apapun bentuknya. Dia selalu ingin berada di atas. Sifat ini menjadisifat utama setan yang membuatnya menjadi durhaka. Bukankah api selalu bergerak ke atas?

Perwujudannya, salah satunya adalah riya’ dan suka cari muka agar eksistensi dan kemampuannya diakui manusia. Sayangnya, orientasi pemilik sifat ujub dan takabur ini sudah kabur mengenai hal apa saja seharusnya dia merasa tidak pantas diremehkan. Akibatnya dia justru mencari kemuliaan dengan menonjolkan suatu hal, padahal kemuliaan sesungguhnya justru bisa didapat jika dia mau berendah diri dalam hal itu.

Apa perlunya dianggap kaya dengan menonjolkan harta yang dipunya? Bukankah semua itu justru mengundang bahaya dan membuat jengah orang disekitarnya? Bahkan yang benar-benar memiliki kekayaan melimpah pun, jika terlalu menonjolkan kekayaanya tidak akan disukai oleh manusia. Apalagi yang hanya bergaya padahal sebenarnya hanya orang biasa. Kemuliaan tidak bisa didapat dengan menonjolkan harta.

Tak ada manfaatnya juga mencari muka dengan memamerkan ilmu agama yang dimiliki. Jika yang dicari hanya penghargaan manusia, Allah justru akan membuat manusia tidak menghargainya. Ilmu agama tidak akan membuat seseorang mulia, kecuali jika berusaha diamalkan, dan diajarkan dengan harapan mendapat ridha Allah Ta’ala. Ilmu yang disampaikan dengan tidak ikhlas tidak akan sampai ke hati yang mendengarnya.

Dan amatlah hina orang yang berusaha mencari muka di hadapan penguasa. Apalagi dengan kedok agama. Jangan dikira para penguasa tidak tahu dan lalai mendeteksi manusia-manusia semacam ini. Mereka sangat tahu dan malah akan memanfaatkannya. Yang mereka segani adalah para ahli agama yang teguh engan pendiriannya dan selalu ikhlas dalam menasehatkan kebaikan atau mencegah kemungkaran. Teladannya bisa kita dapatkan pada sekian banyak kisah salaf yang selalu menolak setiap kali diberi pemberian oleh penguasa setelah memberi nasehat atau memperingatkan jika para pejabat berlaku maksiat. Mereka juga sangat anti mencari muka dihadapan pejabat. Bahkan di antara mereka ada yang sampai berpura-pura menghadap makanan berlimpah agar terkesan rakus dan dianggap biasa dan tidak didekati. Padahal sesungguhnya sangat zuhud terhadap dunia.

Begitulah. Usaha mencari muka karena dorongan sifat ujub dan takabur hanya akan menjadi bumerang dan mewariskan kehinaan. Sebaliknya, perasaan tawadhu’ dan tidak suka mencari muka demi pujian manusia adalah sumber kemuliaan.

Urwah bin al Ward berkata, “ Tawadhu’ merupakan salah satu alat pemburu kemuliaan. Semua anugerah akan menuai iri kecuali anugerah berupa tawadhu’. (Ihya’ Ulumudiin, III/343).

Semoga Allah menjadikan hati kita lebih tawadhu’. Amin.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *